Rumah Tanggaku Rusak, karena Teman Sendiri

7K 318 3
                                    

"Istri dan anak Reza ada dimana?" tanyaku.

Sinta nampak murung seketika. "Kamu mau tahu?"

"He'eh." Anggukku.

"Besok aku akan ajak kamu ketemu yah," ucap Sinta.

Sinta terlihat murung setelah pembicaraan tadi. Aku jadi merasa bersalah. Tapi bagaimana lagi, Reza mengutarakan niatnya ingin meminangku. Sedangkan Sinta pernah bilang Reza adalah suami sepupunya. Aku tahu sakitnya. Aku tak ingin sungguh tak ingin merusak kebahagiaan mereka.

"Sin ..." panggilku.

"He. Iya, kenapa?" jawab Sinta.

"Kamu hamil berapa bulan?" tanyaku.

"Aku belum periksa ke dokter. Tapi rasanya baru beberapa minggu," jawab Sinta.

"Kamu mau makan apa? Aku buatkan," ucapku.

"Apa yah. Hmm ... aku pengennya yang manis-manis," ucap Sinta. Dengan ekspresi wajah bingung.

"Bagaimana kalau red velvet?" ujarku.

"Ditambah buah stroberi yah," balas Sinta. Kini wajahnya mulai tersenyum kembali.

"Boleh. Tapi aku harus beli beberapa bahannya dulu, yah," ucapku.

"Hmm ... kiraiin sudah tinggal buat. Nindi ... Nindi." Sinta menggelengkan kepalanya.

"Aku titip Ais, yah. Dia sudah makan, badannya juga sudah enak kan. Hanya butuh istirahat," kataku. Seraya bersiap untuk pergi berbelanja.

"Iyaa ... Nyonya," balas Sinta.

Aku menyetir mobil sendiri. Yap betul sekali, kini aku sudah pandai mengendarai roda empat. Tapi belum sanggup untuk membelinya. Karena aku harus menabung untuk kebutuhan Ais. Dalam hatiku, tidak selamanya kami sehat. Jikalau aku boros maka kelak Ais juga akan boros. Jikalau aku boros suatu saat kami mengalami masalah uangnya dari mana. Aku tak mungkin terus menerus menengadah tangan ke Sinta.
Aku dan Ais diterima sebagai keluarga dan diperlakukan sangat baik saja sudah lebih dari cukup. Walau Sinta akan terus mengulurkan tangannya tanpa diminta pun.

Aku sampai di pusat perbelanjaan. Memarkir mobil dan bergerilya mencari keperluanku. Sibuk memilih bahan-bahan membuatku tidak melirik kanan-kiri. Bukannya aku sombong hanya saja, jika aku bertemu seseorang, maka Sinta akan menunggu lama. Dan itu akan membuatnya kesal juga bad mood. Lagian Ais butuh aku.
Tapi saat sedang sibuk di bagian buah aku disapa oleh seorang teman lama.

"Ayuuk ...!" jeritnya.

Aku langsung menoleh. Mencari sumber suara.

"Ayuk ... ini Ayuk kan," ucapnya. Memastikan bahwa dia tak salah orang.

"Reni ..." balasku.

"Iihh, Ya Allah. Betul ini Ayuk," katanya lagi. Membolak balik badanku.

"Biasa aja, Ren," balasku. Sambil menepuk lembut pundaknya.

"Kau sudah kayo, nggak ingat pulang lagi bah," ucap Reni.

"Ha ... begitu lah kau kan. Menfitnah sajo," gurauku.

"Ha ... ha ... ha ... rindu aku. Rindu kali pun," balasnya.

"Aku jugo, rindu," balasku.

"Kemek-kemek lah, sudaro," ujarnya.

"Ha ... ha ... ha ... boleh, Ayok," balasku.

Akhirnya kami nongkrong dulu setelah selesai berbelanja. Rasanya kurang afdol jika tak bersenda gurau dulu. Hampir tiga puluh menit lamanya kami ngobrol. Tapi gawaiku berdering, tanda chat whatsapp masuk. Pasti Sinta. Jelas saja betul. Dia sudah menulis kata-kata mutiara yang panjangnya melebihi panjang sungai Kapuas.

Rumah Tanggaku Rusak, karena Teman SendiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang