Apakah ini dibenarkan

110 9 11
                                    

Melambungkan harapan pada manusia hanya menimbulkan kekecewaan. Sedang manusia seringkali lupa akan hal sederhana namun bermakna, pasrah.

💞💞💞

Melupakanmu sesulit melupakan bernapas. Setiap detik kamu ku jadikan sebagai motivasi. Kamu ku jadikan sebagai pelengkap hari. Namamu yang kuucap dalam doa dan kuamini setelahnya.

Kini, rasanya tidak pantas menjadikanmu seperti itu lagi. Kini, kamu tidak sendiri lagi. Aku merasa tidak berarti untuk kamu meski mungkin itu benar adanya.

Tatapanmu selalu tertuju padanya. Semua atensimu selalu berpusat padanya. Bahkan sekarang ia telah sah menjadi milikmu. Bukannya aku tidak tau diri. Hanya saja tidak mudah menghilangkan poros hidupku yang sudah berlangsung sekian tahun.

Namun, aku juga hanya bisa berdo'a yang terbaik untukmu. Ku harap aku tidak pernah bertemu kamu lagi. Mungkin, aku harus bersyukur karena kini kamu bukan lagi tetanggaku.

Pagi sekali Ziana sudah rapi dengan rok panjang yang dipadukan dengan kemeja abu-abu. Kerudung hitam pun sudah tertata rapi menutupi kepalanya.

Pagi ini Ziana memiliki jam pagi maka dari itu ia harus bergegas karena jarak tempuh rumah dan kampus bisa dibilang cukup jauh.

"Zi?"

"Iya umi."

"Ada nak Rosyid di depan. Cepatlah kasian jika dia menunggu lama."

Rosyid. Nama pemuda itu bergema dalam pikiran Ziana. Setelah penolaknnya tempo hari Rosyid bak menghilang ditelan bumi. Pemuda itu sudah tidak pernah mengirimi Ziana pesan singkat. Ziana pikir Rosyid paham dan memilih menjauhinya.

Tidak disangka pemuda itu hadir lagi dengan celana bahan dan kemeja navy, duduk manis di teras bersama ayahnya.

"Pagi Ziana. Sudah siap berangkat?"

"Tapi ...."

"Aku antar." Rosyid tersenyum. Ziana tak enak jika menolak, terlebih ayahnya memandangi mereka penuh minat. Akhirnya gadis itu mengangguk.

Mereka berpamitan kepada orang tua Ziana. Selama perjalanan baik Ziana ataupun Rosyid memilih diam. Ziana pun enggan untuk membuka suara. Selain karena rasa bersalahnya.

"Udah sampe Zi."

Karena terlalu lama melamun Ziana bahkan tidak sadar jika mereka telah sampai dikampusnya.

Ziana mengangguk. Bersiap membuka pintu dan turun dari mobil Rosyid.

"Tunggu. Boleh aku bicara sebentar Zi?"

Ziana kembali mengangguk.

"Apa kamu tidak mau berpikir dulu Zi. Maksudku Hafidz sudah memiliki istri. Tidak mungkin kan kamu mau mengganggu mereka."

Ziana tergugu. Memang siapa yang mau mencintai suami orang. Astaga.

"Sudah kak? Ziana mau turun ada kelas pagi."

"Tunggu," Rosyid mengejar Ziana yang berjalan memasuki gedung kampus.

"Aku minta maaf jika perkataanku menyinggung. Aku tidak bermaksud. Tapi cobalah kamu pikirkan lagi. Rasamu kepada Hafidz itu tidak bisa disalahkan namun juga tidak bisa dibenarkan."

"Memangnya aku ingin memiliki rasa itu." merah padam wajah Ziana. Gadia itu tersinggung.

Terdengar helaan napas berat dari Rosyid.

"Untuk itu aku ingin membantumu. Ijinkan aku untuk mencobanya. Terlebih ijinkan dirimu sendiri. Aku tidak memaksa. Tidak pula ada ikatan. Bukankah mungkin jika kamu denganku kamu perkahan bisa melupakan Hafidz. Pikirkan baik-baik Zi. Karena mencintai suami orang tetap tidak dibenarkan dengan alasan apapun. Permisi."

About You (Short Story. Completed)Where stories live. Discover now