"Ucapan 'Halo' di saat pertama kali bertemu mungkin saja akan berubah menjadi ucapan 'aku cinta padamu' di saat berikutnya."
Yeorin.Apartementku masih berantakan, aku belum sempat merapikan pakaian dan beberapa barang pribadi yang baru ku beli, sebuah televisi dan dispenser kecil.
Untunglah apartement ini sudah menyediakan perabotan dasar seperti tempat tidur, sofa dan dapur. Aku memutar bola mata ketika menatap dapur, aku mungkin butuh ke supermarket terdekat, mengisi bahan makanan di kulkas dan membeli beberapa peralatan memasak.
Tubuhku lelah setelah perjalanan yang panjang dan dilanjutkan dengan mengurus surat-surat kontrak apartementnya, Han Jihyo, editorku yang kebetulan tinggal di kota ini sudah berbaik hati membantu mencarikan apartement yang siap pakai untukku. Ya, aku memang berangkat ke sini karena usul dari Jihyo, selain sebagai editor, Jihyo adalah sahabatku, meskipun kami kebanyakan berhubungan melalui e-mail semata. Jadi, begitu aku menceritakan pengkhianatan Jaehyun dan rasa sakitku, Jihyo mengusulkan agar aku pindah sementara ke Busan sampai hatiku tenang.
Aku hanya berpamitan kepada kedua orang tuaku, dan tidak mengatakan kepergianku kepada siapapun. Tetapi lambat laun Jaehyun pasti akan mengetahuinya juga.
Aku mendesah pahit. Sekarang ingatan akan Jaehyun dipenuhi rasa muak dan sakit hati.
Ah ya ampun. Lelaki. Aku tidak akan pernah percaya lagi kepada lelaki. Mereka semua adalah mahluk lemah yang tidak tahan godaan.
Ponselku berkedip-kedip dan aku mengernyit, aku mengangkatnya ketika melihat nama Jihyo di sana.
"Halo?"
"Aku sudah sampai rumah dan baru teringat." Jihyo berkata, "Naskah bab tujuhmu sudah selesai dikoreksi, ada beberapa catatan kecil di sana, mungkin kau ingin melihatnya."
"Aku akan melihatnya nanti." Gumamku lemah, menyandarkan tubuhku di sofa, "Saat ini aku lelah sekali."
"Istirahatlah dulu. Kau tidak akan bisa menyelesaikan tulisanmu kalau kau sakit."
"Kenapa kau memikirkan tulisanku? Bukan aku?" Aku tersenyum
"Karena sudah mendekati deadline dan kau baru sampai di bab tujuh, Yeorin-a, novelmu banyak ditunggu-tunggu oleh penggemarmu, penerbit sudah mengejarku untuk kepastian penyelesaian novelmu." Jihyo tergelak, "Tetapi bukan berarti aku tidak mempedulikanmu, sebagai sahabat aku mencemaskanmu, jangan banyak pikiran ya. Lepaskan semuanya dan biarkan hatimu tenang."
Mataku berkaca-kaca. Menyadari bahwa hatiku sama sekali tidak tenang,
"Gomawo Ji-ya." Gumamku serak sebelum menutup pembicaraan.
Mataku menatap langit-langit kamar. Mencoba melupakan rasa yang menyesakkan dada. Aku tidak akan bisa tidur malam ini, sambil menghela napas panjang, aku meraih jaket dan melangkah keluar dari apartement.
.
.
.Setelah berjalan tanpa tujuan di sekitar kompleks apartemen yang cukup ramai karena terletak di area pusat perbelanjaan, aku begitu saja memasuki cafe itu. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tetapi suasana tetap saja ramai.
Cafe itu terletak di pinggir jalan, di area yang dipadati pejalan kaki yang lalu lalang, suasananya sangat sejuk dan menyenangkan, karena dipenuhi oleh tanaman hijau yang ditata dengan indahnya, dengan dinding-dinding dari kaca yang memantulkan lampu jalan. Cafe itu buka duapuluh empat jam. Dan aku langsung menemukan tempat yang cocok untuk duduk dan menulis.

KAMU SEDANG MEMBACA
Red Night
Short StoryGadis dengan hubungan yang rumit, seorang penulis yang mencari ketenangan dengan menghirup segelas anggur merah setiap malam, untuk mencerahkan hatinya yang kelam akibat kisah cintanya yang rumit.