Rumah Tanggaku Rusak, karena Teman Sendiri

7.6K 324 5
                                    


"Hah! Awalnya sampah akan tetap menjadi sampah," ujar Sinta ke arah Sofia.

"Jaga mulutmu yah. Sofia lebih punya harga diri dari pada, Nindi!" balas Eka geram.

"Ha ... ha ... ha ... punya harga diri merebut suami teman sendiri, dasar sampah!" bentak Sinta.

"Sudah ... sudah ... Sayang. Kita masih banyak urusan. Ayo," ajak suami Sinta.

Kami berlalu meninggalkan mereka. Sinta terus saja memperlihatkan perasaan bahagia, sebab bisa memenangkan kasus ini.
Berulang kali aku mengucapkan terima kasih. Bersyukur atas apa yang sudah mereka lakukan untukku.

Aku dan Ais memilih untuk tinggal di rumah terpisah. Ada perasaan tidak enak kalau harus berlama-lama tinggal di rumah Sinta. Walau mereka sama sekali tidak ingin kami pergi.

"Nin! Kamu yakin?" tanya Sinta. Seraya memegang tanganku.

"Aku mohon, biarkan kami mandiri. Lagian rumahnya kan dekat hanya beda tiga komplek saja," balasku.

"Aku tahu. Tapi aku maunya kalian tinggal di sini," ucap Sinta.

"Iya, Nindi. Kenapa harus pindah," sambung suami Sinta.

"Nindi mau berusaha memperbaiki diri dan belajar menjadi ibu yang baik untuk Ais, Bang," ungkapku.

"Kamu Ibu terbaik, Nin," ucap Sinta.

Aku dan Sinta berpelukan. Tak lupa Ais diberi amanat untuk melapor jika ibunya ini menangis lagi.

"Dengar yah, Sayang. Ais harus kabari Tante kalau ibu nangis lagi. Ok!" pinta Sinta.

"Kalau Ais nangis bagaimana Tante?" tanya Ais.

"Kalau Ais nangis yah, hmm ... Tante akan belikan Ais es krim. Kayak Alisha tuh," balas Sinta. Sambil menunjuk ke arah anaknya yang asyik makan es krim.

Celoteh Ais dan Alisha membuat kami terhibur. Mereka saling berbagi makanan layaknya saudara kandung. Aku bahagia mendapat keluarga seperti ini. Kebahagiaan yang tak dapat diukur dengan materi.
Kami berpamitan. Kami diantar oleh supir Sinta. Ais terus saya melambaikan tangannya.

Aku membeli rumah yang memiliki halaman yang luas  Karena dalam hati aku ingin membuka sebuah kedai makan. Aku bisa memasak. Membuat kue dan juga yang lainnya. Jadi aku akan memanfaatkan uang yang kami dapat.  Tak lupa sebahagian harta dari perceraian yang nominalnya lumayan besar itu akan kusimpan untuk Ais. Aku ingin Ais sekolah dan bisa melanjutkan kuliah. Ais ingin seperti Om Reza. Dia ingin menjadi seorang dokter.
Tiba-tiba ada perasaan rindu pada Reza. Sejak malam itu dia menghilang bak ditelan bumi.

Aku memulai usaha dengan harapan kami akan memiliki kehidupan yang lebih bahagia. Aku giat mempromosikan jualanku di internet. Tentu saja Sinta ikut andil. Dia memiliki banyak relasi. Dia terus merekomendasikan jualanku kepada teman-temannya. Ais dan Alisha masuk playgroup yang sama. Ais dan Alisha selalu memiliki barang yang sama. Setiap pulang dari playgroup Ais akan memintaku mengingat apa yang akan dikenakan besok. Putri kecilku sudah mulai bisa berinteraksi kepada siapa pun. Kata per kata yang dia ucapkan sudah mulai membaik.

Enam bulan berlalu. Usaha yang kubangun mulai berkembang. Hari ini aku sedang sibuk mempersiapkan ulang tahun Ais yang ke lima tahun. Kini putri kecilku sudah berusia lima tahun. Ada perasaan bahagia yang amat besar mengingat bagaimana dulu saat hamil, aku tak yakin dia akan sesehat dan selincah ini.

Acaranya sederhana. Itu pun karena permintaan Ais. Sinta memaksakan diri agar mendekorasi ruangan dan halaman. Padahal menurutku itu tidak perlu. Karena rumah ini sudah aku beri sentuhan lembut khas perempuan. Cat tembok berwarna merah muda mix putih . Interiornya juga yang unik dan kegemaran Ais. Aku mengikut saja. Karena suara Sinta didukung oleh dua kurcaci Ais dan Alisha. Sedangkan aku sibuk membuat kue ulang tahun Ais di dapur.  Acaranya diadakan sejak sore hari sampai malam. Hah ternyata banyak sekali teman yang sudah kumiliki.

Malam hari ketika sudah mulai sepi Sinta dan suaminya mempersembahkan sebuah lagu. Mereka tampak sangat bahagia. Ais dan Alisha sibuk sendiri. Aku berdiri memperhatikan mereka. Memegang gelas yang berisi sirup stroberi yang kubuat.
Tiba-tiba aku dikagetkan dari belakang.

"Kau cantik sekali," katanya.

Aku melotot dan langsung membalikkan badan. Ternyata Reza sudah berdiri di belakangku. Aku kaget dan tak percaya kata-kata itu keluar dari mulutnya.

"Reza!" kagetku.

Reza tersenyum manis  sampai lesung pipinya terlihat jelas. Jantungku berdebar kencang. Aah ada perasaan yang tak karuan kini menghampiriku.

"Om Reza ...." Ais berlari ketika melihat Reza.

Reza langsung mengulurkan kedua tangannya dan menggendong Ais.

"Apa-apaan ini. Aiiis, ibu juga kangen sama Om Reza," gumamku dalam hati. "Apa aku cemburu dengan anakku sendiri? Aah tidak. Tidak mungkin aku jatuh cinta pada Reza."

Reza menghampiri Sinta. Terlihat Alisha juga sangat akrab dengan Reza. Ada tanda tanya besar di kepalaku. Sinta bilang Reza adalah suami sepupunya. Namun kenapa Reza terlihat seperti lajang yang bebas kemana saja?

Akhirnya acara sudah usai. Jam sudah menunjukkan pukul 23.48 WIB. Hanya ada aku, Reza, Sinta dan Suami Sinta. Kamu duduk di halaman. Sedangkan Ais dan Alisha sudah terlelap. Sinta terus saja menggodaku. Membuat pipiku menjadi merah tak karuan.

"Eheem ... kayaknya ada yang salah tingkah," ujar Sinta.

"Iya yah, Sayang," sambung suami Sinta.

"Apaan sih. Mana ada biasa aja," balasku.

"Lah siapa juga yang bilang kamu, Nindi ..." ujar Sinta. Sambil tertawa dan memeluk lengan suaminya.

"Udah aah, aku mau lihat anak-anak," ujarku. Seraya berdiri.

"Nindi ..." panggil Reza.

"Iyah ..." jawabku spontan.

"Cie ... ciiee ..." ujar Sinta.

Karena malu aku langsung bergegas masuk dan meninggalkan mereka. Kudengar Sinta dan suaminya tertawa bahagia. Aku bersandar di dinding dalam rumah. Jantungku berdebar kencang seperti genderang mau perang. Aku menuju kamar anak-anak. Memandangi Ais dan mengecup wajahnya. Aku juga mengecup Alisha. Mereka tertidur pulas dan saling berpelukan.
Tak lama Sinta dan suaminya masuk.

"Nin. Kami menginap disini yah," ucap Sinta.

"Owh, iyah. Aku siapkan kamar dulu," ujarku.

"Nggak perlu. Aku bisa kok," balas Sinta.

"Begitu. Ya sudah," jawabku.

"Gih sana, temani Reza," ujar Sinta. Seraya mendorongku keluar.

Aku berbalik dan melirik Sinta tajam. Mereka malah tertawa sambil berlalu. Jantungku berdebar makin kencang. Aku melangkah perlahan sambil membetulkan penampilan. Tanganku rasanya dingin. Aku duduk berhadapan dengan Reza.
Suasana malam yang dingin membuat jantungku semakin tak karuan. Tanganku yang berada di atas meja tiba-tiba digenggam oleh Reza.

Rumah Tanggaku Rusak, karena Teman SendiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang