"Say..." kakiku berhenti melangkah. Jujur, aku tidak suka jika dipanggal Say. Risih, seperti perempuan genit.
Kadang aku bingung sih, kenapa masih aja ada cewek yang suka sama Rio padahal dia ganjen sama cewek-cewek lain.
Cinta buta gitu?
serem dong.
Tapi gara-gara keganjenan Rio, tidak sedikit laki-laki yang akhirnya menggunakan kata itu untuk menarik perhatianku. Bukannya kepedean, tapi memang begitulah kenyataannya.
"Jutek banget si Say~ang..." ugh. Kalau dulu, reaksiku akan langsung marah. Mengomeli mereka yang menyalah-gunakan namaku sebagai bahan candaan. Seperti, "Eh gue gak seneng yah nama gue di salah-gunakan".
Dan mereka selalu punya jawaban seperti, "Kan gue emang sayang sama lu", setelah itu koor-tawa akan menggema di seluruh lobby kelas.
Yah, Rio salah satu anak yang paling rajin meledekku. Dia memang gak pernah lelah menertawakanku.
Setelah satu semester penuh aku akhirnya menyadari bahwa meladeni mereka sama saja dengan mengobrak-abrik emosiku.
Hei, tentu saja di awal-awal aku sempat tersipu meski sepersekian detik. Pun jantungku kerap berdegup jika di goda seperti itu. Bagaiamanapun aku adalah seorang gadis dan mereka laki-laki. Sangat rawan bila tidak mampu menjaga lisan dan perhatian. Bisa-bisa aku salah paham. Dimana sebuah pertanyaan akan muncul, Jangan-jangan Rio suka samaku?
Tapi semua tanya langsung sirna, degup jantungku langsung terkontrol dengan baik. Aku tidak lagi tersipu sekalipun itu hanya sepersekian detik. Sebab aku tau bahwa Rio hanya menginginkan eksistensinya saja. Dia hanya ingin keberadaannya diakui oleh kami para wanita. Dan aku merasa bodoh telah menjadi salah satu korbannya.
Buktinya saja aku melihatnya berboncengannya dengan perempuan lain. Lagipula, berbekal cerita dalam novel, aku tidak boleh memyimpulkan rasa dengan cepat. Bisa-bisa aku akan terluka.
"Lu makin hari makin jutek Say~ang" Aku menarik napas pertanda bosan yang kuyakini dia bahkan tidak pernah peduli.
Aku hanya mengangkat sebelah alisku, pertanda sudah tak sabar mendengar kepentingannya. Wajahku bosan. Kuladeni dia hanya sebatas tatakrama, namun kekesalan tak luput dari gerak gerikku.
"Nih buat lu" Dia menyerahkan jagung rebus padaku. Kok dia bisa tau kesukaanku sih?
Kulirik jagung rebus yang terbungkus pelastik berwarna bening dengan penuh minat. Otakku berpikir keras untuk menerima atau menolaknya.
Kulihat dia sekali lagi dengan penuh selidik.
"Yaelah kagak ada peletnya. Terima gih. Pegel tangan gue" Dia menyodorkan lagi jagung rebus itu.
Aku mencoba berprasangka baik padanya. Kuambil jagung itu dari tangannya.
"Thanks," kataku tulus.
"No probs" Dia tersenyum, kuakui dia memiliki wajah yang lumayan tampan. Pantas saja followers nya bisa sampai 19k.
"Kita resmi jadian yah" Katanya lagi sembari tersenyum sok kegantengan. Tiba-tiba ketampanannya hilang seketika.
Dih.
"Sorry!" Refleks kuletakkan makanan itu di lantai. Dan segera kutinggalkan dia secepat yang aku bisa.
Kudengar dia terkekeh geli. Syukurlah dia hanya sendiri. Kalau beserta teman-temannya, pastilah mereka sudah tertawa berjamaah.
Hah. Kok bisa lupa sih? sejak kapan coba, seorang Rio bisa bersikap manis tanpa maksud tertentu?
em.. ya tentu saja sikap itu manis. Hampir luluh aku dibuatnya.
Brukh,...
Jalanku langsung berhenti. Melamun dan marah bukanlah perpaduan yang tepat saat berjalan.
"Uh" aku kesakitan karena keningku baru saja menabrak sesuatu yang keras. Seseorang sengaja menaruh barangnya tepat didepanku. Siapa sih?
Aku menelan mentah-mentah amarahku saat kusadari bahwa kak Emir kini berada di hadapanku dengan wajah geli namun juga nampak menyesal.
"Maaf, sengaja" katanya dengan manis. Iya manis banget senyumnya. Kelihatan banget sih Player nya kalau begitu.
Aku hanya diam saja. Mau jawab, "kok sengaja?" nanti dia kira aku ganjen lagi. Ya lumrahnya kan ketika dikerjai responnya marah. Minimal wajahnya jutek. Ya, jutek. kupasang wajah jutek.
"Bercandanya yang sehat dong kak" keluhku sembari mengusap keningku yang masih sakit.
"Iy sorry, habisnya wajah kamu serius banget sampe gak sadar ada orang didepan" Aku hanya bisa melihat pundaknya tanpa berani melihat wajah kak Emir.
Aku diam, tidak mungkin kuceritakan kekesalanku tadi.
"Nih buat kamu, sebagai permintaan maaf" katanya menyodorkan sekantung pelastik hitam yang ku tak tau isinya apa.
"Aku udah gak kenapa-kenapa kok" kataku basa-basi. Heuh, grogi juga ngomong di depan orang yang pernah kita suka. Sejak insiden dia mengajakku pulang, kutolak, tapi dia malah membawa cewek lain. Aku belajar move on.
"Gak apa-apa, ini jagung rebus. Kamu suka kan?"
Ha?
Aku benar-benar melongo menatapnya tak percaya.
"Jangan melamun. Bentar lagi bel. Nih!" katanya mendesakku. menyadarkanku dari lamunan ketidak-percayaan akan kenyataan hidup yang sangat manis ini.
Gimana enggak, gebetanmu tau betul makanan yang kau suka. Manis gak tuh? Duh gagal move on nih aku.
"Oh iya, thanks" Kataku sembari menerima kantung hitam pemberiannya. Lagi, dia tersenyum manis membuatku girang. Lupa kalau dia juga playboy. Fix, gagal move on.
"Gue deluan yah. Bye" Kak Emir menutup percakapan singkat kami. Dia hendak pergi melewatiku. Aku hanya diam, gugup sekali saat hawa keberadaannya benar-benar terasa disampingku. Padahal hanya sekelebat karena dia melewatiku. Namun,
"Eh kak," Tiba-tiba aku memanggilnya yang membuat kak Emir berhenti dan berbalik. Jarak kami tidak jauh. Hanya sekitar dua langkah kaki kecilku.
"Ya?" tanyanya dengan senyum yang menawan. Kali ini sih adegannya so sweet kayak di novel-novel.
"Kakak kenal siapa aku?" tanyaku bodoh. Tapi hei, aku memang tidak terkenal. Jadi, aku cukup berharap banyak dia mengenal namaku.
Awalnya dia sempat terdiam, namun selanjutnya dia tersenyum.
"Tentu saja, Shaira Noor Faiza"
Deg. Menyebut namaku dengan senyumnya yang menawan benar-benar bahaya.
huft.
Dia kemudian meninggalkanku sebab aku sama sekali tidak meresponnya. Kurasa dia tau kalau aku menyukainya.
Siapa yang tidak akan menyadari jika tingkahku sudah panik dan tidak terkontrol begini?
Bertanya sesuatu yang tidak penting. Kalau dia tau kesukaanmu, sudah tentu dia mengenal namamu ijaaaaah. huh. Kan pernah di chat juga, ya ampun. Bisa banget pikunnya. Pernah ditemenin nunggu bang Aufan juga kan?
Bucin kali yah?
Kesadaranku kembali saat bel berbunyi. Barulah kakiku beranjak meninggalkan koridor perpus menuju lantai 4 tempat kelasku berada.
Tunggu dulu, aku kan gak suka sama playboy kayak kak Emir.
Dasar bucin.
KAMU SEDANG MEMBACA
TEENLOVE
Teen FictionJadi begini, aku suka sama kak Emir. Dia itu udah kayak sosok pangeran di negeri dongeng. Perfect! Pinter, ganteng, anak pengusaha pula. Bukan cuma aku yang suka sama kak Emir. Hampir sebagian besar penduduk sekolah yang bergender wanita menyukainya...