(11) Tertangkap

459 59 11
                                    

Doyeon Point of View

Setelah hari dimana pria bernama Choi Minho itu menghampiriku dan mengatakan ketertarikannya padaku, hidupku tidak lagi tenang. Dia selalu mendatangiku dimana pun keberadaanku. Tentu saja itu membuatku risih. Dia secara tiba-tiba datang dan berkata suka di saat kondisiku seperti ini. Satu yang ada dipikiranku. Dia gila! Tidak ada orang waras yang menginginkan wanita kotor sepertiku.

"Do Yeon-ssi," suara itu lagi. Aku mempercepat langkahku walau aku tahu ini percuma.

"Naiklah! Aku akan mengantarmu sampai rumah," dia mengayuh sepedanya dengan pelan. Aku tidak menjawabnya bahkan menoleh pun tidak.

"Jangan mengabaikanku terus. Aku hanya ingin berniat baik padamu, tidak lebih. Kau tidak kasihan pada bayi di dalam perutmu? Dia pasti merasa lelah juga,"

"Kumohon jangan menggangguku lagi. Sudah kukatakan jika aku tidak berniat untuk mencari pendamping,"

"Kau sangat membutuhkannya untuk masa depanmu. Jika kau menerimaku, kau tidak akan pusing menjawab berbagai pertanyaan dari anakmu tentang ayahnya. Yeon-ah,"

Aku berhenti dan menatapnya sengit. Dia terlalu ikut campur, membuatku risih dan gelisah. Bagaimana pun perkataannya tidak salah sama sekali.

"Ini akan menjadi urasanku jadi uruslah urasanmu sendiri!"

Aku berjalan terus mengabaikan pria yang masih setia di sampingku bahkan sekarang dia sudah turun dari sepedanya dan ikut berjalan kaki sepertiku.

"Aku tahu kau masih memiliki trauma dengan pria. Tapi yang perlu kau ingat, tidak semua pria brengsek...."

Aku tidak menghiraukannya. Kepalaku kembali pusing dengan semua ucapannya. Tubuhku sudah lelah seharian berkebun dan sekarang harus menguras energi untuk meladeni pria keras kepala ini?

"Aku sudah sampai jadi pulanglah!" usirku dan memasuki rumah tanpa mempersilakannya untuk mampir. Aku hanya ingin langsung membersihkan tubuhku dan tidur.

"Sampai jumpa lagi besok," katanya dengan riang.

~Decision~

Beralaskan futon aku memandang atap rumah kecilku. Tidak bisa disebut rumah juga karena hanya terdiri dari dua ruang yaitu untuk tidur dan kamar mandi. Jika sudah begini, pikiranku akan melayang mengenang masa lalu. Hahaha, seolah aku sudah pergi bertahun-tahun. Ini bulan ketiga aku meninggalkan rumah dan semuanya. Aku mengelus perut buncitku, sudah enam bulan. Tidak bisa dipungkiri jika kehadirannya membuat masa depan yang sudha kususun rapi jadi hancur. Tapi, aku tidak bisa membencinya. Mungkin naluri seorang ibu, aku akan melakukan apapun untuk mempertahankannya. Walaupun seumur hidupku akan selalu dibayangi oleh pria itu, Lucas. Aku tidak mempermasalahkannya.

Sebenarnya aku pergi jauh untuk menghilangkan perasaanku terhadap Lucas tapi sudah sejauh ini pun aku masih belum bisa melupakannya. Pria itu selalu berhasil mengingatkanku padanya. Bukan hanya wajahnya yang mirip, juga perilakunya. Dia sama mengesalkannya seperti Lucas.

"Kenapa aku harus tersenyum seperti ini saat mengingat dokter Choi? Aku tidak akan membiarkannya membuatku jatuh. Aku terlalu hina untuknya,"

Aku harus tidur, hari esok sudah menantiku dengan segala pekerjaan yang melelahkan. Kau harus tumbuh dengan baik, kau sudah menyaksikan seberat apa ibu berjuang, kan. Hahaha, aku merasa geli saat memanggilkan diriku sebagai ibu. Aku merindukan ibu dan ayah juga oppa dan eonni. Yoojung-ah, kau juga baik-baik saja kan di sana?

~Decision~

"Selamat pagi,"

"Aku baru tahu ternyata menjadi dokter bisa sesantai ini," kataku saat mendapati dokter Choi sudah berdiri di depan rumahku dengan sepedanya.

Decision (Doyeon-Lucas)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang