Ikut Main ke rumah

5 1 0
                                    

"Ra, kita ikut kerumah lo yah" pinta Rasti selepas bu Gita keluar dari kelas.

"Nagapain?" Kesel juga ternyata pas tau diantara mereka gak ada yang inget ulang tahunku.

"Dah lama gak main" kata Rasti.

"Kita sejak kenal belum pernah kerumah lo Ra" tambah Caca.

"Iya nih, kok jadi pelit gini sih lo?" tambah Luna dengan wajah penuh selidik.

"Apasih? jangan-jangan kalian ngegosipin abang gue. mupeng sama abang gue?" bagaimana pun Rasti pernah kecantol sama aura bang Aufan.

Iya bener, saat ini dia jadi abangku. Aura protectku langsung muncul karena tampang-tampang kayak Rasti, Luna dan Caca tuh gak bisa di percaya.  Ganjen semua aslinya.

"Seudzon banget sih lo Ra" Kata Rasti yang merasa tertuduh.

Ya jelas, cuma dia satu-satunya cewek asing yang pernah lihat bang Aufan topless. Eh enggak, Rasda juga pernah. Tapi Rasda aman, dia gak blingsatan kaya kembaranya. Sekalipun aku tau Rasti udah mulai tobat, tetap saja aku gak mau abang jadi korban mereka.

"Sombong banget sih Ra, mentang-mentang di kasih rizki abang ganteng" Caca nih kalau ngomong yah. Ingin kusumpal mulutnya dengan roti sobek yang asli biar gak nge-halu.

"Iya nih. Gak akan kita makan abang lo. Emang kita apaan?" Luna ngomong kayak gitu malah membuatku semakin waspada.

sejak tadi aku hanya diam. siap memakai ranselku.

"Plis" Rasti memohon dengan tangannya menggenggam tanganku
"janji gak jahad sampai sana" kata Caca lebay.
"harga diri gue jatuh nih Ra" Luna mempoutkan bibirnya.

argh, mereka menyerangku bersamaan. membuat kepalaku pusing.

"Iya iya. Janji yah gak ngapa-ngapain?" putusku dengan tak rela.

"Janji"
"Siyap"
"Oki doki"

jawab mereka serempak. beuh gak percaya. baru disini aja nih jinak. gak tau deh kalau sampai rumah gimana?

"Emang kalian bawa motor?" tanyaku pada Caca dan Luna. Karena setahuku Caca diantar jemput sama abangnya ya kali abangnya juga dibawa kerumah?

Dan Luna memang aslinya pengguna TJ.

"Rasda sama aku bawa motor kok"

"tumben?"

mereka semua hanya nyengir.

Sepanjang perjalanan turun ke bawah. Mereka semua terlihat aneh. Mempercepat langkah dan selalu mengapitku.

"Ih jauh-jauh dong. Masih dua lantai lagi nih. Enggap gue" Kataku protes berusaha melepaskan rangkulan Caca dan Rasti dilengan kanan dan kiriku.

"Say~" Rio datang dengan riang, entah membawa apa. Aku males manghadapinya. Syukurlah Caca langsung menghampirinya dan menutup mulutnya. Tak sampai disitu, Caca menggiringnya jauh dari kami.

Wow. Protect banget. Tumben.

"Deluan guys, gue mau ngobrol sama si Rio" Mereka semua, Rasti dan Luna, mengangguk cepat dan segera membawaku pergi. Kini giliran Luna yang memegangi lenganku.

Ada apa sih?

namun tanya itu tak terucap. aku hanya diam saja digiring mereka berdua. Ketika sampai digerbang, aku melihat bang Aufan sudah menunggu.

"Stop" kataku yang tiba-tiba menghentikan mereka.

"Sampai sini aja. Gue tunggu di rumah. kay?" Karena hawa-hawa predator sudah muncul.

"Ah lo mah pelit" keluh Luna. Saat dia juga menyadari keberadaan bang Aufan.

"Masih ingat rumahku kan?" tanyaku pada Rasti yang kini matanya fokus ke bang Aufan. Tuh kan. Jelalatan deh matanya. Sampai gak bisa diajak bicara.

"Mata hoi" kututup matanya dengan sedikit berjinjit. Diantara mereka memang aku yang kurang vitamin tinggi.

"ih..." Rasti berusaha mengenyahkan tanganku.

"Belum juga dirumah. Ah gak jadi deh lu main" kesalku pada mereka.

"Jangan gitu dong.." Rengeknya.

"iya maaf" Luna hanya terkikik geli mendengar permintaan maaf Rasti yang tidak tulus. Bukannya aku seudzon yah, percaya deh. Gak ada tuh niat tobat. Auranya predator gitu.

"apa yang gak jadi?" tanya Caca yang baru datang. Namun dia menjadi heboh ketika melihat bang Aufan, "wih bening" serunya yang kemudian dibenarkan dengan anggukan antusias Luna dan Rasti.

Mereka bertiga bahkan entah sejak kapan sudah saling berpegang tangan. Perlahan tapi pasti, langkah mereka mulai menuju ke halte tempat bang Aufan biasa menungguku.

Dia memang suka disitu, karena disamping halte ada pohon yang cukup memberikannya perlindungan dari sinar mataha-,

"KALIAN NIAT MAIN APA GANJEN SIH?" teriakku kesal. Beberapa orang teralihkan karena mendengar teriakanku.

Untung saja aku tersadar. Mereka bahkan sudah 5 langkah meninggalkanku.

Segera ku berlari menghadang mereka yang melambai-lambai ke bang Aufan.

"Main. Astaghfirullah" Rasti menyakinkan. Dia yang sadar terlebih dahulu.

"Eh ngapa teriak?" Rasda muncul dengan matic hitam yang jarang kulihat.

"tauk. bilangin, kalau mau ganjen jangan datang kerumah. Assalamualaikum." aku langsung meninggalkan mereka. Samar-samar aku mendengar Rasda memberikan petuah pada mereka bertiga setelah menjawab salamku.

"Jaga mata dong, malu itu sebagian dari iman. kalian udah gak punya iman?" tuh rasain. Aku tidak lagi bisa mendengar ceramah Rasda.

"Dipake helmnya" kata bang Aufan ketika aku sudah benar-benar di hadapannya. Dia menyerahkan padaku helm yang biasa kupakai. Hari ini dia sengaja membawa dua helm. Gak tau kenapa, tapi soal helm memang bang Aufan selalu suka mengatur seenaknya.

"Hm," sebelum aku memakai helm, kusempatkan memeluk pinggang abangku.

"kenapa manja nih?" katanya. bodo ah kalau dilihat banyak orang. Aku cuma gak mau abangku dekat-dekat sama perempuan yang mudah jatuh dengan ketampanan. Kalau sewaktu-waktu abangku jadi jelek? masih ada yang mau? kalau dia ditinggal?

ah enggak, ngebayangin abangku jadi jelek aja ogah. Bukan karena jeleknya, pasti abangku gak baik-baik aja. Kalau sekarang sudah seganteng ini, untuk jadi jelek pasti ada prosesnya seperti kecelakaanlah atau serangkaian musibah yang bahaya. ih naudzubillah. itu kalimat yang sering diucapkan Rasda kalau gak pengen kejadian itu terjadi.

"Lo kenapa teriak-teriak? Anak gadis kok suaranya besar"

aku hanya mempoutkan bibirku. kupakai helmku dan segera duduk dibelakangnya.

"Btw, lo udah balikin jaket tu anak kan?" seru bang Aufan seraya mengendikkan bahunya menunjuk seseorang.

hah?

aku segera mencari sosok yang dimaksud bang Aufan. Ketika mesin motor di hidupkan. Kulihat kak Emir berdiri tak jauh dari kami dengan bingkisan ditangannya. Banyak banget sih yang bawa bingkisan?

Keberadaannya kian hilang seiring motor melaju kencang.

"hoi" bang Aufan sengaja menyenggolku dengan tubuhnya. Memperingatkanku untuk berpegangan.

kupeluk dia dengan erat.

Allah kasih ujian kali yah sama ketampananmu bang. Kenapa lagi motornya mesti motor ducati begini? Om juga kok bisa-bisa ngehadihin motor gitu sih?

Tau aja keponakannya makin ganteng gegara motormya gitu.

Tapi.., apa segala hal harus diukur dengan fisik? materi?

Apa dulu aku suka dengan kak Emir juga karena Fisiknya?

hmm..

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 08, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TEENLOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang