S e p u l u h

3.6K 373 9
                                    

Tidak banyak orang yang tahu kalau Radhi adalah pembohong ulung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tidak banyak orang yang tahu kalau Radhi adalah pembohong ulung. Ia mampu membohongi orang lain, apalagi hanya dirinya sendiri. Jangan dikira, selama ini ia menebarkan senyum penuh ketulusan. Nyatanya, semua itu hanyalah kebohongan semata.

Demi terlihat baik di hadapan orang lain, Radhi seolah mengubah hampir semua sifatnya. Menjadi seorang Daiva Radhika Artanabil yang hobi menebar senyum di hadapan umum, dan menjadi seseorang yang memiliki seribu luka jika sedang sendiri. Walau sejujurnya, harus menahan semuanya seorang diri itu sangat menyakitkan.

Kalau kata orang-orang, "cobalah sesekali berbagi cerita pada orang lain."

Radhi ingin sekali bercerita pada teman-temannya, pada sahabat-sahabatnya. Tapi, Radhi tidak bisa yakin, mereka bisa menerima Radhi apa adanya. Mana ada orang yang mau menerima seseorang yang berstatus sebagai seorang pasien kejiwaan?

Makanya itu, Radhi lebih memilih untuk diam. Menyimpan semuanya rapat-rapat. Bertingkah seolah dirinya adalah seseorang yang bebas, tanpa masalah.

Tapi kini, entah kenapa Radhi merasa dirinya lebih sensitif. Ia lebih memilih untuk duduk di bangkunya daripada menghampiri teman-temannya di pojokan kelas. Meski Afza sudah memanggilnya sedari tadi, Radhi tetap saja tidak acuh.

"Udah sadar, ya, kalau kamu nggak bisa ikut gabung sama mereka?"

Radhi agak terlonjak ketika tiba-tiba kembali mendengar suara itu. Kehidupannya benar-benar terasa menyakitkan ketika suara-suara itu kembali muncul, menghancurkan harga diri Radhi. Membuatnya lagi-lagi merasa rendah dan tidak berharga.

"Diam kamu!" bisik Radhi setegas mungkin. Ia mengambil headset yang ada di dalam tasnya, lalu mengenakannya. Dinyalakan lagu dari ponselnya agar suara-suara itu kembali menghilang.

Radhi menarik napas panjang. Keningnya ditempelkan ke permukaan meja, dengan kedua tangan memegang kepala bagian belakangnya. Tanpa sadar, ia berpikir.

Kenapa suara-suara itu sering datang kembali?

Apa tidak cukup masa SMP-nya harus diisi oleh terapi-terapi memuakkan demi menghilangkan suara-suara itu?

Jangan begitu, Radhika. Kamu nggak mau balik ke sana 'kan? Kamu harus kuat, batin Radhi. Diulasnya satu senyuman tipis.

"Kenapa kamu? Senyam-senyum sendiri. Anak-anak jadi khawatir." Suara yang sangat Radhi kenal tiba-tiba terdengar. Itu suara Afza. Seingatnya, cowok yang merupakan sahabat Radhi sejak kelas sepuluh itu sedang berkumpul bersama teman-temannya yang lain. Tapi, tiba-tiba saja, Afza sudah duduk di hadapan Radhi.

Kelopak mata Radhi mengerjap beberapa kali. "Eh, kenapa?" Radhi balik bertanya. Ia melepas headset yang menyumpal telinganya.

"Aku sama anak-anak daritadi merhatiin kamu. Kayaknya, kamu lagi nggak semangat hari ini. Kenapa? Ada masalah?" Afza bertanya. Binar kekhawatiran tampak jelas di bola matanya yang jernih. "Kamu tahu, ketika seseorang bersikap beda dari biasanya, keliatan banget. Dan kamu, keliatan banget kalau kamu lagi nggak kayak biasanya. Pasti lagi ada masalah. Iya 'kan? Kamu bisa cerita, kok, ke aku."

Radhi tertawa. "Kamu ngomong apa, sih? Perasaan, aku kayak biasa," balas Radhi. Senyumnya tampak lebar, menampilkan lesung pipinya. "Makasih, loh, udah perhatian sama aku."

Kedua kelopak mata Afza menyipit, tidak percaya dengan ucapan Radhi. Yah, mana bisa ia percaya? Barusan saja, Afza mendapati Radhi tampak terganggu, lalu ia tampak seperti berbicara dengan orang lain. Setelahnya, Afza lihat Radhi senyam-senyum sendiri.

Afza mungkin masuk ke dalam barisan manusia-manusia yang tidak memiliki kepekaan tinggi. Tapi, untuk kali ini, perbedaan sikap Radhi benar-benar kentara. Afza dapat melihatnya dengan jelas.

"Aku dengar dari Sera kalau kamu nyanyi sendiri di ruang musik, pakai nada asal dan nggak jelas." Afza kembali berujar. "Kamu nggak biasanya kabur ke ruang musik kalau lagi nggak ada masalah."

"Astaga, Afza!" Radhi tergelak. "Tadi aku bosan. Kalian olahraga, aku sendirian. Memangnya, aku tahan kalau cuma ngeliatin kalian olahraga dari pinggir lapangan? Daripada gitu, mending aku kabur ke ruang musik, nyari alat musik yang nganggur."

Lagi-lagi, Radhi hanya bisa mengelak. Nyatanya, jika ingin memberitahu yang sebenarnya pun, rasanya sulit. Seolah ada yang menahannya. Membuat lidahnya terasa kelu.

"Yakin?"

"Seratus persen yakin!" Radhi nyengir sambil menunjukkan dua jarinya yang membentuk huruf V. "Nggak usah khawatir, Za. Kamu 'kan tahu kalau aku selalu baik-baik aja."

Afza menghela napas lelah. Pada akhirnya, ia menyerah. Afza bangkit dari bangku yang didudukinya. "Kalau ada apa-apa, cerita ke aku. Oke? Aku bakal selalu ngedengerin, kok."

"Sip, thank you!"

Tanpa bersuara lagi, Afza beranjak menuju bangkunya. Sebentar lagi, bel masuk akan berbunyi. Ia harus bersiap-siap. Sementara Radhi hanya diam di bangkunya. Senyum palsunya kembali luntur. Ia menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya perlahan.

Selalu baik-baik aja, ya? Kebohongan macam apa itu?

The Dream Catcher●

Sudah hampir satu jam Radhi berdiri di lobi sekolahnya. Suasana sudah mulai sepi. Hanya tinggal beberapa siswa yang baru pulang sehabis melaksanakan ekstrakurikuler. Ia menatap langit yang tampak mulai mendung, sambil berharap semoga sang ayah bersama kakaknya cepat datang.

Ponsel yang ada di genggaman tangan Radhi, makin ia genggam dengan erat. Sedari tadi tidak ada pesan masuk. Padahal, Radhi sudah berkali-kali mengirim pesan ke Zio dan Keigen.

Radhi mengerang pelan sesaat. Ia menyimpan ponselnya ke dalam saku celana seragamnya, lalu mulai melangkah. Sudah terlalu lama Radhi menunggu, hingga pada akhirnya ia memutuskan untuk pulang ke rumah sendiri.

"Adek!" Suara Keigen tiba-tiba saja terdengar. Radhi lantas menggelengkan kepalanya perlahan, menganggap bahwa suara barusan hanyalah halusinasinya semata. Ia tetap saja melanjutkan jalannya.

"Adek! Radhika, tunggu!"

Kali ini, Radhi berhenti berjalan. Ia membalik tubuhnya dan langsung mendapati Keigen berjalan ke arahnya. Senyum Radhi mengembang.

Tapi, senyum itu tidak berlangsung lama, ketika tiba-tiba saja, nyeri yang teramat sangat menyerang dada kirinya. Radhi lantas berhenti berjalan. Tangannya langsung terangkat dan mencengkeram dada kirinya sendiri, berusaha untuk menghilangkan rasa sakit itu. Sebelah tangannya lagi mengambil botol obat yang selalu tersedia di kantong jaketnya.

Dengan tangan yang bergetar dan bibir yang terus mengeluarkan ringisan karena nyeri yang tidak tertahankan, Radhi berusaha mengeluarkan obatnya. Tapi sayang, kesadarannya perlahan mulai menurun. Membuat Radhi seolah kehilangan kendali atas tubuhnya sendiri.

Dalam hitungan sepersekian detik, dunia Radhi pun menggelap.

The Dream Catcher●

A/n

...

The Dream CatcherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang