FLIGHT 11

1.1K 113 11
                                    

-A GIFT-

========================

Grand St, New York.

SERUAN sirene mobil NYPD terdengar sayup. Aku baru saja turun dari sebuah taksi berwarna kuning yang khas, lalu dengan cepat berjalan di sekitaran The James New York – SoHo. Kepalaku mendadak seperti gatal tetapi juga setengah pusing. Entahlah. Kalau saja jalanan tidak macet, aku tak perlu berjalan cukup jauh menuju kantor seperti ini. Lihatlah, apa yang kusaksikan di sepanjang jalan tak ayalnya seperti jalanan Jakarta di pagi dan sore hari. Tetapi di sini kemacetan bisa-bisanya terjadi di tengah hari seperti ini. Deretan mobil itu meski terlihat rapi tetapi bahkan tak bergerak satu meterpun. Sementara aku sudah ditunggu pihak redaksi untuk mempresentasikan hasil kerjaku hari ini.

Kulirik arloji sudah menunjukkan waktu salat Jumat. Ah, bahkan aku tak terpikir sedikitpun tentang kewajiban itu. Kupercepat langkahku. Jika sampai aku terlambat, ini akan menjadi hari terburukku dalam 11 hari pekerjaan yang telah kulalui.

Ya, ternyata gak terasa aku sudah memasuki minggu ke tiga di New York, dan Sabtu besok aku genap 12 hari bekerja sebagai penulis yang mengulas khusus kuliner di majalah HUMAN. Meski statusku hanya pegawai sementara, tetapi aku merasakan atmosfer layaknya seperti karyawan tetap. Terlebih aku berada di divisi Middle Management yang secara tingkat pekerjaan saja sedikit lebih sulit dan memegang tanggung jawab lebih besar. Gak heran kalau Stefani melalui Yasmin meminta perusahaan membayarku dengan upah yang tinggi. Orang Amerika yang mungkin selama ini aku kenal cuek dan bahkan gak peduli sama urusan orang lain, nyatanya tak kurasakan sedikitpun di kantor tempat aku bekerja sekarang. Mereka seperti kebanyakan orang Indoesia yang ramah dan saling memberi dukungan. Pada intinya kalau sudah urusan kerja sama tim, kami semua begitu solid. Dengan profesiku yang 70 persen berada di luar kantor, aku sempat berpikir jika aku akan menjadi orang yang dikucilkan atau di pandang sebelah mata. Bagaimana tidak, keseharianku hanya pergi ke tempat-tempat kuliner bersama satu orang fotografer, menemui klien yang spesialis di dunia kuliner dan tentu saja merancang program kuliner andalan apa yang harus aku muat di tiap minggunya. Aku hanya datang ke kantor pagi dan sore hari saja untuk melakukan absen dan memberikan laporan. Adapaun meeting mingguan yang selalu dilakukan setiap Senin pagi dan Jumat siang hanya memakan waktu tiga sampai empat jam saja. Sisanya aku lebih banyak di luar kantor. Ya, sedikit melenceng dari ekspektasiku memang. Karena setahuku Yasmin kerja full di dalam kantor dan rupanya aku tidak benar-benar menggantikan posisinya itu. Beruntung, dengan semua itu hubunganku bersama seluruh staf divisi baik-baik saja.

Tapi sisi positifnya tentu saja lebih banyak menurutku. Aku jadi bisa menjelajah New York tiap harinya. Mendatangi tempat makan, memberikan ulasan dengan sedikit wawancara disaat sang fotografer memotret makanan itu, dan tentu saja dapat makan-makanan enak yang gratis alias semuanya ditanggung oleh kantor.

Enak? Jelas.

Menurut Nelson, sang juru foto yang selalu menemaniku, kalau saja aku adalah karyawan tetap, aku bisa berkeliling ke Negara bagian lainnya di Amerika. Ah, padahal aku ingin sekali menginjakan kaki di Los Angeles.

Ada enak tentu ada juga tidak enaknya. Fase dimana aku harus menjumpai makanan yang berbahan dasar babi yang jelas tidak bisa kucicipi adalah tantangan berat. Aku harus menulis tentang makanan itu sedetail mungkin sementara aku tak bisa merasakannya, maka Nelson lah yang bisa kenyang hingga ia bawa ke apartemennya saat selesai.

"Gelar, cepatlah! Jalan kamu lambat sekali. Meeting sudah mau dimulai, kita bisa dipotong gaji bulan ini" Seru Nelson yang berjalan tiga meter lebih cepat di hadapanku.

Aku mempercepat langkahu.

Dan ketika kami sudah tiba tepat di depan mulut besar HUMAN, sebuah pesan masuk ke ponselku. Dari Belva, aku segera membacanya sembari terus berjalan menuju ruang divisiku.

TRANSITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang