Rumah Tanggaku Rusak, karena Teman Sendiri

7.9K 388 7
                                    

Suasana berubah menjadi kaku. Terasa sunyi tak bergeming. Aku hanya menutup mataku. Tak sanggup mengingat kejadian sepuluh tahun silam, dimana  emosi Reza tak terkontrol dia sampai memenjarakan saudara tirinya karena melindungiku.

"Aku tak ingin mengungkitnya sekarang, Nindi," ujar Reza.

Aku terdiam sejenak. "Kau tak perlu menbahasnya. Aku tak ingin mengungkit luka lama," balasku.

"Jawab pertanyaanku! Kenapa kau tidak ingin lelaki brengsek itu dipenjara?" tegas Reza.

"Aku ingin ... aku ingin Reza. Tapi aku tak ingin kehilangan Ais," ucapku terbata-bata.

"Kenapa?" Reza kembali bertanya. Duduk di kursi dan menopang dagunya.

"Suami Eka, adik iparku.  Pernah melaporkan mereka karena satu hal. Aku tidak tahu pastinya itu apa. Namun bukannya mendapatkan keadilan, dia malah ditabrak oleh seseorang yang tak lain adalah orang suruhan keluarga itu. Saat itu dia bersama putrinya sedang berada di sebuah restoran. Putrinya meninggal dan dia cacat," jelasku perlahan.

"Lalu! Bagaimana dia bisa tahu?" tanya Reza.

"Eka yang memberitahu sendiri. Dia berkata ini akibat dari mencoba merusak keluarga mereka," ujarku.

"Tapi anak itu anak Eka bukan?" tanya Reza lagi.

"Bukan. Itu anak suami Eka. Eka mandul," jelasku.

"Waw. Luar biasa sekali keluarga itu. Lalu kenapa kau bisa menikah dengan lelaki dari keluarga itu!?" tanya Reza dengan suara kuat.

"Mas Bram orang yang baik. Dia mencintaiku dan aku mencintainya. Dia bahkan sangat bahagia saat tahu aku hamil. Dan saat Ais lahir dia begitu sangat bahagia," ujarku. Dengan mata yang menatap ke langit-langit.

"Hmm ..." Reza mendehem.

"Tapi semua berubah saat Sofia datang ke dalam rumah tangga kami," terangku dengan penuh sesak di dada.

"Sofia?" tanya Reza.

"Iya, Sofia. Teman kita satu kampung," jelasku.

"Ha ... ha ... ha ..." Reza tertawa kuat.

"Apa kau sudah gila?" tanyaku dengan mengerutkan dahi.

"Kau ini bodoh, tolol, atau terlalu naif?" ujar Reza.

"Maksudmu apa? Aku sama sekali tidak mengerti!" balasku.

"Nindi ... Nindi. Kukira karena lama di Medan kau sudah tau cara membedakan baik dan buruk," ungkap Reza dengan wajah bahagia.

Belum sempat Reza menjelaskan semuanya. Ais masuk dengan raut wajah bahagia.

"Ibu ...." panggil Ais.

"Anak Ibu, sini Sayang," balasku. Sembari mengulurkan tangan. Ais mendekat dan duduk di pangkuan Reza. Dia diantar oleh seorang perempuan.

"Om Reza bilang Ibu sakit. Jadi tadi Ais dan Om Reza pergi berdoa agar Ibu cepat sembuh," kata Ais dengan terbata-bata. Tiap kalimat yang ia ucapkan masih belum seutuhnya sempurna.

Mendengar itu aku merasakan kehangatan menyelimuti dadaku. Aku melihat betapa bahagianya Ais berada di pangkuan Reza.

"Seandainya Reza adalah suamiku. Aku pasti akan sangat bahagia. Aah tidak ... tidak, itu tidak mungkin." gumamku dalam hati.

"Ibu ..." panggil Ais. Menggoncang tanganku.

"Eit ... eit ... tangan ibu nggak boleh dibegitukan Sayang," terang Reza. Sambil memegang tangan Ais.

"Kenapa Ooom Rezaaa ...?" tanya  Ais dengan nada panjang.

"Nanti ibu lama sembuh. Ais mau ibu lama sembuh?" jelas Reza.

"Ti----dak. Ais mau ibu cepat sembuh. Dan bisa main sama Ais," ucap Ais. Seraya menggelengkan kepalanya dan   menunjukkan giginya yang ompong.

Reza mencium Ais dengan gemas. Yah, aku juga gemas melihat tingkah laku putri kecilku itu.
Mereka terlihat sangat dekat. Reza seperti sudah terbiasa menjaga dan membahagiakan seorang anak. Mungkinkah Reza sudah menikah?

Empat hari berlalu. Saatnya aku pulang. Hatiku berdebar tak karuan. Kemana kakiku akan melangkah? Sedangkan kami tidak memiliki rumah.
Ais nampak sangat bahagia. Reza datang menjemput kami. Dia akan mengantarkan kami kemanapun yang kami inginkan.
Kami masuk ke dalam mobil. Reza menyetir mobil sambil bernyanyi dengan Ais. Sedangkan aku duduk di belakang.
Gawaiku berdering terus menerus. Aku membuka tas dan melihat ternyata dari Sinta, tidak terjawab sebanyak sepuluh kali.
Tanpa pikir panjang aku menelepon kembali ke no Sinta.

"Assalamu'alaikum, Sinta," kataku.

"Wa'alaikum salam. Nindi kau dimana? Aku mencarimu kemana-mana. Aku letih Nindi!" bentak Sinta, kesal.

Aku menarik napas panjang. "Sinta! Aku ingin bertemu," ujarku.

"Kok suaramu parau? Nindi kau dimana?" suara Sinta panik.

"Kita bertemu di Restoran biasa, yah," ajakku.

"Baik aku segera kesana," balas Sinta.

Aku meminta Reza mengantar kami ketempat tujuan. Reza tidak akan pergi selagi belum yakin kami aman.
Aku melihat mobil Sinta. Dia langsung bergegas menghampiri kami.
Aku memeluk erat Sinta. Dengan linangan air mata yang tak dapat kubendung.

"Reza?" ucap Sinta. Begitu melihat Reza sedang asik bercanda dengan Ais.

"Kak Sinta!" jawab Reza. Yang langsung berdiri.

"Kamu kenal dengan Reza, Sin?" tanyaku.

"Tentu kenal. Dia suami sepupuku," balas Sinta yakin.

Aku terkejut. Ternyata Reza sudah menikah. Ada kekecewaan yang entah datang dari mana menyapa hatiku. Aku duduk terpaku beberapa saat. Kulihat wajah Reza berubah menjadi lebih diam.

Sinta mengajak aku dan Ais pulang ke rumahnya.
Sedangkan Reza tetap tinggal disana. Ais berulang kali mencium tangan Reza sebelum pulang.
Di dalam mobil aku memilih diam. Sesampainya di rumah Sinta. Sinta memanggil Mbak yang bekerja disana. Meminta menyiapkan kamar untuk kami.

Ais langsung di ajak masuk oleh anak perempuan Sinta yang umurnya sama dengan Ais ke dalam rumah setelah mencium tangan suami Sinta. Dia tampak sangat bahagia karena mempunyai teman.
Aku tak ingin menanya apa pun tentang Reza.

Aku menyapa suami Sinta. "Apa kabar Bang? Maaf kami merepotkan."

"Alhamdulillah baik. Halah Nindi, seperti bukan keluarga saja," balasnya ramah.

Setelah duduk beberapa saat aku pamit untuk beristirahat. Aku membaringkan tubuhku di atas tempat tidur.  Tapi tak lama Sinta mengetuk  dan masuk.

"Nindi ..." panggil Sinta.

"Eeh ... Sinta!" balasku.

Kami berdua duduk di tepi tempat tidur. Kucurahkan semua sesak di dalam hati ini. Mulai  kehilangan rumah sampai keguguran. Sinta memelukku erat. Memberiku semangat agar kuat demi Ais.

"Kita akan menggugat cerai Bram. Dan harta gono gini untukmu dan Ais. Jangan membantah kumohon, Nindi," ucap Sinta.

"Iya, Sinta," ujarku.

Setelah bercerita panjang lebar. Sinta bangkit dari tempat tidur.

"Aku ingin menjodohkanmu dengan Reza," kata Sinta. Dengan senyuman.

"Aah ... apa kau gila Sinta? Dia sudah menikah," balasku.

"Ha ... ha ... ha ..." Sinta tertawa. Mengacak-acak rambutku. Dan melangkah keluar.

"Apa maksud Sinta berkata begitu?" gumamku dalam hati.

Sinta dan suaminya berjuang agar kami menang. Akhirnya setelah beberapa kali sidang, diputuskan hak asuh Ais jatuh padaku. Dan juga harta gono gini berhasil kami dapatkan.
Jatah nafkah untuk Ais sampai dia menikah juga diberikan oleh Bram.
Sofia ikut mendampingi disana. Dengan gayanya yang super berlebihan membuat Sinta mual.
Terlihat wajah keluarga Bram penuh amarah. Diluar persidangan kami berselisih.

"Hah! Awalnya sampah akan tetap menjadi sampah," ujar Sinta ke arah Sofia.

Rumah Tanggaku Rusak, karena Teman SendiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang