"Bu ... Teteh laper ..." anak sulungku berujar sambil memegangi perutnya. Tak berapa lama, adik-adiknya juga berlari ke dapur.
"Yaya mam, Bu!" lugas balitaku yang baru saja belajar bicara. Sementara adiknya berjalan dengan kaku, lantas memeluk kakiku. Manisnya ... akhirnya si bungsu bisa berjalan juga.
Aku membelai kepala mereka bergantian. "Iya, sayang ... sebentar lagi nasinya mateng, nih. Main dulu, gih, di kamar." kataku sambil menggiring mereka masuk.
Pintu kulkas terbuka, lalu kucermati isinya lagi. Sayangnya tak ada yang berubah, tetap kosong tanpa bahan masakan sedikit pun. Hanya ada sedikit gula merah, sedotan susu, sudah. Bahkan terasi pun tidak ada. Padahal bisa saja kugoreng agar nasinya terasa sedikit gurih.
Hatiku ... sakit.
Klek. Terdengar suara penanak nasi, tanda nasi sudah matang. Segera kutaruh di piring, agar cepat dingin.
Masih belum menyerah, kujelajahi dapur kecilku dengan tatapan mata.
Untuk beranjak meminta lauk kepada orangtua di sebelah rumah, malu rasanya. Pasalnya sudah seminggu ini aku menumpang makan di sana.
Sia-sia. Tak ada telur. Jangankan tempe atau tahu, bahkan bawang merah yang bisa kugoreng untuk taburan pun tidak tersisa barang sebutir.
Tak terasa air mataku menggenang. Ah ... anak-anak mulai merengek lagi. Cepat kuhapus wajahku kasar.
Saat hendak menyerah, aku menemukan toples garam di sela mangkuk dan gelas. Syukurlah ... aku membukanya. Terlihat selapis sisa garam di dasar toples. Kukeruk menggunakan sendok dan kutaburkan di atas nasi hangat tadi.
"Siapa mau makaan?" tanyaku dengan ceria, yang disambut teriakan gembira ketiga buah hatiku.
"Bu, kok nasinya doang?" putri sulungku bertanya.
Kukecup dahinya, "enggak, sayang ... ini ada garemnya. Enak, deh. Percaya sama Ambu." jawabku sambil tersenyum.
Kusuapkan nasi dengan tangan gemetar. Perih ... batinku teriris ngilu. Lagi-lagi air mataku menganak sungai, tak mampu kutahan derasnya.
Terasa sebuah tangan kecil mengusap pipiku perlahan. "Ambu kenapa? Teteh suka, kok, makannya. Bener kata Ambu, nasinya enak! Iya kan, Dek?" gadis kecilku bermonolog ceria, dengan diiringi anggukan adik-adiknya. Dia lantas memeluk leherku, diikuti dengan gerakan serabutan tangan-tangan mungil yang tak mau kalah. Semua berebut menciumiku.
Aku menangis ... terisak dan tersedu sedan ... di pelukan anak-anakku.
"Mam ... mam ..." terdengar suara si bungsu yang berusaha keluar dari belitan tangan kami.
Bocah setahun ini lantas mendekati piring dan menyuapkan nasi putih berlauk garam ke mulutnya sendiri, lalu tersenyum cerah.
Aku dan kakak-kakaknya tertawa.
Sungguh, sampai kapan pun, aku tak akan melupakan keindahan renyahnya tawa tiga buah hatiku saat itu.
Be strong, babies ... tetaplah saling mendukung dan saling sayang selamanya.
Allah loves you!
#AiyPuspa
KAMU SEDANG MEMBACA
Buku Harian Ambu
MizahSampurasun ... rampes! Halo semuanya, kenalin dulu, ah. Panggil aja saya Mawar, eh, Ambu. Apa sih artinya? Ambu itu sebutan untuk ibu dari bahasa Sunda, Beb. Oh, jadi kamu orang Sunda? Bukan, saya aseli Jawa. Lha kok? Iya, panjang ceritanya mah. E...