T u j u h b e l a s

2.1K 254 3
                                    

Akhirnya Radhi dibolehkan untuk pulang ke rumah!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Akhirnya Radhi dibolehkan untuk pulang ke rumah!

Setelah kondisinya benar-benar membaik dan hasil pemeriksaannya berada di dalam ambang batas kestabilan, pada akhirnya DPJP-nya membolehkan Radhi untuk pulang. Tentunya dengan ribuan syarat yang harus Radhi patuhi. Ditambah dengan sedikit omelan karena terkadang, cowok itu hobi bertingkah seenaknya.

"Mau pakai kursi roda, Dek?" tanya Keigen. Indra penglihatannya memperhatikan seorang perawat melepas venflon yang ada di tangan kiri Radhi. "Kalau mau, nanti aku mintain."

"Woah! Darahnya ngalir!" Bukannya menjawab, Radhi malah berteriak saat melihat darah mengalir dari bekas tusukannya. "Tahan, Kak! Jangan sampai aku mati kehabisan darah!"

"Dek, tenang." Keigen berucap. "Maaf, ya, Sus. Adek saya suka heboh sendiri emang."

Radhi mengibas-ibaskan tangannya begitu luka tusukannya tertutup sempurna. Bibirnya mengerucut sebal. "Bodo amat, Kak. Aku lagi senang, karena bisa pulang ke rumah!"

Radhi tertawa. Ia menurunkan kedua kakinya setelah mengenakan jaket biru yang senada dengan warna iris matanya itu. "Mau pakai kursi roda, Kak," ucap Radhi. Tubuhnya masih terasa agak lemah, meski sudah baikan. Makanya itu, Radhi minta pakai kursi roda saja.

"Kakak yang dorongin, ya," sambung Radhi. Ia meraih ponsel yang berada di atas nakas, lalu membuka grup kelasnya. Perlahan, ia menyentuh icon kamera dan mengarahkan kamera depannya ke wajahnya sendiri. Dengan senyum lebar di bibirnya, sampai-sampai kedua lesung pipitnya terlihat, Radhi menekan icon capture.

"Ngapain kamu?" Keigen bertanya heran.

"Ih, aku imut banget." Radhi berucap asal. Ia mengirim foto itu setelah memberi caption, lalu menyimpan ponselnya ke dalam kantong jaketnya. "Ayo, pulang. Aku kangen rumah!"

Keigen berdeham pelan. Ia berjalan ke luar kamar rawat, berencana mengambil kursi roda. Ditinggalkannya Radhi yang masih duduk di atas ranjang seorang diri, dengan senyum yang langsung luntur begitu Keigen tidak terlihat lagi.

Pulang ke rumah? Radhi tidak yakin dapat bernapas dengan tenang di sana. Selama kakek dan nenek masih tinggal di rumahnya.

Perlahan, Radhi mengayunkan kedua kakinya. Kepalanya menengadah, menatap langit-langit kamar rawat. Selama ini, kakek dan nenek seolah tidak peduli padanya. Menjenguk, bahkan sekadar menanyakan keadaannya saja tidak pernah.

Entah apa Radhi bisa tahan berada di rumah atau tidak. Nyatanya, terkadang ucapan kakek cukup membuatnya merasa sakit. Ditambah dengan tatapan tajam dari nenek.

"Dek, kamu bisa turun sendiri 'kan?" Suara Keigen kembali terdengar. Diikuti oleh sosoknya yang muncul dari pintu kamar. "Sini, ayo. Ayah udah nunggu di lobi."

Radhi mengangguk pelan. Ia turun dari bed, lalu duduk di kursi roda. Sementara itu, Keigen mengambil tas berisi perlengkapan milik Radhi.

"Udah siap, Dek?" tanya Keigen.

"Siap! Aku siap banget buat pulang!"

Keigen terkekeh pelan. Ia mulai mendorong kursi roda Radhi ke luar kamar, hingga selanjutnya ke luar ruang rawat. Senyumnya terlukis di bibir.

"Aku kangen Neko! Nanti, kita beli makanan dulu, ya, buat Neko."

Keigen mengangguk pelan. Tangannya mengacak rambut Radhi perlahan. "Iya, Dek."

•The Dream Catcher•

Tidak ada sambutan spesial ketika Radhi sampai di rumah. Rasanya, tidak ada bedanya. Hanya Neko, kucingnya yang setia menunggu di depan pintu---walau kadang kabur ke rumah tetangga.

Perlahan, Radhi mengedarkan pandangannya. Ia tidak dapat menemukan sosok kakek dan nenek di manapun. Hal itu lantas membuatnya mengembuskan napas lega. Sebisa mungkin, Radhi berjalan menuju kamarnya, sebelum kakek dan nenek melihatnya. Ia baru pulang ke rumah dan tidak ingin mendengar ucapan bernada sinis dari kakek ataupun tatapan tajam dari nenek.

"Oh, anak itu sudah kembali ternyata."

Sial.

Radhi berhenti melangkah. Tubuhnya membeku. Secara semu, ia menutup telinganya.

"Sudah puas, ya, kamu menghabiskan uang orang tuamu sendiri."

Diam, diam, diam!  Batin Radhi berteriak. Sebisa mungkin, ia tidak mendengarkan ucapan kakek sama sekali. Dengan langkah terseok, ia memasuki kamarnya dan menutup pintu.

Radhi duduk di atas ranjang. Tangannya terkepal dengan napas yang memburu. Ayolah, ia baru saja sampai rumah. Dirinya baru saja kembali dari rumah sakit. Apa tidak bisa Radhi mendapat sedikit ketenangan?

"Adek?" Suara Zio terdengar, membuat Radhi menoleh ke arah pintu. Di sana, Zio berdiri, dengan raut wajah khawatir.

"Ayah ...." Radhi berbisik lirih. Bersamaan dengan itu, tubuh Zio mendekap tubuh Radhi erat. "Kenapa Kakek masih nggak mau nerima aku?"

Zio menggeleng perlahan. Ia mengusap punggung Radhi dengan lembut, berusaha menenangkan. Entah kenapa, kesedihan ikut merasukinya saat mendengar isakan Radhi.

"Dek, tenang, ya. Kamu baru sembuh, loh." Zio berucap pelan. "Nggak usah dengerin ucapan Kakek, ya. Kamu istirahat aja. Biar besok bisa aktivitas lagi."

Radhi berusaha melepaskan pelukan Zio pada tubuhnya. Dengan intens, ia menatap kedua manik Zio. "Yah, Ayah sayang sama aku 'kan? Walaupun aku penyebab kematian Bunda."

"Dek, kematian Bunda itu bukan salah kamu. Itu semua udah takdir. Nggak ada yang salah di sini," balas Zio. Ia tersenyum hangat, sehangat mentari pagi. "Ayah sayang sama kamu. Karena kamu adalah harta Ayah yang paling berharga. You are my sunshine, Dek."

Radhi tidak dapat menahan senyumnya lagi. Ia mengusap sudut matanya yang berair, lalu memeluk Zio sekali lagi. "You are my sunshine, too, Yah," bisik Radhi, "jangan pernah tinggalin aku, ya."

"Ayah nggak bisa janji," ucap Zio, "tapi, Ayah bakal selalu berusaha. Kamu juga, Dek. Jangan pernah kalah sama apapun, termasuk penyakit kamu. Ingat, kamu adalah yang terhebat dari miliaran lainnya. Jangan pernah berpikir kalau kamu lemah, Dek. Justru kamu adalah yang terkuat."

Senyum Radhi mengembang paling lebar. Ia yakin, selama ada Zio, dirinya dapat bertahan lebih lama lagi. Meski sebenarnya, Radhi ingin menjumpai Shania sesegera mungkin.

•To be continued•

The Dream CatcherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang