BONUS Chapter

1.1K 64 58
                                    


“COBALAH jadi malam agar kau tahu rasanya rindu, dan jadilah senja sesekali agar kau tahu artinya menanti”
Kalimat itu seketika melintas manakala mata telanjang ini menyaksikan lembayung senja yang mulai menampakkan jati dirinya dengan warna kemerahan yang menyala.

Aku pada awalnya gak ada kenginan untuk membuka pintu hingga berdiri menyaksikan senja itu tanpa ada maksud yang lebih berarti. Hanya saja, pantulan merahnya yang masuk ke setiap celah ruangan melalui kaca yang tak tertutup gorden itu menarikku untuk menatapnya pada akhirnya.

Melihat senja, seketika aku seolah terbawa pada seseorang. Seorang yang masih spesial, tapi dia gak benar-benar spesial di hatiku. Paling tidak untuk saat ini. Mengingat statusnya sudah jadi milik orang lain. Tapi dia mengajarkanku tentang lembayung senja, tentang keindahan hingga tentang pesan yang senja bawa untuk manusia. Ketika kita menjadi malam, kita akan mengerti bagaimana rasanya rindu terhadap siang. Dan ketika senja datang kita belajar bagaimana rasanya menanti. Menantikan keindahan, menantikan seseorang.

Ah, aku bahkan gak berani berkata tentang kerinduan. Apalagi penantian. Siapa yang sedang kurindu? Mungkin saja Putra, orang yang menyukai keindahan dari keberadaan senja itu.
Bisa juga bgas. Orang yang setiap hari selalu kutunggu senyuman manisnya.

Tapi soal penantian, apakah aku benar-benar selalu menantikan Bagas?
Meski rasa rindu padanya selalu muncul setiap hari, lantas tak jua membuatku merasa puas. Seakan ada sisa penantian di dalam hati ini yang masih kosong.

Aku menerawang bersama lembayung yang menyelinap masuk ke setiap penjuru di apartemen ini. Hingga sinar kemerahannya itu menembak sebuah dinding di salah satu bagian kamarku. Langkahku terhenti di situ. Tak ada apa-apa di dinding kamar di hadapanku selain lukisan abstrak yang kudapat dari sebuah pameran. Tetapi perlahan aku menyadari sesuatu, jika lukisan itu bukan sekedar lukisan biasa. Iya, memang aku mendaptkannya dari sebuah pameran seni dulu sekali, tapi bukan uangku yang telah membuatnya menempel di dinding kamarku. Melainkan uang orang lain. Seseorang dari masa lalu. Belva.

Astaga!

Apa iya aku selama ini menantikan dia?
Aku benar-bear diliputi ketidak-mengertian atas pikiran yang datang secara tiba-tiba ini.
“Bagaimana mungkin namanya kembali hadir setelah sekian lama menghilang?’

"Nama siapa?” tanya seseorang dari arah pintu mengagetkanku.
Kupalingkan segera wajahku ke arah sumber suara dengan cepat. “Sayang, kapan kamu pulang?”

“Baru banget sampai” Bagas masuk ke kamar. Lalu meletakkan tas kerjanya di kursi kerjaku.

“Bikin kaget aja kamu” kataku berjalan menghampirinya. Lalu kupeluk ia dari belakang saat Bagas membuka kancing-kancing bajunya.

I miss you…” bisikku menambahkan.

Bagas berbalik. Ia menengadah menatapku. “Makanya aku buru-buru pulang karena aku selalu merindukan kamu sayang” ia menempelkan wajahnya di atas dadaku sambil memeluk manja.

Aku pun mengusap rambutnya dengan lembut sebelum mengecup ubun-ubunnya.

“Nama siapa yang kembali hadir?” tanya dia membuatku sedikit bingung harus menjawab apa.

“Enggak…”

Bagas lantas melepaskan pelukannya. Ia kembali menatapku. “Aku dengar tadi…”

“Itu sayang… pembuat lukian" aku kembali menatap lukisan itu. "Gak tahu kenapa aku jadi ingin pergi ke pameran, terus melihat karya lain dari pelukis itu”

“Kamu mau beli lukisan lagi?” ia ikut menatap lukisan itu di sebelahku.

Maybe” jawabku singkat.

TRANSITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang