Teman Lama atau Kenangan lama?

147 9 14
                                    

"Rosyid," Ziana mengulang nama itu. Kini Ziana ingat sosok pemuda di hadapannya. Ahmad Rosyid Abdullah pemuda yang dibicarakan ibunya tempo hari dan merupakan teman masa kecilnya juga.

Bagaimana Ziana bisa lupa. Rosyid juga merupakan sahabat Hafidz, tentu saja ia diundang dalam pernikahan sahabatnya.

"Ah iya Kak Rosyid. Maaf aku sedikit lupa," Ziana meringis. "Bagaimana kabarmu?"

"Alhamdulillah aku baik. Ku kira tadi aku salah orang. Kamu terlihat berbeda Zi aku saja sampe tidak mengenalimu jika tidak melihat kamu bersama rombongan Hafidz tadi."

Ziana tertawa. Tentu saja Rosyid tidak mengenalinya terakhir mereka bertemu dulu saat Ziana masih SMP dan sekarang Ziana bahkan sudah memasuki semester enam. Tentu banyak perubahan di dirinya.

"Bisa saja kakak."

"Seingatku terakhir kita bertemu saat kamu masih SMP ya Zi. Saat itu kamu masih suka kucir dua"

"Itu kan dulu kak," Ziana bersemu. Malu. Jika diingat Ziana dulu kucel sekali. Rambutnya suka dikucir dua. "Ah iya kakak ikut rombongan kak Hafidz? kok Ziana tidak lihat?"

"Enggak. Aku berangkat sendiri tadi. Telat sih. Soalnya harus selesain ngajar dulu."

"Oh iya selamat ya kak. Ziana dengar kakak baru wisuda dan sekarang jadi asisten dosen."

"Hehehe jangan gitu ah. Jadi malu kakak. Tapi makasih Zi," jawab Rosyid menerima sodoran tangan Ziana. "Ngomomg-ngomong kamu mau kemana Zi?"

Ziana terdiam. Bingung ingin menjelaskan apa. Tidak mungkin kan Ziana mengatakan jika ia patah hati makanya memilih pergi.

"Cari angin. Iya lagi cari angin aja kak. Didalam sumpek."
"sumpek liat kak Hafidz sama istrinya," sambung Ziana dalam hati.

"Lah angin kok dicari nanti giliran dapet malah diusir," Ziana tertawa mendengar jawaban ngawur Rosyid.

"Dari pada cari angin sendiri mending kakak temenin aja gimana?"

"lho kakak gak masuk lagi?"

"Sumpek Zi. Lagian bentaran pergi nggak bakal bikin acara ini jadi bubar kan," Rosyid menyeringai. Jahil."Ayolah Zi," Ziana menganggukkan kepalanya.

***

Pertemuannya dengan Rosyid beberapa hari lalu ternyata berlanjut. Dari Rosyid, Ziana tahu jika kini pemuda itu tengah menyelesaikan gelar Masternya.

Rosyid yang sekarang berbeda dengan dulu. Dulu Rosyid suka sekali menganggu Ziana kecil. Entah merebut mainan atau sekedar mengejek untuk membuat ia menangis.

Tapi sekarang Rosyid terlihat begitu dewasa. Penampilannya juga lebih rapi dengan rambut yang selalu tertata. Gaya bicara pemuda itupun juga berubah meski terkadang sifat jahilnya masih sering keluar.

"Umi Ziana pamit dulu," Ziana menyalami Umi Salma.

"Hati-hati. Sampaikan salam pada nak Rosyid ya." Ziana meringis. Mengangguk canggung melihat senyum lebar Umi Salma. Ziana bahkan takut jika bibir ibunya akan robek. Astaugfirullah.

Hari ini Ziana dijemput Rosyid. Pemuda itu memaksa meski berulang kali Ziana menolak. Namun rasanya tidak enak jika terus menolak niat baik seseorang akhirnya tadi malam untuk pertama kali ia mengiyakan ajakan Rosyid setelah banyaknya penolakan.

Untuk itu jangan ditanya seberapa bahagia ibunya. Ziana bahkan harus mengelus dada melihat sang ibu. Ziana melangkah memasuki mobil Rosyid yang telah terparkir didepan rumah. Rosyid sempat ingin meminta ijin kepada orang tuanya tapi langsung Ziana tolak. Bisa heboh tujuh hari tujuh malem nanti.

"Udah?" Rosyid bertanya saat Ziana memasuki mobil.

"Udah kak"

Mobil Avanza hitam itu melaju dijalan raya meninggalkan rumah Ziana. Hanya lagu Imagination dari Swan Mendes yang mengisi keheningan pagi itu. Baik Ziana maupun Rosyid keduanya sama-sama bungkam.

"Lain kali gak usah jemput gak papa kak. Ngerepotin." Ziana memecah keheningan.

"Enggak repot Zi. Lagian kampus kamu sama kampus kakak satu arah kan?"

"Iya sih tapi enggak enak aja sama kakak."

"Kayak sama siapa aja. Gimana skripsimu. Udah semester enam pasti udah mulai nyusun kan?"

"Hehehe masih gitu-gitu aja kak. Belum sampe skripsi masih proses ngajuin judul buat proposal kak."

"Udah buat judul Zi?"

"Masih rencana sih kak. Ada beberapa yang udah Zi siapkan."

"Wah rajin juga kamu. Gak kayak kakak. Males banget dulu."

"Merendah nih kakak. Kakak kan pinter, rajin masa males sih."

"Hahaha bisa saja kamu. Ya sudah kalau kamu lagi bingung soal skripsi jangan sungkan hubungin kakak, gini-ginikan kakak dosen."

"Sombong." Ziana cemberut.

"Sekali-kali sombong perlu lho Zi."

"Iya-iya pak dosen," namun tak ayal Ziana pun tertawa lebar. Ziana tidak bisa berbohong jika sedikit beban di hatinya terangkat berkat kehadiran Rosyid.

***

Ahmad Rosyid Abdullah. Seorang asisten dosen tafsir hadist salah satu Universitas ternama di kota. Hari itu ia melihat Ziana untuk pertama kali setelah sekian lama. Meskipun awalnya ia bahkan lupa tentang Ziana. Hubungan mereka tidak sedekat itu hingga membuat Rosyid selalu mengingat sosok gadis tersebut.

Namun dihari pernikahan Hafidz, sahabatnya. Rosyid kembali melihat sosok yang kini telah banyak berubah. Tak banyak yang diingat Rosyid dari Ziana kecil selain ia adalah saudara sahabatnya. Dan kini, ternyata Ziana tumbuh menjadi gadis yang begitu memukau.

Ia melihat Ziana yang berjalan meninggalkan acara dan dengan mengumpulkan keberanian akhirnya Rosyid mengikuti gadis itu. Patut ia syukuri jika berkat hari itu ia mengenal sosok Ziana kembali.

Ziana gadis yang lebut serta anggun dalam pandangan Rosyid. Ia belum dapat mengartikan perasaannya namun, ia tau jika ia terpesona akan kecantikan seorang Ziana Adinda.

Rosyid yakin jika ia pasti akan bisa mendapatkan hati Ziana. Sudah lama pemuda itu mendambakan sosok seorang wanita. Dan kini Allah seolah menjawab doanya lewat Ziana.

sebagai hamba ia hanya mampu berdoa semoga Allah menjodohkan mereka. Karena hanya Tuhanlah maha pembolak balik hati manusia.

***

About You (Short Story. Completed)Where stories live. Discover now