Motor yang ku naiki berhenti mendadak, membuat tubuhku bergeser kedepan dan secara otomatis memeluk bang Aufan.
"Dadakan banget sih." Aku kesal. Abang memang paling bisa bikin mood disekitarnya berubah.
"Majuan lagi dong, berapa kali sih dibilang. Aku gak mau turun didepan gerbang kek gini" Kupukul pundaknya. Abang yang lebih dulu lahir beberapa menit dariku ini memang hobby banget jadi pusat perhatian ciwi-ciwi. Makanya dia selalu pilih berhenti tepat didepan gerbang. Dan aku yang gak mau jadi pusat perhatian selalu protes namun tak pernah di gubris olehnya.
"Buruan.., udah telat nih gue" Tuh dia malah ngebalasku dengan galak. Gak peduli sama perasaan orang lain. Egois.
Kesal banget punya abang kayak dia. Pengen masukin dia kedalam perut lagi.
"Nih helm" Kataku jutek sambil menyerahkan helm biru muda kepadanya saat sudah berhasil turun dari motornya yang super besar.
"E Ijaaah. Berapa kali sih mesti di ulang terus. Helm kamu yang bawa. Ribet abang bawaknya dedek gemezzz" Katanya dengan nada seolah gemas padaku. Tak lupa tangannya mencubit pipiku yang chubby.
"Lo juga, berapa kali gue bilang turunnya jangan di depan gerbang banget. Masih aja gak dengerin" Kesempatanku untuk protes. Sama dia emang gak ada hari tanpa protes dan berantem. Jadi heran, dulu sewaktu didalam perut kami gak berantem juga kan? Entar tanya bunda deh.
Ah aku luap sekaeang malah kami berdua jadi menarik perhatian banyak orang. Beberapa siswi jelas berhenti hanya untuk memperhatikan gelagat Abang.
"Elo numpang Ijah, jadi mesti ikut aturan gue. Suka-suka gue." Ih kesel banget sih. Aku memang lebih sering kalah debat kalau udah sama dia.
"Sini gue kasih tau." Katanya sembari mengangkat jari-jarinya memanggilku. Aku mendekat satu langkah. Mendengarkannya dengan seksama. Bagaimanapun juga aku ini adiknya yang mesti hormat sama abang.
"Lo mau gak gue jemput?" Dia tersenyum miring. Aku tau dia ingin mengerjaiku. Tapi gak usah pakai senyum itu bang. Anak-anak ciwi jadi histeris itu.
"Elo dah janji yah sama bunda buat anter jemput gue setiap hari. Jangan ingkar" mataku melotot memberinya peringatan.
Dia kemudian merubah posisi tangannya yang kini bersedekap di dada. Kakinya yang panjang mampu menahan motornya yang besar.
"Kalau helm gue yang bawa, otomatis banyak yang nempel pengen di bonceng. Lo mau?" Lagi dia mempermainkanku. Alisnya naik turun menggodaku.
Kesel. Susah sih punya kembaran ganteng.
"Yaudah. Helm di gue. Assalamualaikum." Aku mencium tangannya sembari memberi salam.
Begini-begini kita masih saling menghormati. Aku selalu pamit dengan mencium tangannya. Kata bunda, kalau ayah dan bunda sudah tua atau tiada. Kelak yang menjagaku adalah Aufan. Dia adalah waliku ketika aku menikah. Jadi aku harus selalu menaruh hormat padanya. Yah sekalipun kadang-kadang kami berantem.
Aku langsung memasuki gerbang tanpa menunggu bang Aufan. Dia memang selalu menyuruhku masuk terlebih dahulu. Setelah dia memastikanku masuk dengan aman, barulah dia pergi meninggalkan area sekolah.
Jika bukan karena permintaanku yang ingin berpisah dengannya. Dia mungkin sudah berada disekolah yang sama denganku. Tapi aku terlalu lelah dekat dengannya. Bukan dengannya. Tapi dengan orang-orang yang menyukainya.
Jika dia berada di sekolah yang sama denganku. Akan selalu ada wajah baru yang menemuiku. Mereka perempuan-perempuan gigih yang kerap mengirim surat, makanan, atau barang-barang lucu.
KAMU SEDANG MEMBACA
TEENLOVE
Teen FictionJadi begini, aku suka sama kak Emir. Dia itu udah kayak sosok pangeran di negeri dongeng. Perfect! Pinter, ganteng, anak pengusaha pula. Bukan cuma aku yang suka sama kak Emir. Hampir sebagian besar penduduk sekolah yang bergender wanita menyukainya...