RATIH
Angga – kalau ingatanku tentang namanya tidak salah - muncul lagi di hadapanku, melempar salam dan menyapa di saat yang kurang tepat, atau mungkin justru tepat. Salat zuhur barusan terasa kurang lengkap, yang mengisi kultum barusan bukan orang yang handal dalam merangkai kata. Ah, atau mungkin mood-ku saja yang membuat setiap orang menjadi terasa lebih menyebalkan dan membosankan. Mungkin salatku barusan kurang khusyu.
"Maaf ganggu lagi, hehe," pria itu mencoba tertawa, kelihatannya untuk sedikit meleburkan suasana.
"Iya, ada apa?" jawabku agak terlalu ketus, lebih ketus dari pertemuan kami sebelumnya
"Gini, Ratih, kan?"
"Iya."
"Iya, masih inget kan?"
"Siapa, ya?" jawabku pura-pura lupa padahal ingat
Angga tersenyum, kemudian mengatupkan kedua tangannya di depan dadanya, "Angga, beneran nggak inget?" dia tersenyum lagi, tidak terlihat tersinggung sedikitpun, membuatku sedikit merasa bersalah.
"Ooh, yang kemarin minta nomer?" Aku mencoba bersikap baik, karena perasaan bersalah itu.
"Iya," jawabnya, "tapi kayaknya kamu salah kasih nomer," aku menyadari, berbeda dengan pertemuan sebelumnya dia menggunakan panggilan "aku-kamu" dan bukan "gue-lo" mungkin dia merasa perlu lebih sopan untuk mengakrabkan diri.
"Iyakah?"
"Kemarin Aku telepon ke nomer yang kamu kasih, yang angkat laki-laki, toko baju gitu kayaknya."
Aku mengangguk mengiyakan, tentu sepenuhnya aku sadar dan ingat dengan jelas, bahwa aku memang tidak memberinya nomer teleponku sendiri, yang kuberikan kemarin adalah nomer yang biasa digunakan Bang Sapta untuk usaha kecilnya, pakaian islami yang kuceritakan itu. Sekarang, Aku yang sedang sedikit diliput rasa bersalah dicampur rasa kesal – bukan pada angga- berpikir untuk meluruskan kekeliruan dan menjawab jujur pertanyaan pria yang masih senyum-senyum awkward di hadapanku.
"Iya, kemarin saya sengaja kasih nomer Abang saya," Aku sendiri tidak paham alasan kejujuranku, entah untuk sekedar membuatnya kesal dan berhenti muncul tiba-tiba di hadapanku, atau memang Aku ingin meminta maaf pada pria malang ini.
"Kenapa?" jawab Angga, ekspresinya mulai terlihat kecewa, tapi masih berusaha tersenyum.
"Karena saya memang tidak punya kewajiban memberikan nomer saya pada Mas!"
Aku menerka-nerka, apakah setelah jawabanku dia akan marah-marah, atau....
"Iya, tapi kenapa?" dia masih mengulang pertanyaannya, "maksudku, kamu bisa aja jawab, 'saya tidak mau kasih nomer,' atau kamu bisa pergi tanpa jawab sama sekali, kan nggak perlu bohong dong, dosa, lho" dia menjawab panjang lebar, kelimpungan, mungkin dia bingung mau marah atau tidak.
Tapi sejujurnya, aku malah yang lebih bingung. Kenapa juga kuladeni laki-laki ini? yang jelas-jelas sejak pertemuan pertama sudah terasa begitu mengganggu. Tapi karena terlanjur lucu, ya kulanjutkan.
"Saya nggak bohong, coba inget-inget lagi, saya tidak pernah bilang bahwa yang saya kasih itu nomer saya," aku mengelak. Tapi aku memang tidak bohong.
Angga terlihat mengingat-ingat, mungkin dia sedang mencari celah dalam ingatannya, memastikan bahwa aku berbohong. Tapi seperti yang sudah kubilang, aku tidak berbohong.
"Iya, emang sih, tapi curang itu namanya!" Angga sekarang terlihat lucu, meringis dan merengut. Dan begitu saja, tawaku terdengar walau kusembunyikan.
"Kenapa ketawa?"
"Nggak, gak ada yang ketawa," Aku berusaha menyebunyikan lagi.
"Hhh.." Angga menghela napas.
"Kenapa?"
"Gini, lho..Aku baru aja putus cinta," curhatnya tanpa diminta, "dan bukan putus cinta biasa, mantanku yang tiba-tiba bilang bahwa dia dijodohin itu cantik parah, baik, pintar, pengertian, lengkap. Ini patah hati paling buruk!" Aku agak bingung arah cerita laki-laki ini, "terus Aku galau, sedih, pasrah, dan.." dia berhenti.
"Dan..?" bukan menghentikan curhatannya, aku malah tertarik untuk mendengarkan lebih jauh.
"Dan aku dipertemukan sama kamu, di depan Masjid ini, sama Tuhan, dan gitu aja...hilang galaunya!"
"Jadi kamu mau jadikan saya pelarian?" Aku mencoba membuatnya semakin salah tingkah. laki-laki ini lucu!
"Ya bukan gitu juga!" dia mengelak, "gimana ya, kita tuh tahu, lho..kalau ada orang yang datang ke hidup kita, dan, " Angga lagi-lagi menghentikan kalimatnya, "kita bakal tahu kalo kita diketemuin sama jodoh kita!!"
"Maksud kamu?"
"Iya, aku ketemu kamu di Masjid, eh...bukan, bentar....gini," kalimatnya terdengar berantakan dan dia terlihat kelabakan, "sebentar, aku ambil nafas dulu," kata Angga dilanjutkan mengambil nafas, "setelah putus cinta kemarin, Tuhan langsung hapus kesedihanku dengan ngasih hadiah berupa pertemuan sama kamu, itukan jodoh kan namanya!" jawabnya, kelihatannya tidak dibuat-buat
"Ya nggak begitu juga kali, berlebihan masnya," Aku hampir terpingkal-pingkal mendengar rayuan berbungkus curhatan darinya.
"Begitu kok, buatku,"
"Buat saya nggak," aku masih mempertahankan "saya-kamu" demi menjaga jarak.
Angga terdiam, tertunduk. Jujur aku agak iba dibuatnya. Kemudian dia terlihat mengumpulkan keberaniannya, menegakkan kembali kepalanya, dan menatapku tanpa ragu.
"Kalau begitu, aku mau minta nomermu sekali lagi, kalau boleh," katanya meminta, kali ini lebih tegas, "tapi kalau nggak berkenan, nggak masalah. Toh, nggak semua yang berjodoh kemudian bersatu."
"Kamu serius, ngerasa saya jodoh kamu?" Aku serius kesulitan menahan tawa.
Angga mengangguk mengiyakan, "Serius," dia menjawab pendek. Dan aku betul-betul sudah tidak mampu menahan tawa lagi, maka terlepaslah.
"Maaf-maaf," aku berhenti tertawa, "ini, nomerku, beneran." Kemudian kusebutkan nomer yang sama dengan yang kuberikan pada Arya.
"Beneran?" tanya Angga, kelihatan sekali rautnya mulai bahagia kembali. Aku mengangguk mengiyakan, sambil menjawab, "misscall kalau nggak percaya," jawabku.
"Percaya, kok," jawabnya lagi
"Tapi saya nggak janji akan angkat telepon kamu, atau balas chat dari kamu, dan saya harap kamu nggak terlalu sering ganggu saya tanpa izin!"
Angga meletakkan tangan kanannya dalam posisi miring di depan keningnya, membentuk posisi hormat,
"SIAP!"
Dalam hati aku tersenyum, kekesalan soal masalah dengan Prof Halex dan sindiran Melly hilang ditelan obrolan singkat dengan pria bernama Angga. Dalam hati mengucap: Terima kasih, Angga!
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Subuh
RomanceAngga baru saja putus cinta. Bukan pertama kali, tapi kali pertama dengan mudah ia lupakan mantan pacarnya. Sebabnya Ratih, perempuan seusianya yang wajahnya menjadi tempat berkumpul cahaya. Tapi Ratih bukan seperti perempuan muda umumnya, prinsipny...