Rumah Tanggaku Rusak, karena Teman Sendiri

7.9K 357 12
                                    

"Kami beri waktu sampai besok. Ibu harus sudah meninggalkan rumah ini," terang petugas Bank.

Aku terduduk lesu dan benar-benar tak berdaya. Apa yang telah kulewatkan sehingga ini bisa terjadi tanpa sepengetahuanku.
Rumah ini, aku juga ikut andil dalam membayarnya walau memang tak seberapa.
Kuusap air mataku dan mencari gawai untuk menelepon suamiku yah, dia masih suamiku.

*Suamiku*

Teleponnya tersambung namun tidak ada jawaban. Beberapa kali aku mencoba menghubungi namun tetap tidak ada jawaban.
Sampai aku pun tak sadar sudah berada di dalam kamar. Owh, pikiran ini sudah sangat kacau rupanya.
Aku keluar dan melihat apa yang sedang Ais lakukan. Rupanya Ais sudah tertidur di atas sofa.

"Sayang, Ibu berjanji akan membahagiakan Ais." Sembari mengecupnya.

Tiba-tiba gawaiku berbunyi, aku langsung mengangkatnya.  "Assalamu'alaikum
Mas Bram kenapa kamu tega menggadaikan rumah ini tanpa sepengetahuanku?"

"Owh yah, syukurlah kalau kau sudah tahu," jawabnya singkat.

"Apa ini Mas? Kenapa kamu tega?" tanyaku lagi.

"Aku memang menggadaikan rumah itu. Owh harus kau tahu rumah itu sudah kualih nama sebelum memasukkannya ke Bank." ujarnya.

"Allahu Akbar. Mas kamu sungguh keterlaluan," pungkasku.

"Ya ... ya terserah kau saja ingin berkata apa," balasnya.

"Aku juga ikut membayarnya, Mas!" jawabku dengan nada sedikit meninggi.

"Ya tapi perlu kau ingat aku selalu memberimu uang lebih!" bentaknya.

"Itu kan uang belanja untuk keperluan rumah. Aku tidak pernah memakainya sembarangan!" Aku emosi.

"Bagus, berani sekali kau meninggikan suaramu padaku ya?" protesnya.

"Maaf Mas. Aku nggak bermaksud begitu," lirihku.

"Nindi Rahayu! Aku ceraikan kau talak tiga. Mulai hari ini apa pun yang berhubungan dengan kau dan juga anakmu, aku tidak mau tahu," ucapnya. Dan telepon terputus.

Aku benar-benar tidak bisa berpikir jernih. Rasanya semua menjadi gelap dengan seketika.
Kembali air mataku mengalir.

"Ibu kenapa?" tanya Ais, yang sudah terbangun.

Aku berlutut di depan Ais. Mengelus kepalanya, mencium keningnya, lalu kupeluk erat tubuhnya yang mungil.

Gawaiku berdering kembali.

*Sinta*

Segera kuusap air mataku. "Assalamu'alaikum. Iya Sinta, ada apa?"

"Wa'alaikum salam. Nin aku mau bilang, malam ini aku dan suami mau berangkat ke Singapore. Ada hal mendadak yang tidak bisa dielak," jelas Sinta.

"Owh yah, nggak apa-apa Sin," balasku.

"Aku ada kirim uang ke rekeningmu. Pakai yah, selagi aku di Singapore kamu jangan bertindak bodoh!" tegas Sinta.

"Iya ... terima kasih ya Sin," ucapku.

" Ya sudah. Aku pergi dulu yah, peluk sayang buat kamu dan Ais." ucap Sinta dan menutup telepon.

"Kenapa cobaan ini bertubi-tubi menghajarku?" gumamku dalam hati.

Aku melangkah ke arah dapur. Memasak makanan untukku dan Ais. Walau aku tak merasa lapar, tapi Ais dan anak dalam kandunganku harus tetap kujaga. Aku tak ingin mereka sakit karena lemahnya diriku ini.
Setelah selesai memasak makanan aku membereskan pakaian dan mencari semua yang berharga termasuk tabungan pendidikan Ais.
Itu semua hasil dari menghemat pengeluaran belanja. Nominalnya tidak terlalu banyak, namun bisa untuk memenuhi kebutuhan sekolah Ais.

Lalu aku membongkar lemari dan mencari kotak perhiasanku. Aku menggeledah semua isi lemari namun tidak kutemukan.
Aku ingat sekali dimana menyimpannya. Akhirnya aku menemukannya, kubuka kotak perhiasan tersebut.

"Allahu Akbar!" jeritku.

"Ibu ..." Ais berlari menghampiriku.

"Ya Allah. Mas Bram kamu kenapa setega ini." tangisku lagi dan lagi pecah.

"Ibu ... Ibu kenapa?" tanya Ais sedih.

"Ibu nggak kenapa Sayang ..." jelasku.

Aku tersungkur ke lantai. Tak sanggup hati ini menerima semua yang terjadi.
Dia sanggup mengambil semua perhiasanku dan Ais. Tega sekali dia memperlakukan aku seperti ini. Dia yang pernah memberi warna di hidupku, sekarang menguliti aku hidup-hidup.

Ais baring dan memelukku. Aku kembali mengingat betapa bahagianya dia saat Ais lahir dulu. Senyum merona diwajahnya masih bisa kubayangkan.
Kala itu dia sampai tak bisa berkata, dia hanya meneteskan air mata saat mengadzankan Ais.
Mengecup keningku berulang dan berkata "Terima kasih sayang."

Kini sosok itu telah hilang entah kemana. Sejak kehadiran Sofia, hidup kami mengalami perubahan. Sofia teman kecilku datang berkunjung dan meminta tolong untuk dicarikan kerja.
Selagi dia belum mendapatkan pekerjaan aku meminta izin pada Mas Bram agar Sofia tinggal di rumah.

Sofia yang dulu polos ternyata sudah berubah menjadi srigala. Dia bersikap manis di depanku dan menggerogotiku dari belakang.
Aku sungguh tak percaya, dia tega melakukan semua ini  kepadaku.
Aku menarik napas panjang. Memejamkan mataku lalu membukanya kembali.

Kulirik Ais yang kembali tertidur. Kupeluk lagi tubuh mungilnya, namun badannya panas. Aku segera bangkit dan mengangkat Ais ke tempat tidur. Aku keluar mencari alat pengecek suhu tubuh.
Ternyata suhunya tinggi, Ais demam.
Mataku tertuju pada lengan Ais. Langsung kulihat secara detail.
Ya Allah, ternyata ada bekas kuku dilengan Ais.
Tak tunggu lama, aku memesan Grab menuju rumah sakit.

Ais langsung diperiksa oleh dokter. Aku menunggu dengan hati yang gusar. Memperhatikan dokter dengan seksama.
Dokter siap memeriksa Ais, dan meminta perawat untuk memasangkan infus kepada Ais.
Hatiku berdenyut sakit rasanya ketika melihat Ais kesakitan.

" Ibu sakit ..." ronta Ais saat perawat menancapkan jarum ke tangan Ais.

"Sabar yah Sayang. Ais anak Ibu yang kuat." ucapku.

Aku menangis melihat Ais kesakitan. "Ya Allah mohon selamatkan anakku!" jeritku dalam hati.

Ais mulai tenang walau sesekali mengeluarkan ekspresi kesakitan.
Aku duduk dan menghadap dokter.

"Dok. Anak saya sakit apa?" tanyaku.

"Begini Buk. Bekas kuku di lengan anak Ibu mengalami infeksi." terang Dokter.

"Ya Allah. Jadi Dok bagaimana?" ucapku tak karuan.

"Infeksi ini membuat bakteri cepat berkembang karena kulit anak Ibu sensitif. Dan juga lukanya cukup lebar." jelas Dokter.

"Saya mohon selamatkan anak saya, Dok." pintaku.

"Saya akan berusaha Buk. Ibu banyak berdoa yah," balasnya dan memintaku mengurus administrasi.

Rumah Tanggaku Rusak, karena Teman SendiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang