D u a p u l u h

3.5K 242 18
                                    

Tepat pukul empat lewat lima belas sore, Zio sudah siap untuk pulang ke rumah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tepat pukul empat lewat lima belas sore, Zio sudah siap untuk pulang ke rumah. Dengan cepat, ia berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Sesekali Zio berhenti berjalan untuk sekadar menyapa rekan sejawatnya. Senyum lembut yang pemuh wibawa itu terus tersungging di bibirnya, bahkan setelah ia kembali berjalan menuju Gedung A.

Namun, begitu sampai di depan Taman Anggrek, Zio berhenti berjalan. Ia justru menatap ke arah kursi kayu yang terletak berjejer di sana. Embusan angin yang menerpa tubuhnya dengan lembut seolah membawa terbang kenangan.

Hampir enam belas tahun yang lalu, kabar buruk itu berembus. Anak yang ada di dalam kandungan Shania diketahui memiliki penyakit bawaan. Tidak ada seorang pun yang serta merta dapat menerimanya.

Hampir enam belas tahun yang lalu, Zio pernah duduk di sana. Di sebelahnya, Shania duduk. Kepalanya tertunduk dengan air mata yang terus mengalir dari sudut matanya. Tangannya mengusap perut yang mulai membesar, sementara Zio berusaha untuk menenangkan.

Zio ingat betul hari itu. Sang istri berusaha untuk tersenyum. Kalimatnya masih terngiang jelas di indra pendengaran Zio.

"Kalau Adek udah lahir, ayo kita rawat dia sama-sama. Kita nggak boleh nyerah sampai ada keajaiban buat Adek, ya."

Saat itu, Zio mengiyakan. Terbayang di benaknya bagaimana nantinya jika anaknya lahir. Ada banyak prosedur invasif yang bahkan harus dijalaninya di usia yang baru beberapa hari. Prosedur yang bisa dibilang merupakan salah satu jalannya agar bisa terus bertahan hidup. Semuanya berat, namun Zio selalu yakin, ia akan mampu melewatinya selama Shania ada di sisinya.

Tetapi, Zio tidak pernah mengira bahwa Shania akan meninggalkannya begitu saja. Komplikasi kehamilan yang terjadi di bulan kedelapan menyebabkan nyawa istrinya terenggut. Hingga akhirnya Zio harus menghadapi semuanya seorang diri.

Bahkan hingga kini, ketika kenangan itu kembali muncul setelah sekian lama terkubur dalam-dalam. Zio pernah berusaha melupakannya, tetapi ia tidak pernah bisa. Seumur hidup, ia harus hidup dengan kepahitan tersebut.

Suara ponsel terdengar, menyentak Zio dari lamunannya. Ia mengambil ponsel yang berada di saku celananya, sebelum akhirnya membaca nama yang tertulis di layar. Senyum Zio terkulum tipis ketika ia menjawab panggilan tersebut.

"Halo, Dek?"

•The Dream Catcher•

"Kak, katanya kalau kecerdasan itu diturunin dari ibu, ya?"

Keigen yang awalnya sedang berbaring telungkup di karpet langsung mendongakkan kepalanya, menatap Radhi yang duduk di sofa sambil membaca bukunya. Kedua kelopak matanya mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya mengangguk. "Katanya, sih, begitu," jawab Keigen.

"Woah, Bunda pintar banget berarti, Kak?" Manik biru Radhi tampak berbinar. Ia menurunkan buku dari pandangannya dan turun dari sofa. "Ceritain dong, Kak. Aku suka, nih, dengar cerita begini."

Keigen bangkit dan duduk di sebelah Radhi. Kedua kakinya diselonjorkan dengan kepala yang menengadah. Senyumnya terbit. "Aku juga cuma sebentar kenal sama Bunda, Dek."

"Tapi, ada ceritanya 'kan, Kak? Aku mau dengar!" seru Radhi, memaksa Keigen agar bercerita. Dengan manjanya, ia menggoyangkan lengan Keigen. "Plis?"

Keigen mendesah pelan. "Tapi sedikit aja, ya." Ia berdeham pelan. "Kamu tahu buku tentang astronomi, arkeologi, sama genetika yang ada di rak buku? Itu dulu buku kesukaan Bunda. Aku ingat banget, setiap kali aku nyamperin Bunda di kamarnya, dia pasti lagi baca buku itu. Pernah sekali, aku minta bacain. Bunda semangat banget pas bicara soal dua topik itu.

"Bunda pernah cerita kalau cita-citanya itu jadi astronom atau arkeolog. Antimainstream banget Bunda itu. Tapi, Kakek sama Nenek nggak pernah setuju." Keigen terkekeh geli. Ia jadi ingat bagaimana ekspresi bundanya saat menceritakan cita-cita masa kecilnya yang tidak pernah terwujud itu.

"Pasti muka Bunda lucu banget pas lagi cerita-cerita begitu," ceplos Radhi. Ia tertular senyum Keigen, hingga tanpa disadarinya, seulas senyuman terbit di bibirnya.

Keigen mengangguk pelan. "Bunda itu mirip banget sama kamu, Dek. Ekspresinya, senyumnya, binar di matanya. Udah aku bilang, bukan? Aku kayak ngeliat Bunda kalau lagi ngeliat kamu," lanjut Keigen, "Aku nggak ngerti kenapa bisa begitu. Seolah, kamu hadir buat ngegantiin keberadaan Bunda. Makanya itu, kamu harus tetap bertahan. Aku nggak mau kehilangan kamu juga."

Radhi lantas termenung. "Tapi, aku pengin cepat ketemu Bunda."

"Ngaco kamu!" seru Keigen. Ia menarik daun telinga Radhi dengan ganasnya. Tidak peduli adiknya itu meringis kesakitan. "Bunda nggak akan mau kamu cepat-cepat ketemu dia."

"Ya, gimana, Kak? Aku pengin banget ketemu Bunda. Aku pengin dengar semua cerita itu dari Bunda secara langsung." Radhi menggembungkan pipinya. "Tadi, aku ke ruang musik. Aku iseng main piano. Aku jadi ngebayangin Bunda lagi main piano. Aku ngebayangin Bunda lagi nyanyiin lagu pengantar tidur buat aku. Aku 'kan pengin ngerasain semuanya secara langsung, bukan angan-angan doang."

Senyum Keigen benar-benar luntur, berganti dengan kesedihan yang teramat dalam. Bukan hanya Radhi yang menginginkan semua itu, tapi juga dirinya.

"Nanti, kalau kamu udah sukses, baru boleh," cetus Keigen pada akhirnya, "Bunda pasti lagi ngawasin kamu. Kalau kamu berhenti berjuang, Bunda pasti bakal sedih banget. Kamu nggak mau 'kan, ngebuat Bunda sedih?"

Radhi menggeleng pelan. Selama ini, ia juga memercayai hal itu. Makanya, Radhi selalu berusaha untuk membuat bundanya bangga di sana. Apapun itu, bahkan hal kecil sekali pun.

"Makanya, dengar kataku. Kalau kamu sukses nanti, Bunda pasti bangga sama kamu. Meskipun kamu nggak lihat, Bunda pasti lagi senyum di sana." Keigen menepuk pundak Radhi perlahan.

"Aku pengin ketemu Bunda, Kak."

"Gimana kalau akhir minggu ini kita ke makam Bunda? Udah lama 'kan nggak ke sana?" Keigen memberi saran. "Telepon Ayah sana. Ajakin. Pasti, Ayah mau."

Radhi mengangguk setuju. Diraihnya ponsel yang ada di atas sofa. Dengan cepat, ia mengetik nomor Zio dan melakukan panggilan. Tidak perlu waktu lama, panggilan dijawab.

"Halo, Dek?"

"Yah." Senyum Radhi mengembang. "Hari Minggu ke makam Bunda, yuk!"

•To be continued•

A/n

Terakhir update 19 Agustus 2019 wkwkwk. Gila, udah lama banget.

Btw, sori, sori, dan sori banget karena aku lupa alur.

Lagi.

Seingat aku, kasus Radhi itu sama kayak kasus anak yang aku tanganin. Semester 4 kemarin. Cuma, aku lupa catetan aku di mana. Jadi, yah, seadanya wkwk.

Enjoy!

Aku kangen kamuuu!

Oiya, tanggal 7 sampai 14 ini diperingati sebagai CHD awareness week. Mari kita doakan anak-anak yang senasib sama Radhika (iya, dia CHD juga 'kan?) agar segera mendapat keajaiban

The Dream CatcherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang