5. Mimpi buruk

2.3K 226 61
                                    

"Taehyung mana?"

Pertanyaannya tak serta merta terjawab. Para pelayan menunduk dalam, diam-diam saling lempar tatap dan sama-sama tidak ada yang mau membeberkan alasan tentang satu lagi tuan muda yang belum menampakan batang hidungnya di rumah besar itu sejak sore berganti malam.

Yeonjun sengaja melambatkan langkah di tengah anak tangga, berharap dalam hati agar Taehyung tidak lagi bertindak konyol dengan kabur dan membiarkan dirinya pergi hanya berdua dengan sang Ibu. karena rasanya sangat aneh harus pergi bersama ibunya; canggung, tidak tahu harus bagaimana dan ia benci nada-nada dingin yang wanita itu lontarkan. Padahal seharusnya Yeonjun sudah terbiasa akan hal tersebut, lagipula Ibunya itu memang punya watak yang sedikit banyak sangat kaku.

Akan tetapi Yeonjun cukup mengerti kenapa Taehyung tak pernah sudi hadir dalam acara formal yang melibatkan kolega bisnis Ayah dan Ibunya. Marga Choi yang kini tersemat di namanya tidak membantu apapun sebab dia sama sekali tidak ada hubungan darah pada keluarga besar Choi. Orang-orang terlalu banyak mengurusi hidup mereka, selalu memanfaatkan cacat kecil keluarganya untuk menjatuhkan. Taehyung mungkin lelah terus-terusan dijadikan kambing hitam.

Ini dia alasan kenapa Taehyung tak pernah memperkenalkan dirinya menggunakan marga Choi, meski secara hukum namaya sudah lama diganti.

Selama perjalanan tidak ada yang buka suara. Atmosfer kaku pun tak terelakan, begitu tidak nyaman tapi terus bertahan dan enggan terusik. Yeonjun menunggu Ibunya bicara sebab dirinya tak kunjung menemukan topik yang tepat untuk memulai. Hanya saja barangkali Nyonya besar Choi juga sama kasus dengan si bungsu.

Di sepanjang pesta, Yeonjun mengekor di belakang Ibunya. Mengulas senyum seolah semua baik-baik saja. Kini yang perlu ia lakukan hanyalah menjadi putra bungsu keluarga Choi yang baik, si pewaris yang garis takdirnya sudah dibentuk sedemikian apik.

.

.

.

Awalanya Soobin hanya ingin melepas penat dengan pergi jalan-jalan lalu mampir dan membeli minuman secara diam-diam. Sebentar meninggalkan buku tugas dan catatan yang masih kosong melompong di atas meja belajar dan radio yang sengaja diputar dengan volume kencang dalam kamarnya.

Isi kepalanya kacau, tragedi membolos tadi berseliweran lancang dalam otaknya, benar-benar mengganggu dan berakibat pada aktivitasnya sejak pulang sekolah. Kemampuan berpikir rasionalnya hilang secara tiba-tiba, konsentrasinya buyar. Bayangkan saja, buah mangga yang ia kupas dengan sepenuh hati untuk dinikmati daging buahnya malah harus berakhir dalam tempat sampah karena kesalahannya menuangkan piring yang seharusnya berisi kulit, bukannya daging mangga ke dalam tempat sampah.

Eomma melihat kejadian konyol itu, tertawa keras sekali dan mengadu pada Appa. Anak mereka sedang jatuh cinta, katanya. Tentu saja itu hanya candaan, tetapi entah malah membuat Soobin tersinggung lalu berakhir jadi tembok dingin (kalau tidak mau dikatakan ngambek) ketika diajak bicara.

Selama ia mendekam seorang diri dalam kamar, bayangan Yeonjun makin berbuat onar, memporak-porandakan isi kepalanya dan berakhir dengan blank yang berkepanjangan. Ia sungguh tak ingin larut, tak ingin membuang waktunya yang berharga karena satu masalah yang mungkin atau tidak sudah selesai sejak Yeonjun meminta untuk melupakannya. Hanya saja, ketika ia mengingat lagi bagaimana seulas senyum kontradiksi dengan binar mata Yeonjun yang meredup kala itu, Soobin lantas menyalahkan segalanya pada diri sendiri.

Yeonjun menyukai dirinya, itu haknya. Dan Soobin juga punya hak menolak pengakuan Yeonjun tersebut. Tapi tetap saja Soobin merasa bahwa dirinyalah yang paling bersalah di sini, walau ada saat di mana dia akan menggiring lagi pikirannya ke arah positif, merapal dalam hati bahwa tidak ada yang salah, semua wajar dan akan baik-baik saja. Akan tetapi opini itu tidak pernah bertahan lama.

Nap Of A StarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang