Part 52

60.5K 2.4K 19
                                    

"Maaf kami sudah berusaha semaksimal mungkin pak, Bu, tapi maaf, bayi kalian tidak bisa diselamatkan." Ucap dokter yang baru saja keluar dari ruangan dimana tempat bayi Aletta dan Lio dirawat.

"Gak! Dokter pasti bohong! Bayiku baik-baik aja kan dok!" Seru Aletta.

"Maaf Bu." Ujar dokter sekali lagi.

"Kak ini gak mungkin kan?" Aletta sudah mulai terisak, ini pasti hanya mimpi nya saja, anaknya tidak mungkin pergi meninggalkan Aletta.

Sedangkan Lio tidak bisa berkata-kata, karena ini terlalu mendadak menurutnya, Lio yakin ini tidak benar, anaknya baik-baik saja, Lio sendiri yang melihatnya tadi pagi.

"Dok boleh saya masuk?"

"Silahkan pak."

Lio mendorong kursi roda Aletta untuk ikut masuk ke dalam, dan keduanya melihat bayi kecil dengan wajah yang sudah pucat, tidak ada suara detak jantung lagi diruangan ini, sepi dan sunyi.

Aletta tidak mampu menahan air matanya saat melihat itu semua, dan sungguh Aletta belum ikhlas.

"Hiks hiks." Aletta menangis dengan keras, sedangakan Lio menangis dalam diam.

Tidak berapa lama keluarga mereka masuk ke dalam ruangan itu, Gina dan Vina langsung menenangkan Aletta yang sudah lemas, dengan air mata yang tidak berhenti mengalir.
Aletta merasakan sakit yang amat sangat pada hatinya, ini bukan yang ia inginkan, Aletta ingin anaknya lahir dengan normal dan hidup bahagia bersamanya, ibu mana yang ingin kehilangan anaknya.

Tiba-tiba saja Aletta jatuh pingsan, membuat semua orang yang ada di situ panik, Lio langsung membawa Aletta ke ruang rawatnya.

Keadaan seperti ini yang paling Lio benci, ia sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa selain diam dan membisu.

Apa ini takdir yang sudah digariskan Tuhan untuknya dan juga keluarganya?

Hari ini juga proses pemakaman bayi Lio dan Aletta dilakukan, tanpa dihadiri Aletta yang masih belum sadarkan diri di rumah sakit, hanya Lio dan keluarga lainnya saja, sedangkan Aletta dijaga oleh Siska dan Vera.

Semua keluarga tampak tidak tega melihat Lio, yang terus meneteskan air matanya sejak tadi.

"Maafin ayah sayang, maafin ayah yang belum bisa menjaga kamu dengan baik, ayah harap kamu tenang disana, ayah dan bunda akan selalu menyayangimu, ayah janji kita akan bahagia bersama kelak." Ucap Lio di atas batu nisan anaknya yang diberi nama Yola Abraham.

"Lio, lebih baik kita kembali ke rumah sakit." Ujar Kevin.

Lio mengangguk dan semua keluarga kembali ke rumah sakit untuk melihat keadaan Aletta.

Sepanjang perjalanan Lio hanya diam tanpa mengucapkan sepatah katapun, pikirannya masih melayang dengan apa yang terjadi beberapa jam yang lalu, Lio takut jika Aletta tidak menerima semua ini dan akan drop.

~~~

"Kamu harus sabar Aletta, kak Siska dulu lebih parah dari kamu, dan untungnya kak Rigo memberi kakak semangat, sampai kakak mempunyai Deana." Siska terus menyemangati Aletta yang sejak sadar tadi  menangis tanpa henti.

"Hiks, Aletta gak ikhlas kak hiks."

"Uust, kamu gak boleh ngomong kayak gitu, kamu mau anak kamu disana ikut nangis juga kayak kamu?"

Aletta terus menangis tanpa henti, sebanyak apapun orang-orang menyemangatinya, Aletta tidak peduli, karena disini Aletta yang merasakan kehilangan, bukan mereka.

Pintu ruangan Aletta terbuka dan menampilkan sosok Lio, yang tersenyum lebar pada Aletta, Aletta tidak melihatnya karena sibuk dengan tangisannya.

Siska dan Vera meninggalkan ruangan itu saat Lio datang, menyisakan Aletta dan Lio saja diruangan itu.

"Sayang."

Aletta menatap Lio dengan air mata yang masih setia mengalir, tanpa basa-basi Aletta langsung memeluk Lio dengan sangat erat, dan menumpahkan semua keluh kesahnya.

"Uust, kamu yang tenang sayang, jangan kayak gini, aku gak bisa liat kamu yang kayak gini, aku merasa jadi suami dan ayah yang gagal." Ujar Lio.

"Kenapa hiks dia pergi secepat ini hiks." Isak Aletta.

"Ini takdir, kita gak bisa melawan takdir, dan inilah takdir yang sudah dituliskan untuk kita."

Lio tak henti-hentinya mencium kepala Aletta, demi apapun Lio tidak tahan melihat Aletta yang terus menangis dalam dekapannya, dan tanpa terasa air mata Lio sudah ikut terjun membasahi pipinya.

"Kak hiks." Isak Aletta.

"Sabar sayang." Tenang Lio.

Aletta tidak tau harus berbuat apa saat ini, rasanya semua telah selesai dan membuat Aletta tidak dapat hidup dengan sempurna lagi.

"Kita masih bisa mempunyai anak lagi sayang, jadi kamu jangan sedih ya, kita juga harus fokus sama pertumbuhan El yang kurang perhatian kita."

Astaga, Aletta sampai lupa dengan El gara-gara lebih mementingkan kesedihannya, Aletta jadi merasa bersalah pada El yang belakangan ini kurang diperhatikan nya, apalagi El sekarang jarang bicara pada siapapun.

"Kenapa aku nggak bisa jadi ibu yang baik kak hiks."

"Kamu ibu dan istri terbaik yang ada di dunia ini, tidak ada yang bisa ngalahin kamu."

Aletta terus memeluk Lio tanpa ada niat melepaskannya, entah apa jadinya jika disisi nya tidak ada Lio yang selalu mengutamakan Aletta.
Mungkin Aletta sudah kehilangan arah hidupnya.

~~~

El menangis terisak di sudut kamarnya sendirian, kata neneknya adik bayi yang baru saja Aletta lahir kan sudah pergi jauh, dan tidak akan balik lagi, itu tandanya El tidak akan mempunyai adik untuk diajak main, dan El pasti nanti sangat kesepian sekali karena ayah dan bundanya sudah tidak pernah mengajak El main.

"Loh, El sayang kenapa nangis." Tanya Raka saat memasuki kamar El.

Raka memang langsung pulang menuju rumah Aletta, setelah proses pemakaman bayi Aletta, karena takut El yang ditinggal saat tidur sudah terbangun, dan benar saja saat ini El sedang menangis di sudut kamarnya.

El langsung merentangkan kedua tangannya meminta gendong pada Raka dan kembali menangis.

"Usst, jangan nangis sayang, bunda pasti cepet pulang kok, asal El jangan nakal ya, terus jangan cengeng juga."

"El gak nakal hiks, tapi bunda tetep ga pernah main sama El lagi om hiks, terus sekarang adik bayi pergi, nanti siapa yang temani El main hiks."

Raka mengerti, anak sekecil El memang harus dikelilingi kasih sayang, bukannya merasa tersisihkan seperti apa yang El rasakan saat ini.

***

I'm Leaving (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang