6

139 20 8
                                    

"Janji yang tidak sepenuh hati diucapkan, sebaiknya langsung dibatalkan."
.
.
.


Nayeon.

Aku menunggu dengan cemas, Jimin memang selalu terlambat datang tetapi dia tidak pernah mengingkari janjinya.

Kedua orang tuaku baru datang dari New York, dan ini adalah kali pertama kami akan berkumpul untuk membicarakan persiapan pernikahan mewah dan besar mereka yang rencananya akan dilaksanakan delapan bulan lagi.

Aku sudah berdandan secantik mungkin dan mulai gelisah karena ini sudah terlambat hampir satu jam dari waktu yang dijanjikan, tetapi tidak ada kabar dari Jimin. Aku duduk di dekat jendela, menanti dengan cemas.

Lalu ketika mobil itu memasuki gerbang rumah, hampir saja aku terlonjak bahagia dari dudukku, lupa kalau aku sedang berpura-pura lumpuh. Tidak ada yang tahu selain keluargaku, pelayan kepercayaan kami di rumah ini, dan dokter pribadi kami bahwa aku sebenarnya sudah sembuh jauh di waktu lalu. Aku sudah bisa berjalan normal seperti biasanya. Diagnosa dokter waktu itu ternyata salah, dan kakiku tidak apa-apa.

Tetapi aku memohon kepada kedua orangtuaku dan dokter kami untuk merahasiakannya dan membiarkan Jimin tidak tahu. Kepada mereka aku menceritakan betapa takutnya aku kehilangan Jimin kalau sampai Jimin tahu bahwa aku baik-baik saja. Yang ku miliki dari Jimin hanyalah rasa tanggung jawab lelaki itu kepadaku, dan itu semua karena kakiku yang lumpuh.

Kalau kakiku sudah tidak lumpuh lagi, maka tidak akan ada sesuatu yang bisa mengikatkan Jimin denganku. Dia pasti akan meninggalkanku. Aku rela duduk di kursi roda terus sampai aku bisa mengikat Jimin di pernikahan. Setelah kami terikat secara resmi dan aku sah memiliki Jimin, aku sudah merencanakan untuk berpura-pura sembuh secara bertahap dan kemudian kembali normal. Jimin tidak akan pernah curiga. Aku sudah begitu lama berpura-pura lumpuh sehingga tampak sangat meyakinkan.

Ku lirik Jimin yang baru turun dari mobil dan hatiku berbunga-bunga melihat ketampanannya. Dia akan menjadi suamiku, yang akan ku miliki sebentar lagi. Aku hanya harus bersabar.

.
.
.

Jimin

Aku melangkah mendekati tangga rumah itu dengan ekspresi lelah. Hari ini banyak sekali yang harus ke kerjakan, dan yang ku inginkan hanya datang ke Garden Café. Menanti kedatangan Yeorin, yang tak kunjung datang lagi setelah peristiwa ciuman itu.

Aku tak henti-hentinya mengutuk diriku sendiri karena tidak bisa menahan diri untuk mencium Yeorin. Akulah yang membuat Yeorin menghindariku seperti ini. Dan sekarang aku tidak bisa berbuat apa-apa. Yang bisa ku lakukan hanyalah menunggu, dan ternyata menunggu itu tidak enak, sama sekali tidak enak.

Kemudian karena sibuk dengan pekerjaan dan pikirannya tentang Yeorin, aku hampir saja melupakan janjiku dengan kedua orang tua Nayeon yang baru pulang dari New York. Aku mungkin saja benar-benar lupa dan tidak akan datang kalau aku tadi tidak melirik tanpa sengaja ke arah ponsel yang tergeletak begitu saja di kursi penumpang di sebelahku, dan menyadari bahwa ponselku itu berkedip-kedip oleh karena puluhan pesan dari Nayeon.

Kursi roda Nayeon muncul di pintu dan dia menyambutku dalam senyum bahagia dan khawatir.

"Kau tidak membalas pesanku." Gumam Nayeon cemas, memelukku ketika aku mendekat dan setengah menunduk mengecup dahinya, "Aku takut kau kenapa-kenapa."

"Maaf aku terlambat, urusan pekerjaan." Gumamku datar, "Di mana orang tuamu?"

Aku menyiapkan hatiku untuk malam ini, karena aku harus membicarakan persiapan pernikahan. Persiapan pernikahan yang bahkan tidak setitikpun ingin ku lakukan.

Red NightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang