8

154 24 12
                                    

“Kau membuka pagiku dan juga menutup malamku, Sesederhana itulah aku menginginkanmu.”
.
.
.


Yeorin

Ketika ponselku berbunyi lagi, hampir jam sepuluh malam, aku yang sudah berada dalam posisi meringkuk di ranjang dan bersiap tidur mengernyit. Aku sedang tidak enak badan, hari ini adalah hari pertama aku datang bulan dan selalu sedikit merasakan nyeri di perut bawah ketika sedang haid.

Yeopseyo?”

Yeorin?” suara Jimin yang dalam terdengar dari seberang sana, “Kenapa kau tidak datang kemari?”

“Oh... maaf Jim.” Aku lupa kalau sudah berjanji untuk ke cafe malam ini. “Aku... aku sedang tidak enak badan.”

Kau sakit?” suara Jimin terdengar cemas, “Kau sakit apa?”

“Tidak...” aku bingung, kehabisan kata-kata untuk menjelaskannya kepada Jimin.

Aku antar ke dokter ya?”

“Eh tidak usah...” aku menelan ludahnya, “Ini sakit perempuan..”

Sakit perempuan?” Dari suaranya aku bisa membayangkan Jimin mengernyit di sana.

“Itu.. sakit perempuan setiap bulan.”

Hening.

Tampak Jimin berusaha menelaah kata-kataku, tetapi kemudian dia sadar,

Oh.”

Tiba-tiba saja aku merasa geli karena sekarang Jimin yang salah tingkah.

“Maaf ya. Biasanya ini hanya berlangsung di hari pertama kok, mungkin kita bisa bertemu besok.”

Hening, lalu Jimin bergumam, “Aku ke sana ya?”

“Jangan, aku tidak apa-apa.”

Aku akan kesana.” Jimin bergumam dengan nada keras kepala, lalu menutup telepon.

.
.
.

Ketika pintu apartemenku terbuka, Jimin berdiri di sana sambil membawa kantong kertas makanan dari cafenya. Dia menatapku dengan cemas,

“Kau tidak apa-apa?”

Aku menggeleng lemah, memundurkan langkahku dan mempersilahkan Jimin masuk,

“Sakit begini hanya bisa disembuhkan kalau berbaring.”

“Kalau begitu duduklah berselonjor di sofa.” Jimin mendahuluiku duduk di sofa, dan menungguku datang. Dia mengambil bantal kecil dan meletakkan di pangkuannya, “Sini, berbaringlah di sini.

Sejenak aku ragu, tetapi senyuman Jimin tampak begitu menenangkan, dan perutku sakit. Aku tidak punya siapa-siapa di sini untuk mengeluh. Sambil menghela napas panjang aku duduk di sofa, Jimin langsung menarikku, menjatuhkan tubuhku supaya kepalaku berbaring di bantal, di pangkuannya.

Rasanya begitu nyaman, meringkuk di pangkuan Jimin dengan jemari rampingnya mengelus rambutku pelan.

“Sudah makan?”

Aku menggelengkan kepalanya, “Tidak selera makan.”

“Aku bawakan kentang goreng dan sosis dari cafe kalau kau lapar nanti malam.” Jemari Jimin membelai rambutku lembut, membuatku mengantuk.

“Terima kasih Jim...” suaraku melemah, aku menguap.

“Tidurlah, aku akan menungguimu di sini.”

Red NightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang