7

150 22 10
                                    

“Cinta dan penghianatan hanyalah dibatasi oleh satu garis penghalang yang bernama : kesetiaan.”
.
.
.


Nayeon

Lelaki tampan itu hanya tersenyum tenang, tampak sedikit geli menghadapi kehebohan Wujin yang menyambutnya. Dia melirik ke arahku dan menganggukkan kepalanya dengan sopan ke arahku, membuatku menyadari bahwa aku telah terpesona kepada lelaki itu. Memang Jimin tampan dan tetap nomor satu bagiku, tetapi Jimin sangat jarang tersenyum, sedangkan lelaki ini, dia begitu murah senyum dan tampak sangat tulus secerah matahari,

“Sepertinya kau dan nona ini menghadapi masalah. Mungkin aku bisa membantu.”

Wujin melirikku masih tersenyum lebar, "Ini Mark, dia adalah salah satu investor butik dan salon kami. Kau tidak keberatan kan kalau Mark membantumu?"

Siapa yang keberatan kalau dibantu berdiri oleh lelaki setampan itu? Aku berpikir bahwa kadang-kadang berpura-pura lumpuh ada untungnya juga.

“Nayeon ingin membuat gaun pernikahan yang indah, Mark. Kami sedang akan mengukur gaunnya.”

Mark melemparkan pandangan dalam ke arahku,

“Sayang sekali kau sudah akan menikah, aku iri kepada lelaki beruntung itu.” Gumamnya penuh arti membuat pipiku merona.

Wujin menepuk pundak Mark sambil tertawa, “Jangan merayu Nayeon-ssi, Mark. Dia sudah punya tunangan dan akan menikah, mungkin kau bisa mengalihkan sasaranmu kepada gadis lain.”

Mark tampak tidak mempedulikan perkataan Wujin, dia masih memandang tajam ke arahku. Dia lalu mendekat dan mengulurkan tangannya lembut,

“Aku akan membantumu berdiri, maafkan ya.” Bisiknya lembut di dekat telingaku, “Sini, letakkan tanganmu di pundakku.”

Aku merasakan jantungku berdebar keras, aroma maskulin itu langsung melingkupiku, membuatku bergetar.

Dengan tangannya yang kuat, Mark menarikku berdiri, lalu menopang pinggangku. Tanganku berpegangan erat ke pundak Mark, lalu melingkarkan lenganku di sana, sementara itu aku berakting sekuat tenaga untuk melemaskan kakinya, menumpukan beban tubuhnya di pundak Mark.

“Nah tunggu sebentar, kami akan mengukurnya.” Para pegawai Wujin mulai mengukur.

Proses itu cukup singkat. Dan kemudian setelah Wujin selesai, Mark mendudukkanku lagi di kursi rodaku dengan lembut. Lelaki itu menyelipkan kartu namanya yang bernuansa hitam dan keemasan di jemariku,

“Hubungi aku, kapanpun itu. Aku akan dengan senang hati membuang semua urusanku demi dirimu.” Bisiknya pelan, lalu berdiri tegak, mengatakan sesuatu tentang pekerjaan kepada Wujin, kemudian melambaikan tangannya dan melangkah pergi.

Sementara itu aku masih menggenggam erat-erat kartu nama di tanganku itu dengan terpesona.

.
.
.

Yeorin

Siang itu aku sedang berjalan ke minimarket di ujung jalan dari apartemen ketika aku melihat Jisung di dalam minimarket yang ku tuju.

Dia sedang membeli rokok, dan langsung menoleh ketika pintu terbuka lalu tersenyum lebar ketika melihatku,

“Hai kita bertemu lagi.”

Aku tersenyum menatap wajah yang sama persis dengan Jimin namun dalam versi yang berbeda ini,

“Hai Jisung-sii, apa yang kau lakukan di sini?” aku melirik ke arah cafe di ujung jalan, bukankah di sana juga ada rokok? Kenapa Jisung malahan berkeliaran di tempat ini?

Red NightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang