Cinta Subuh Part 8

5.3K 247 3
                                    


Novel Cinta Subuh sudah terbit!!! silahkan beli di toko buku kesayangan sahabat sekalian ^_^

RATIH

"Assalamualaikum," aku memasuki rumah setelah membuka pintu dengan kunci cadangan yang kumiliki.

"Waalaikumusalam," jawaban atas salamku terdengar, suara Kak Septi, kakak iparku.

Mari kujelaskan, Sepeninggal kedua orangtuaku, Aku hidup bersama kakak laki-lakiku, Bang Sapta Anugrah. Dan istrinya, Muhani Septiani. Bang Sapta adalah penceramah yang cukup punya terpandang. Meski begitu, beliau nggak senang dipanggil Ustadz. Sayangnya banyak jamaahnya yang senang membuat Bang Sapta nggak senang. Jadilah Abangku itu dipanggil: "Ustadz Sapta".

Biarpun banyak orang rela membayar mahal untuk mendengar ceramahnya, beliau tidak pernah mematok harga, malah sering mengembalikan uang yang diberikan jamaah. Untuk menghidupi keluarga, Bang Sapta memiliki usaha pakaian muslim, pupuk organik, dan ternak ayam kecil-kecilan. Mengutip Kyai Maemun Zubair yang diidolakannya, dia sering berkata, "penceramah dan pendidik harus punya sumber penghasilan! Sehingga tidak tumbuh pamrih dalam hati atas ilmu yang diberikan pada ummat". Tapi jangan terlalu kagum, yang kuceritakan baik-baiknya saja, jeleknya sebetulnya banyak.

Menurutku, Bang Sapta masuk ke dalam kategori lelaki terlalu beruntung. Kak Septi adalah sosok wanita yang layak dan sebetulnya sangat bisa mendapatkan laki-laki yang lebih keren dan tampan dari Bang Sapta. Mereka menikah sudah sekitar 5 tahun. Sejak menjadi istri Bang Sapta, Kak Septi memutuskan untuk "merumahkan diri," berhenti bekerja. Dan itu dilakukan tanpa permintaan Bang Sapta! Ekonomi keluarga kecil mereka tidak selamanya baik, tapi Kak Septi selalu berhasil menutupinya rapat-rapat dari orang tuanya dan orang tua kami. Aku sendiri baru-baru ini mengetahui karena Bang Sapta bercerita tentang kemuliaan istrinya itu pada suatu kesempatan, katanya, "Waktu Abang sedang terpuruk ekonomi dulu, terlilit hutang karena tak hati-hati dan terjerumus dalam riba, Kakak Iparmu itu sama sekali tidak menyalahkan Abang, tidak sedikitpun menambah beban pikiran suaminya yang payah ini, tak keluar kalimat semacam : kan Aku sudah bilang! Tak keluar, Ra. Sebaliknya di tengah keterpurukan itu, dipeluknya Abang dari belakang, ditenangkan dengan satu kalimat pendek: 'aku percaya Abi sudah melakukan usaha dunia sebaik mungkin, ayo kita coba usaha langit, minta izin Allah, minta ridha orang tua' menangis Abang dibuatnya, Ra.." iya kan? Bang Sapta memang disayang Allah, diberikan istri terbaik untuk menemani perjuangannya.

Aku mencium tangan Kak Septi, kemudian dikecupnya keningku. Itu budaya kasih sayang yang dilestarikan keluarga kami sejak lama, warisan almarum Abah dan Ibuk. Dulu, seorang sahabat pernah melihat Rasulullah Salallahu Alaihi wa Alihi Wasalam menciumi cucu-cucu beliau, sahabat itu keheranan dan berkata: "lihatlah, Rasulullah menciumi cucunya! Demi Allah aku memiliki banyak anak dan aku tidak pernah menciumi mereka!" dan Rasulullah yang mendengarnya bersabda : "barang siapa tidak memiliki belas kasih tidak akan dikasihi" Almarhum Abah selalu mengulang-ngulang riwayat tersebut, berusaha menumbuhkan kasih sayang di antara anak-anaknya.

Bang Sapta yang lelaki tulen dan sering merasa malu mencium adik perempuannya yang sudah dewasa tidak melanjutkan tradisi baik keluarga kami itu. Beruntung rencana Tuhan selalu Mahaluarbiasa, Bang Sapta menikahi Kak Septi yang ternyata dibesarkan dengan tradisi serupa. Jadilah sekarang yang menyampaikan sayang warisan Abah dan Ibuk adalah Kak Septi.

"Ratih sudah makan?"

"Alhamdulillah tadi di kampus, kak" Aku selalu berusaha menjawab sebaik mungkin setiap pertanyaan Kak Septi, merasa seperti memiliki Ibu lagi, "eh, Bang Sapta kemana?"

"Ada pengajian di rumah Pak RW, nanti ba'da isya pulang katanya"

Aku mengangguk.

"Istirahat Ra, nanti maghrib sendiri dulu, ya?"

Aku mengeriytkan kening, karena biasanya Kak Septi mengajak untuk salat berjamaah. Kemudian Aku menyadari pesan sedih yang disampaikan Kakak Iparku itu.

"Kak..."

"Gapapa, Ra, mungkin Kakak belum pantas.." suaranya sama sedih dengan wajahnya.

Ini tahun ke-lima pernikahan mereka, dan tamu tak diundang itu lagi-lagi menunda kebahagiaan puncak seorang wanita. Menjadi seorang Ibu.

"Bang Sapta sudah dikasih tahu?" kataku sambil memeluk Kak Septi. Berharap bisa sedikit mengurangi kesedihannya.

Kak Septi hanya menjawab dengan elusan di belakang kepalaku.

Cinta SubuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang