8. Bunyinya Krak (BK)

1.4K 97 4
                                    

Menemani kalian malam tirakatan, mengingat para pejuang kita.

Dan Lovata yang juga berjuang demi cintanya 😝

Jangan lupa vote⭐ and komen gaesss...😘

Happy reading

.

.

.


Gak ada yang lebih menyenangkan daripada weekend seperti ini. Berkumpul dengan keluarga dan teman-teman. Gue sedang berada di kamar, memilih pakaian yang akan gue kenakan untuk hangout bersama para sahabat gila gue.

 Gue sedang berada di kamar, memilih pakaian yang akan gue kenakan untuk hangout bersama para sahabat gila gue

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Perceft nih. Gue emang bukan perempuan yang gila belanja dan menghabiskan tabungannya untuk membeli pakaian dan aksesoris lainnya. Gue hanya membeli secukupnya dan seperlunya. Hidup itu butuh duit gaess.

Gue duduk di depan teras kosan, menunggu jemputan seorang Bobby yang sudah matang sebagai lelaki sejati. Penggemar Bobby makin banyak setiap harinya di kantor. Bahkan gue jalan sama dia pun udah pada ngajakin kenalan.

"Woiy Boncel. Naik" gue menghampiri Bobby yang sedang menaiki motor ninja. Gila macho mennnn. Bobby kasih gue helm.

"Bi" Bobby mendelik tajam ke gue. "Sorry Bob, habisnya enakan panggil Lo Bibi" gue nyegir.

"Buruan, panas ini" gue mengangguk dan segera menaiki motor Bobby. Bobby melepas jaketnya dan diberikan ke gue. "Tutupin rok Lo"

"Ah makasih bibi sayang"

📁📁📁

Kami sudah ada di salah satu mall. Gue dan Bobby berjalan beriringan menuju salah satu tempat karaoke langganan kita. Prita udah melambaikan tangannya ke kami berdua.

"Duh gila gue kenapa yang kelihatan rajin banget datang duluan" gue dan Bobby hanya tertawa. "Lha cuma kita bertiga nih? Si cuek kemana?" Tanya gue.

"Gue maksud Lo Cel?" Gue menengok ke belakang. Disana Mahesa datang bergandengan tangan dengan Ivo.

Krakkk

Bunyinya keras banget sampai ke telinga gue. Bunyi hati gue yang patah entah berapa kali rasanya seperti ini. Melihat Mahesa memandang wajah cantik Ivo penuh cinta. Gue bisa apa?.

"Ampun deh lama Lo, ngapain aja?" Tanya Prita penuh emosi. Bobby memeluk pundak gue dan Prita masuk kedalam. Bobby berbisik di telinga gue pelan.

"Sebegitu kerasnya kah Lo suka dia? Sampai bunyi hati Lo yang patah itu kedengaran sampe ke telinga gue" gue memandang wajah Bobby tak percaya. Dia tahu?.

"Kok Lo tahu sih Bi. Gak asyik nih. Gue mau nyanyi dangdut tiga lagu" ucap gue getir. "Gue temani" Bobby menepuk kepala gue pelan.

Kami memesan jus jeruk lebih dulu sebelum bernyanyi. Mata gue harus di colok, kenapa gue harus memandang kemesraan Mahesa dan Ivo coba. Bobby merangkul pundak gue dan mengajak gue ke depan untuk bernyanyi.

🎤Bisane mung nyawang
Sing biso ndampingi
Bisane mung ngangen
Sing biso nduweni
Riko hang sun sayang
Wis ono hang ngudang
Riko hang sun eman
Wis duwen wong liyan🎤

Gue dan Bobby bergoyang di depan bersama Prita juga. Mencoba mengalihkan perasaan sakit hati dari Mahesa. 

🎤  Getun rasane ati sing biso nduweni

Riko hang sun demeni
Riko hang sun welasi

Wis ono hang ngrumati    🎤

Harusnya gue udah tahu, sebegini menyakitkannya mencintai seorang Mahesa, lelaki cuek yang gak peduli dengan sekitar dan perasaan gue. Yang dia pedulikan hanya Ivo.

🎤Opo iki wis takdire

Bisone mung nyawang
Kadung mulo wis takdire
Lilo isun lilo🎤

Suara tepuk tangan mereka karena suara gue yang menghibur mereka. Ivo berdiri dan menarik lembut Mahesa untuk ke depan. Memilih lagu Yovie Nuno janji suci. 

Gue memilih minum jus dan menyandarkan kepala gue di bahu Bobby. Bobby membelai kepala gue seperti adik kecilnya. Bobby selalu menganggap gue adik kecilnya yang telah tiada. Prita menepuk pelan lengan gue, dia mencondongkan tubuhnya ke gue dan berbisik.

"Gue juga tahu kok kalau Lo suka sama si cuek" katanya yang sukses buat gue kaku. Prita dan Bobby tertawa terbahak-bahak melihat tubuh kaku gue.

Mahesa dan Ivo kembali duduk di samping Prita yang sedang tertawa terbahak-bahak. "Ada apaan?" Tanya Mahesa.

"Gak papa, cuma kita lagi godain si boncel aja. Dia kan lagi marahan sama si bos" alibi Prita yang emang benar. Gue menceritakan ciuman gue dengan si Eleno padanya dan Bobby saat itu.

"Kenapa lagi?" Mereka kembali tertawa terbahak-bahak. "Ntar kalau gue ceritain, elonya jadi baper Sa" kata Prita.

"Terus aja. Udah ah gue mau nyanyi lagi. Ayo Bob, kita dangdutan lagi" ajak gue. "Sikat Bosque"

Gue dan Bobby kembali bedangdutan ria. Meninggalkan rasa sakit hati mencintai Mahesa yang gak akan pernah gue gapai. Mahesa tetaplah sahabat gila gue dan gak akan pernah bisa lebih dari itu.

📁📁📁

Senin pagi rasanya gue males banget berangkat. Gue sengaja berangkat lebih awal, jam 6 gue sudah sampai di kantor, dengan mengendarai ojek online kesayangan. Gue tiba di kantor yang masih sepi.

"Lho mbak Lova?" Sapanya, gue menoleh dan mendapati lelaki yang tak asing bagi gue. "Eh mas..."

"Genta mbak" gue mengangguk. "Di bagian apa mas Genta?" Tanya gue penasaran.

"Saya bagian perencanaan mbak" gue mengangguk. "Satu divisi sama Mahesa?" Dia mengangguk.

"Ya mbak. Mas Mahesa mentor saya" gue lagi gak tertarik membahas tentang Mahesa.

"Nona Lovata" matek. Lapo kudu ketemu Eleno Saiki. (Mati. Kenapa harus ketemu Eleno sekarang)

"Selamat pagi pak" sapa gue sopan. Eleno memandang Genta di samping gue. "Dia Genta pak, karyawan baru di divisi perencanaan" Eleno mengangguk.

"Selamat pagi pak" sapanya ramah, tapi Eleno hanya mengangguk dan masuk kedalam lift diikuti gue dan Genta.

Gue memulai pekerjaan yang menguras tenaga dan pikiran gue. Meninggalkan rasa sakit hati kemarin tentang Mahesa. Gue lebih fokus ke pekerjaan yang harus selesai siang ini.

Siang ini sampai sore, gue mengikuti kemana Eleno pergi meeting. Eleno lebih pendiam dan menggilai pekerjaannya. Berbeda dengan beberapa bulan lalu yang masih kurang terima harus diungsikan kembali ke Indonesia oleh sang kakek.

"Kita kembali ke kantor pak?" Tanya gue yang sudah menyetir kembali mobil miliknya. "Ya" satu kata perintah yang mutlak di lakukan.

Gue menyetir mobil menuju kantor. Masih ada waktu satu jam sebelum jam kantor bubar. Kantor masih sepi karena semuanya sibuk dengan pekerjaannya. Gue kembali ke ruangan gue sendiri.

Mahesa datang ke ruangan gue dengan senyum khasnya yang buat gue klepek-klepek. Dia menyerahkan sebuah undangan pernikahan yang elegan bagi gue. Tertulis nama Mahesa dan Ivo.

Krakkkkkkkkk

Bunyi itu kembali terdengar, tapi lebih panjang. Seakan ada yang patah  dan hancur lebur. Gue menatap kosong kearah undangan yang dia serahkan. Tidak ada niatan untuk memegangnya ataupun mengambilnya. Gue membiarkan undangan itu tergeletak manja disana.

"Jangan lupa datang ya Cel" gue hanya diam mematung, memandang lekat wajah Mahesa. Seperti ini kah rasanya sakit hati jalani cinta. 

"Ta, kalau gue boleh saran, mendingan Lo deketin pak bos aja" gue berdiri dari duduk gue, menatap tajam kearah Mahesa yang tidak merasa berdosa.

"Lo gak akan pernah bisa menyuruh hati gue berpaling pada siapa. Lo cukup urusin masalah pribadi Lo sendiri" 

📁📁📁

Boss Yes I Do (repost) tersedia e-booknya di playstoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang