T u j u h

3.4K 396 54
                                    

Begitu Keigen memasuki area dapur untuk meletakkan es krim yang barusan dibelinya di kulkas, ia langsung mendapati Radhi duduk di depan wastafel

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Begitu Keigen memasuki area dapur untuk meletakkan es krim yang barusan dibelinya di kulkas, ia langsung mendapati Radhi duduk di depan wastafel. Segera saja, Keigen berjalan menghampiri Radhi yang tampak terdiam di tempatnya dengan tangan yang memeluk kedua kakinya, setelah meletakkan es krimnya di atas meja makan. Keigen berjongkok di hadapan Radhi, tangannya mengusap pundak adiknya itu.

"Adek ... Adek kenapa?" tanya Keigen khawatir. Ia berusaha untuk mengangkat kepala Radhi, agar ia bisa menatap wajahnya. Tapi, cowok itu seolah menghindar. "Adek, lihat aku sini. Kamu kenapa? Ngomong sama aku, Dek."

Radhi tidak juga mengangkat kepalanya. "K-ka-kak ..." panggil Radhi lirih. Suaranya terdengar bergetar. "K-kak ... m-ma-ti ... aku ... m-mau ma---"

"Ngomong apa kamu barusan?!" potong Keigen cepat. Ia berusaha meraih tubuh Radhi, tapi adiknya itu langsung menepis tangan Keigen. Didorongnya tubuh sang kakak hingga Keigen terjatuh menyentuh lantai.

"Bagus begitu, Radhika. Ayo, bangun. Ambil pisaunya di lemari. Akhiri semuanya dengan cepat."

Radhi bangkit. Meski dengan langkah tertatih, ia berjalan menghampiri lemari makan, tempat di mana peralatan memasak disimpan. Perlahan, Radhi membuka lacinya. Ia tidak lagi mengacuhkan panggilan Keigen.

"Jangan, Radhi. Masih banyak orang yang berharap kamu ada di sini. Jangan menyerah karena keadaan."

"Ayo, cepat. Kamu itu pembunuh. Nggak sepantasnya kamu tetap hidup. Nggak ada orang yang mau nerima kamu. Ayo, cepat. Biar semuanya cepat selesai."

"Radhika, Bunda berusaha mempertahankan kamu selama 34 minggu, jangan sampai kamu sia-siakan nyawa kamu gitu aja."

"Adek, jangan gini lagi." Keigen berucap dengan kedua lengan yang memeluk tubuh Radhi, berusaha untuk menahan pergerakannya mengambil sebilah pisau dari dalam sana. Dengan cepat, ia menutup laci. "Teriak, Dek. Usir suara-suara yang mengganggu Adek. Tutup telinga Adek. Jangan didengar. Dengar suara aku aja, ya."

Keigen berusaha memandu kedua tangan Radhi untuk menutup lubang telinganya sendiri. "Teriak, Dek. Buktikan kalau Adek lebih kuat dari mereka. Adek bisa. Ayo, teriak, Dek. Lawan mereka."

"Halah, nggak usah dengarkan dia, Radhika. Udah, ikutin aku aja. Kalau kamu mati 'kan masalah kamu bisa langsung selesai. Kamu nggak perlu berurusan sama Kakek dan Nenek, kamu nggak perlu berurusan sama obat-obatan lagi. Kamu nggak perlu ngerasa bersalah. Udah, cepetan."

"Diam!" teriak Radhi sekeras mungkin. Tangannya makin menekan daun telinganya sendiri, hingga lubangnya benar-benar tertutup. Sebisa mungkin, Radhi berusaha mencegah suara itu untuk kembali merasuki pikirannya. "Diam! Kamu nggak bisa ngatur aku! Aku lebih kuat dari kamu! Kamu nggak nyata! Kamu nggak nyata!"

Keigen melepaskan tangannya dari lengan Radhi. Didekapnya tubuh cowok itu untuk mencegah pergerakannya yang tiba-tiba. Untuk sejenak, ia memejamkan matanya. Napasnya memburu, efek rasa takutnya barusan.

The Dream CatcherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang