"Kok abang belum jemput aku sih?" gerutuku. Kulihat jam tangan berwarana biru kesukaanku sudah menunjukkan pukul 15.00 yang artinya aku sudah menunggunya hampir satu jam lamanya. Padahal jarak sekolahnya dengan sekolahku sekitar 15 menit.
"Malah mendung. Tuh tuh.., Hujan kan?" Aku menggerutu sebab hujan kini datang. Ku eratkan pelukanku saat hawa dingin mulai menyerang.
"Neng masuk aja sini. Gak boleh menggerutu. Hujan itu berkah. Mending banyak-banyak doa deh, insyaAllah ini waktu mustajab" Kata pak Eman, Satpam sekolah. Dia menawariku duduk di posnya yang berada di sisi kanan gerbang bagian dalam.
"Mustajab apaan pak?" Tanyaku penasaran.
"Yailah neng, mustajab itu pasti dikabulkan sama Allah" Pak Emang nampak geli.
"Oh... iya pak makasih tawarannya" balasku.
"Belajar apa aja sih disekolah neng? Masa mustajab aja gak tau" tanya pak Eman lagi.
Duar... suara petir menyambar membuatku menunda jawaban. Hujan kian deras. Membuatku merapat kedekat pos satpam agar hujan tidak mengenaiku. Tapi percuma, hujan yang terbawa angin menyentuh bagian kakiku.
Di bagian luar gerbang sekolah disediakan tempat untuk menunggu jemputan. Halte sekolah. Akhirnya aku berlari kecil ketempat itu. Meninggalkan pak Eman dan pos satpamnya. Membuat sebagian bajuku menjadi basah.
Hanya ada beberapa motor dan mobil yang tersisa di area sekolah. Kucoba sekali lagi menghubungi kembaranku untuk yang kesekian kalinya. Namun tak kunjung diangkat.
Membuatku ingin menangis. Bukan karena aku takut sendirian di halte sekolah. Tapi aku khawatir terjadi sesuatu dengan bang Aufan. Dia tidak biasa seperti ini. Kalau memang tidak bisa menjemput, dia pasti memberiku kabar.
Ini pasti ada apa-apa. Duh khawatir aku tuh. Tanpa sadar air mataku menetes.
Tuh kan, kenapa nangis coba?
Hiks.
Kemana sih abang?
Kala sibuk memikirkan bang Aufan. Sebuah suara mengagetkanku.
"Lo nunggu siapa?" Aku yang kaget langsung menghapus air mataku. Kulihat seseorang yang secara tiba-tiba menyapaku.
Dia kak Emir.
Dia lihat aku nangis dong?
Ugh. Pasti dia mikir aku cengeng.
"Nunggu jemputan" jawabku pura-pura kalem. Aku gak mau dia mikir aku suka sama dia. Gengsi!"Masih lama?" Tanya-nya lagi. Kubalas dengan anggukan. Dia ikut mengangguk pertanda mengerti.
Lama kami terdiam. Kemudian dia ikut duduk disampingku dengan memberi jarak yang cukup diduduki satu orang.
Mobil Brio kak Emir masih nangkring didepan kami. Tidak ada siapapun didalamnya.
Aku tidak berani bertanya alasan kak Emir yang ikut duduk disampingku. Aku tidak berani bersuara. Aku khawatir dia bisa merasakan betapa gugupnya aku berada disampingnya.
Sekalipun aku sedang berusaha untuk kalem. Demi menghilangkan rasa gugupku. Aku melihat ponselku. Kubuka lagi ruang chatku dengan bang Aufan.
Gue udah nunggu satu jam. Still.
Gue akan tetap nunggu sampai lu bales. Gue mesti tetap nunggu atau pulang sendiri?
Bang.., lu baik-baik aja kan?
Hei
Pokoknya gue nunggu
Sekarang lagi di halte
Bang?
Still waiting you
Huh. Tanpa sadar aku menghela nafas. Hujan masih setia turun. Hingga perlahan beberapa air meluap ke sisi jalan. Dan kak Emir masih setia menemaniku. Kulirik dia kini sibuk dengan hp nya. Kedua jarinya bergerak memainkan sebuah permainan yang biasa dimainkan bang Aufan.
Ugh. Bang Aufan dimana sih? Kehujanan? Kan dia bawa jas hujan. Kenapa sih bang Aufan? Gak kenapa-kenapa kan?
Kutelpon lagi bang Aufan. Terserah. Aku masih berharap dia mengangkatnya. Terus begitu hingga berkali-kali.
"Masih belum diangkat?" Akhirnya kak Emir bicara. Aku mengangguk. Rasa khawatirku kian membesar. Mataku mulai panas. Dia beneran gak biasanya begini.
"Tiin tiin" klakson motor mengagetkanku.
Refleks aku melihat kedepan. Motor bang Aufan sudah berhenti tepat di depan mobil kak Emir. Aku segera berdiri dan hampir saja menghambur ke sisi Aufan sebelum akhirnya berhenti karena kak Emir menahanku. Dia menarik tasku.
"Eits. Tunggu dulu" membuatku berhenti. Memasang wajah tanya padanya. Dia membuka jaketnya lalu menyerahkannya padaku.
"Pakai. Biar gak kena hujan" karena aku tak kunjung menerima. Dia memakaikan kupluk jaketnya di kepalaku.
"Ra." Panggil Aufan. Dia sudah ada di depan kami. Bajunya basah kuyup. Membuatku kaget dan panik karena beberapa sisi baju dan celananya kotor.
"Abang kenapa?" tanyaku panik. Rasa khawatirku berhasil mengalahkan rasa kesal hendak memarahinya.
"Ya kehujananlah" katanya jutek sembari menyerahkan jas hujan padaku. Aku tau dia tidak ingin cerita.
"Gak. Abang aja yang pakai"
"Udah nanggung"
Aku kembali duduk. Kupakai dengan benar jaket pemberian kak Emir. Setelah sebelumnya tas ku lepas.
"Kakak pakai jas hujan. Aku pakai jaket kak Emir." Kulirik kak Emir yang masih setia bersama kami. Kok belum pulang sih? Bikin aku salah paham aja. Kan ge er nih jadinya.
"Bawel. Udah nanggung dibilang." Aku diam. Kulirik lagi kak Emir yang kini melihatku. Satu ide muncul.
"Yaudah. Aku minta tolong kak Emir anterin aku pulang" Pipiku bersemu. Aku malu sudah mengatakannya. Tapi kalau tidak begitu, abang tidak akan merubah keputusannya.
"Bandel sih" Kata bang Aufan sembari menyerahkan helmnya padaku dengan paksa. Pertanda dia marah dengan usulanku.
Kemudian dia memakai jas hujan dan setelah itu mengambil helmnya kembali.
Aku tersenyum melihatnya yang berubah menjadi penurut.
Dia segera menarik tanganku.
"Tunggu" aku menahan tarikannya sekuat yang ku bisa.
"Apala-"
"Makasih ya kak. Pinjem" kataku pada kak Emir yang sejak tadi gak bosan melihat drama kami.
Jangan-jangan dia suka sama aku?
"Sama-sama"
"Buru ih" dan aku tidak lagi memiliki alasan untuk kembali melihat kak Emir. Aufan sudah menarikku dan langsung menyuruhku naik keatas motormya yang besar.
Tanpa berlama-lama dia langsung melajukan motornya meninggalkan kak Emir sendirian.
Kueratkan pelukanku kala bang Aufan melajukan motornya dengan kencang.
"Auh"
"Kenapa bang?" Dia diam. Tidak menjawab tanyaku. Aku merenggangkan pelukanku. Sepertinya ada yang salah dengan perutnya.
Tuh kan, dia bikin aku khawatir lagi.
-
To be continue
KAMU SEDANG MEMBACA
TEENLOVE
Teen FictionJadi begini, aku suka sama kak Emir. Dia itu udah kayak sosok pangeran di negeri dongeng. Perfect! Pinter, ganteng, anak pengusaha pula. Bukan cuma aku yang suka sama kak Emir. Hampir sebagian besar penduduk sekolah yang bergender wanita menyukainya...