AR : 21

110 5 0
                                    

Gubrak!

Gue menghempaskan tubuh Andi sampai menabrak meja. Andi yang sudah babak belur hanya pasrah saat gue terus menghajarnya habis-habisan.

Gue menendang perut Andi, meninju pipinya, dan melempar tubuh Andi secara sembarang. Seakan-akan Andi adalah benda yang dapat diontang-anting.

"Gue ... Gue minta maaf" Andi menyerah, ia mengangkat tangannya tanda ia menyerah.

Dada gue naik turun, ketika emosi menggebu dalam diri. Baru saja gue hendak melayangkan pukulan terakhir, Andi malah angkat bicara.

"Gue gak bakal diem kalo lu berani-berani ganggu Vika lagi, catet itu!" peringat gue masih sempat menyenggol kaki Andi yang sudah terkapar.

• • • •

"Setelah kejadian itu, kamu masih mau mengelak?!" bentak guru dengan rambut dora itu.

Gue hanya memutar matanya ke atas.

"Kalo Ibu sedang bicara, dengarkan!" bentak guru itu lagi.

"Iya Ibu cantik, ini juga lagi di dengarin. Dengan SAKSAMA" ujar gue menekan kata 'Saksama'

"Kelakuan kamu tidak pernah berubah dari dulu, sekarang juga kamu ibu skors selama seminggu!" tegas guru Bk itu dengan wajah yang geram.

"Ya udah, makasih ya bu" gue langsung keluar dari ruang Bk tanpa ada rasa bersalah.

Di skors seminggu bagi gue berkah dan bencana. Berkah karena gak sekolah, dan bencana kalau Ayah sampai tahu hal ini.

"Kamu diskors lagi?" suara mungil itu datang dari arah belakang, membuat gue harus membalikkan badannya dengan ragu.

"Eh, lu di sini Vik?" gue menggaruk tengkuknya. Ia melihat Alena dan Vistia ada bersama Vika.

"Harusnya kamu gak harus ngelakuin ini Raf, kan jadinya kamu di skors" lirih Vika menatap wajah gue lamat-lamat.

"Gue gak mau, ada orang yang nyakitin lu demi ego mereka Vik. Karena gue sayang lu" ungkap gue mampu membuat gadis di hadapannya berlinang air mata.

"Sampai kapan pun gue gak bakal bisa ngelupain lu, apalagi harus ngejauh dari lu. Semua itu gak bakal bisa gue lakuin Vik. Tentang rasa yang pernah ada di hati gue, sampai sekarang gak pernah ilang. Walau lu pergi kemana aja."

"Dan tentang gosib gue deket sama adek kelas. Itu cuma pelampiasan gue Vik. Karena gue gak bisa bertahan sama satu orang. Kecuali lu. Orang yang gue sayang" jelas gue panjang lebar membuat sejuta tangis bagi Vika, bahkan kedua temannya juga terharu melihat momen bahagia itu.

Vika memeluk gue erat. Sangat erat. Pelukan yang pernah ia berikan ketika ia menerima cinta gue saat pertama kali. Isakan gadis itu semakin menjadi ketika gue membalas pelukannya.

Bukan tentang masa lalu yang harus diredam. Hanya saja, masa lalu mengajarkan kita akan indahnya masa depan yang menanti. Entah itu sebagai teman, ataupun sebagai mantan. Atau bahkan sebagai masa depan itu sendiri.

• • • •

Seperti biasa, gue mengantar Vika pulang untuk seminggu ini. Apalagi dalam kondisi Vika yang sempat terjatuh dari tribun tadi, membuat gue semakin khawatir dengan kondisi gadisnya itu.

Motor milik gue itu memasuki pekarangan rumah Vika untuk yang kesekian kalinya. Pemandangan itu masih sama seperti dua tahun yang lalu. Taman bunga yang dihiasi bunga anggrek tetap tertata cantik. Bahkan bibit bermacam bunga yang gue belikan untuk Vika, kini berkembang biak.

Vika turun dari posisi penumpang. Kening gadis itu diberi plaster begitupula dengan dagunya yang sedikit memar.

"Ayo masuk dulu" ajak Vika dengan ramahnya.

Gue membalasnya dengan anggukan.

Kita memasuki rumah megah itu secara bersamaan. Di ruang tamu, sudah ada Mama Vika yang sedang menikmati teh hangatnya di sore hari. Vika bersaliman kepada Mamanya, begitupula dengan gue.

"Sore Tante" sapa gue dengan sopan.

"Sore nak"

"Oh ya, itu kening kamu kenapa sayang?" Tante Viola terlihat sangat khawatir.

"Itu Tan, gara-gara saya, Vika jadi jatuh dari tribun" Mata Mama Vika langsung membulat seketika.

"Udah Ma, ini gak apa-apa kok" Vika berusaha mengalihkan tangan Mamanya yang terus mengamati luka di dahi nya itu.

"Nak Rafly, saya sudah percayakan penjagaan Vika kepada kamu. Tapi ini apa? Bukannya tante gak mau kamu sama Vika lagi, kalo kaya gini caranya, tante harap kamu bisa menjauhi Vika nak" ujar Tante Viola sangat lembut namun begitu menusuk di dalam sukma gue.

Gue berusaha tersenyum penuh, tanda gue menanggapi ucapan Tante Viola barusan. Membuat Vika geleng-geleng kepala, cewek itu tidak setuju dengan apa yang terjadi.

"Tapi kan Ma ... " sela Vika.

"Vikaa" tekan Tante Viola membuat Vika tidak bisa mengelak.

"Saya pulang dulu Tan" gue bersaliman kepada Tante Viola.

Gue tersenyum kearah Vika, berharap gadis itu tidak akan meneteskan air matanya lagi. Hari ini, dan seterusnya. Gue hanya ingin melihat Vika riang kembali. Tertawa dan gembira.

"Gue pulang dulu ya Vik" gue mengacak-acak rambut gadis itu. Mungkin yang terakhir kalinya.

Pernyataan Tante Viola barusan, sangat membius hati gue yang hendak sembuh. Sangat teriris tentunya. Namun, itu keputusan dari orang tua gadis yang gue sayangi. Vika dan gue tidak dapat memberontak.

Gue keluar dari rumah megah itu, mengamatinya sebentar. Berfikir apakah gue bisa kembali melihat rumah ini atau tidak? Dengan berat hati, gue langsung menuju kearah motornya.

"Raflyyy!" teriak Vika berlari menuju gue.

"Besok kamu bakal jemput aku kan?" tanya Vika dengan air matanya yang berlinang.

"Vika harus nurut sama Mama, gak boleh ngebantah. Oke?" ucap gue persis seperti berbicara kepada Richel.

"Nanti aku ngambek gimana?" raut muka sedih itu begitu menusuk bagi gue. Ingin sekali rasanya gue berkata 'Iya'.

"Masuk sana, Vika istirahat aja dulu. Kalo besok belum baikan, jangan sekolah dulu ya. Lagian besok Afly gak bisa jemput Vika, kan Afly di skors."

Pasrah namun terpaksa. Vika membiarkan gue pergi meninggalkan pekarangan rumahnya. Entah akan kembali lagi, atau tidak sama sekali.

•••

Motor gue mendarat di rumah Arshaka, karena sebelum mengantar Vika pulang, mereka mengajak gue untuk ke rumah Arshaka. Kata Aldi pengen nongkrong-nongkrong kece ala anak muda. Sok gaul emang tuh bocah.

Di sana udah ada keempat teman gue dan ditambah satu perempuan. Siapa lagi kalau bukan Ola. Semenjak gue dan Ola berkenalan, geng gue dengan Ola menjadi sahabat. Ya ini menjadi latar belakang kenapa Rajendra dan Ola cinta lokasi. Eh maksud gue masih di fase pendekatan.

"Kenapa lagi lu? Lagi minum alkohol ya?" tanya Ola.

Lagi minum alkohol ya?

Entah kenapa empat kata itu menusuk ulung hati gue. Mengingatkan gue pada kejadian "itu"

Rajendra menyikut perut Ola, sedangkan Danis mengisyaratkan untuk diam.

"Kenapa lagi sih?"

"Lagi ada masalah sama Vika? Bukannya lu udah baikan sama dia?"

"Gue kayaknya harus benar-benar move on dari Vika" ucap gue frustasi.

"What?!" kaget ke lima orang yang di depan gue dengan bersamaan.

"Mamanya larang gue buat dekat-dekat Vika lagi, ini semua gara-gara gue. Coba aja gue gerak cepat pasti Vika gak jatuh dari tribun"

Semua menepuk pundak gue prihatin.

•••

Update lagi yey :v

Abis baca vomment🔪

Klo ada typo mohon dikoreksi:)

-Ranniecaa-

About RaflyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang