5

170 19 5
                                    

Yeorin.

Pagi harinya aku masih tertidur dan meringkuk di atas ranjang ketika suara interkom pintu berbunyi.

Aku mengernyit, meraih jam beker di sebelah ranjang. Masih jam enam pagi. Siapa yang berkunjung sepagi ini?

Dengan susah payah aku turun dari ranjang, mataku pasti bengkak karena menangis semalaman sampai ketiduran, dan kepalaku pening karenanya.

Aku memijit tombol interkom yang berhubungan langsung dengan resepsionis di depan.

“Ya?” gumamku dengan suara yang masih serak.

“Nona Kim, ada tamu untuk Anda.”

Aku langsung waspada, apakah Jaehyun masih belum menyerah juga?

“Siapa?”

“Tuan Baek Jimin meminta akses untuk naik dan menemui Anda.”

Jantungku langsung berdebar, teringat akan kecupan lembutnya di dahiku tadi malam.

Kenapa Jimin datang menemuiku pagi ini?

“Nona Kim?” resepsionis di bawah memanggilku lagi karena aku terdiam lama.

“Eh iya. Iya, perbolehkan beliau naik.”

Setelah mematikan interkom, dalam sekejap aku melompat ke kamar mandi, menggosok gigi, dan mencuci muka. Aku mengernyitkan kening ketika menatap wajahku di cermin, ada lingkaran hitam di mata, bengkak seperti panda. Rasanya malu menemui Jimin dengan penampilan seperti ini, tetapi mau bagaimana lagi. Kedatangan Jimin sama sekali tidak ku duga.

Aku selesai mengganti baju tidur dengan kaos longgar dan celana jeans yang nyaman ketika bel pintu apartemen berbunyi. Dengan gugup aku membuka pintu itu.

Jimin berdiri di sana, tampak luar biasa tampan dengan kemeja warna hitam dan celana jeans abu-abu. Dia membawa kantong plastik di tangannya. Dan tiba-tiba saja aku merasa malu ketika membayangkan penampilanku yang berantakan ini dihadapkan dengan penampilan Jimin yang begitu sempurna.

“Selamat pagi.” Jimin menyapa dengan lembut.

Aku sejenak hanya terpaku, terpesona dengan senyum itu, “Se...selamat pagi juga.”

“Aku membawakan sarapan.” Jimin menunjukkan plastik di tangannya, “Boleh aku masuk.”

Saat itulah aku sadar bahwa aku hanya berdiri terpaku sambil menatapnya. Aku langsung memundurkan langkah, memberi jalan bagi Jimin untuk melangkah masuk.

Dia tampak nyaman, tidak canggung sama sekali ketika memasuki apartemenku,

“Di mana aku meletakkan makanan ini? Kau punya meja makan?”

Apartemenku adalah apartemen model studio kecil dan sederhana, dengan ruang tamu, menyambung ke dapur yang menyatu dengan meja makan kecil, satu kamar mandi, dan satu kamar tidur di ujung ruangan. Jimin hanya tinggal berjalan sedikit untuk menuju dapur.

“Di sebelah sana ada meja makan, tapi mungkin lebih baik kita duduk di sini saja.” aku yang merasa canggung di sini, tidak pernah sebelumnya aku berduaan dengan seorang lelaki apalagi di dalam apartemen yang cukup privat.

“Aku meminta Sogun Ahjussi untuk menyiapkan makanan kita.” Jimin meringis, “Omelet dan sup dari cafe, juga cokelat panas andalan kami. Ada untungnya juga menjadi pemilik cafe.” Jimin lalu duduk di sofa itu sementara aku berdiri canggung di dekat pintu, membuat Jimin mengerutkan keningnya,

“Sini, cicipilah omelet buatan kokiku, ini menu andalan cafe untuk sarapan. Oh ya ambilkan piring ya.”

Aku ke dapur menurut seperti kerbau yang dicucuk hidungnya mengambil piring dan sendok, lalu melangkah pelan, dan akhirnya duduk di sofa samping Jimin. Dia membuka kantong-kantong kertas makanannya, dan memindahkan omelet yang beraroma sangat harum itu ke dalam piring.

Red NightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang