FLIGHT 17

989 93 11
                                    

-A TICKET-

======================

"Aneh," gumam Hesa sambil menatap layar laptop-nya

"Kenapa koh?" Tanyaku tanpa mengalihkan tatapan dari layar ponselku.

Hesa tak memberikan jawaban apapun. Aku menoleh sekilas dan bertanya sekali lagi, lalu kembali menatap layar ponsel.

"Apa yang aneh si koh?"

"Gue ngerasa ada yang beda dengan Angga"

"Siapa? Angga?"

Hesa mengangguk.

"Berubah gimana?"

Hesa menopang kedua siku di atas meja. Suasana café di jam dua siang ini mulai terlihat sepi. Kesempatan itu ia gunakan untuk menumpahkan kegelisahan dan rasa penasarannya yang bisa kulihat beberapa hari terakhir ini.

Soal Angga, sahabatnya yang sudah ia anggap sebagai saudaranya itu. Dari sejak kemarin ia membicarakan terus soal Angga. Hesa begitu menunggu sekali kejujuran Angga akan orientasi seksualnya itu. Bagaimanapun sudah terlalu lama Angga menutupi itu dari Hesa. Sementara hubungan mereka sudah selayaknya kaka beradik. Kini, entah apa lagi yang mengganggu pikiran Hesa terkait Angga.

"Angga sepertinya sedang menyembunyikan sesuatu dari gue. Dia berkali-kali nolak ketika gue minta datang ke apartemen. Bahkan panggilan gue seringkali gak di angkat malah ia dengan sengaja menutupnya"

"Mungkin dia sibuk atau lagi marah sama lo" gumamku masih tak mengalihkan perhatianku.

"Gak mungkin. Gue kenal betul anak itu. Apa gue harus dengan tiba-tiba datang ke kostannya?"

"Boleh tuh"

"Lo tuh serius gak sih gue ajak ngobrol? Dari tadi main hp mulu kerjaannya" ia nyaris menepuk kepalaku.

"Maaf koh... Gue lagi cari tiket"

"Emang Bu Janice udah acc cuti lo?"

Aku menatapnya. Lalu menggelengkan kepalaku pelan. "Belum"

PLAK!

Ia menepuk kepalaku. "Taik lu!"

"Udah ayo balik ke kantor, kita ke ruangan dia sekarang. Bu Janice kalau gak dihampiri, lama dia ngasih jawaban" Hesa beranjak dari tempat duduknya. Lalu pergi dengan cepat. Aku pun buru-buru mengekor di belakangnya.

Hari ini Rabu. Hari di mana aku semakin memantapkan diri untuk bisa menemui Belva di Jepang.

Setelah mendapatkan pesan dari Belva Minggu malam itu, Senin siang-nya tanpa berpikir panjang lagi aku segera menemui Bu Janice selepas makan siang untuk meminta persetujuan cuti kerja. Dia adalah orang yang akan memberikan keputusan apakah pengajuan cutiku diterima atau tidak.

Aku sudah berdiskusi dengan atasan di divisiku sebelumnya. Bahkan Senin itu aku ke kantor minta dijemput sama Hesa. Tentu karena aku merasa dia berhak tahu agar dia bisa membantuku.

Kenapa? Statusku sebagai karyawan di kantor ini belum sampai satu tahun. Dan sesuai kontrak kerja di awal, aku tidak akan mendapatkan cuti kerja. Sementara gak mungkin juga jika aku harus berangkat ke Jepang Jumat malam dan kembali ke Indonesia Minggu malamnya. Ini bukan jarak antara Jakarta - Bandung, waktuku hanya akan habis di jalan kalau seperti itu.

Maka, karena Hesa cukup dekat dengan orang-orang di divisiku, termasuk juga ia lumayan dekat dengan Bu Janice, aku meminta bantuan padanya.

Jujur, ada perasaan tidak enak hati padanya. Mengingat aku tidak mengatakan pada Hesa jika kepergianku ke Jepang untuk menemui Belva. Bagaimanapun aku masih menjaga pertemanan ini dan aku ingin membalas kebaikan dia dengam coba mengenal sosok Angga yang sedari dulu ia harapkan agar Angga bisa menjadi pasanganku. Iya, aku juga menyukai sosok Angga yang selalu kulihat di foto itu karena aku belum bertemu langsung dengannya. Tetapi sebesar apapun rasa sukaku padanya, saat ini ada yang lebih aku sukai. Dan Hesa hanya akan kecewa padaku jika tahu soal itu.

TRANSITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang