RATIH
Semua orang tersenyum bahagia, menambah kemilau putih bagai mutiara yang menghias pilar-pilar bergaya romawi. Aku melihat ke langit-langit. Kubah melengkung transparan membawa cahaya matahari menembus tanpa penghalang, cerah namun teduh di saat bersamaan. Kelopak bunga putih imitasi tertata sembarang, namun terlihat indah berpadu dengan karpet putih di atasnya. Semua serba putih. Serba berkilau. Serba menyenangkan dan menenangkan.
Aku melihat Abah dan Ibuk tersenyum dari kejauhanan. Abah mengenakan batik putih hitam kesayangannya yang dijahit oleh Ibuk; Ibuk menggunakan kebaya tertutup dengan corak yang terlihat berpadu dengan yang batik yang dikenakan Ayah, dengan jilbab putih berenda sederhana yang membuatnya tampak lebih muda.
Bang Sapta berdiri bersebelahan dengan istrinya tercinta, Kak Septi. Di pelukan kak Septi tampak kain putih bersih membulat yang dipeluk erat. Baru kusadari wujud kain itu setelah aku melangkah mendekati mereka. Yang ada di pelukan Kak Septi adalah bayi mungil dengan pipi kemerahan, yang mengedip matanya ketika Kak Septi membelai rambutnya yang masih jarang. Bang Sapta melihat ke arahku, melempar senyum paling manisnya.
Kebahagiaan membuncah, memenuhi setiap rongga dada, kedua kelenjar air mata dan terasa penuh dan menghangat karenanya. Tanganku menggenggam erat tangan seseorang, baru kurasakan genggaman sehangat ini, sekuat ini, membuatku merasa aman dan terlindungi.
Tiba-tiba perasaan bahagia itu berubah menjadi euforia tak terbendung, perlahan Aku menangkap gambaran lengkap kejadian yang kualami, Aku sedang berada dalam pesta pernikahanku sendiri! Aku sudah menjadi seorang istri! Siapa suamiku, siapa Pria yang sekarang menggenggam tanganku?
"Ratih!" Bang Sapta memanggilku dari kejauhan, aku menengok ke belakang, suaranya jauh sekali. Padahal wujudnya hanya sekitar lima langkah dariku.
Kubuat pandanganku sefokus mungkin. demi melihat pria yang berjalan bersamaku sepanjang altar, aku mencoba menatap wajah pria yang menjadi suamiku.
"Ratih, subuh, bangun!!"
kubuka mata, buyar semua kebahagiaan dan euforia. Aku terbangun.
"Abang mau ke masjid, kamu salat di rumah atau ikut abang?" tanya Bang Sapta tanpa mempedulikan ruh-ku yang masih terperangkap sebagian di alam mimpi.
"Ra?"
"Eh, iya, di rumah aja, Bang" Aku menjawab sambil masih mengingat mimpi barusan, wajah pria dalam mimpiku gagal kusimpan dalam ingatan.
"Yaudah, wudhu sana, jangan tidur lagi!"
Aku menjawab dengan anggukan pelan, sambil bangun dan segera menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu.
Kuputar keran berwarna perak, kemudian pelan-pelan aku membasuh kedua telapak tangan, mengusap perlahan dan kemudian secara tiba-tiba dan tanpa kukehendaki mimpi itu seakan datang kembali, sekelebat sekaligus seterang mentari. Aku merasakan hangat menggenggam tanganku, hatiku kembali membuncah diliputi bahagia dan kehilangan sekaligus.
Mimpi barusan adalah pernikahan impianku, seperti juga wanita normal di usiaku yang memiliki pernikahan impian sejak duduk di bangku SMP. Aku tidak pernah mengharapkan pernikahan seperti putri raja atau anak bangsawan kaya, impianku jauh lebih sederhana: menikah dengan pria yang mampu menyayangi keluargaku lebih dari menyayangiku; menikah dengan pria yang tidak mengurangi baktiku pada kedua orang tua; menikah dengan pria yang membuatku yakin bahwa Tuhan meletakkan nama kami bersama di lauhul mafudz; menikah di tengah kekhusyuan, di hadapan kedua orang tua kami, dikelilingi orang-orang yang kami sayangi.
Kemudian tersadar, satu dari kesederhanaan yang kuharapkan tak akan jadi nyata, kedua orang tuaku yang kuharap mendampingi pelepasanku menjadi seorang istri tak akan hadir, tak ada wejangan dan petuah dari Abah; tak ada peluk cium mesra Ibuk seperti ketika melepas Bang Sapta mengarungi rumah tangga. Kelenjar air mataku kembali terasa menghangat, butir air mata menetes tanpa kuberi kehendak.
Kemudian subuh datang, sekali lagi di antara kekosongan kehidupan Tuhan memberikan harapan. Pertemuan dengannya yang dirindukan orang yang dihatinya tertanam iman. Mengutip kalimat seorang alim: "kehidupan adalah penantian antara waktu salat, penantian makhluk bertegur sapa dengan Penciptanya."
Subuh itu, kubenamkan diri dalam kekhusyuan yang tidak kumiliki, berharap dirangkul oleh Rahman dan Rahim-nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Subuh
RomanceAngga baru saja putus cinta. Bukan pertama kali, tapi kali pertama dengan mudah ia lupakan mantan pacarnya. Sebabnya Ratih, perempuan seusianya yang wajahnya menjadi tempat berkumpul cahaya. Tapi Ratih bukan seperti perempuan muda umumnya, prinsipny...