"Miaw."
Tubuhnya sedikit tersentak saat tiba-tiba terdengar suara kucing di ruang tersebut.
"Miaw."
Perlahan Sejeong mendekati sumber suara yang berada di belakang pintu.
"Hey...." Sejeong berjongkok pada kucing kecil yang masih terlihat mengantuk di dalam rumah kecilnya.
"Aku mengganggu tidurmu, ya? Maaf...." Tangannya mengusap lembut kepala anak kucing yang kembali tertidur.
Seraya tersenyum, pikiran Sejeong seketika kembali pada masa kecilnya. Ia ingat dulu di depan rumahnya sering ada satu anak kucing liar yang menunggu diberi makan. Ibu Sejeong punya alergi pada bulu binatang, maka dari itu dari pada Sejeong sedih melihat anak kucing yang sering diusir karena masuk rumah, akhirnya ia lebih sering memberi makan anak kucing itu di luar. Lama-lama, anak kucing itu pun lebih sering menunggu Sejeong di depan rumah. Tapi seiring berjalannya waktu, anak kucing itu hilang begitu saja, membuat Sejeong sedih.
"Dulu, waktu kecil, aku punya anak kucing, warnanya persis sepertimu."
Ah iya, Sejeong baru ingat bahwa anak kucing dihadannya itu persis sekali dengan anak kucing di masa lalunya.
"Siapa namamu?"
Kedua sudut bibir perempuan itu pun terangkat meski sang kucing tidak memberi respon sedikit pun padanya.
Tak lama, anak kucing itu pun kembali menggeliat dan membuka matanya. Seperti sedang mengumpulkan seluruh kesadarannya, anak kucing itu terlihat berulang kali mengedipkan matanya, menggemaskan.
Perlahan sang anak kucing menghampiri Sejeong dan duduk di pangkuan perempuan itu seolah sudah kenal dekat dengannya.
"Lapar, hmm?"
Sejeong mengedarkan pandangannya di sekitar kamar, mencari makanan kucing. Ia yakin, Daniel pasti memilikinya.
Sedikit menunduk, ia pun mendapatkan bungkus makanan kucing di bawah meja. Tanpa menggunakan wadah, Sejeong menggunakan telapak tangannya langsung untuk memberi anak kucing itu makan.
"Makan yang banyak."
Masih asik memberi makan anak kucing, Sejeong mendongakkan kepalanya saat seseorang berdiri di ambang pintu yang belum tertutup.
"Kangen ya sama Jjang?" tanya laki-laki yang baru saja berjongkok di depannya, ikut mengusap kepala anak kucing seraya tersenyum memamerkan gigi kelincinya. Tidak ia sadari bahwa Sejeong kini tengah mengernyit heran menatapnya.
"Kamu kasih dia nama Jjang?"
Laki-laki itu terkekeh. "Selain lupa denganku, kamu juga lupa ya sama Jjang."
Sejeong sama sekali tak merespon, ia masih tidak mengerti. Namun Daniel seolah paham maksud dari raut wajah Sejeong pun akhirnya memutuskan untuk bercerita awal mula kucing tersebut ada di sana.
"Dulu awal-awal menikah, kita menemukan dia di pinggir jalan. Dan kamu bilang ingin merawatnya. Tapi kamu takut kalau Ibu ke rumah dan mengusirnya. Akhirnya kita bawa dia ke sini dan kita merawatnya bersama di sini. Saat itu, kamu memberinya nama Jjang."
Kepala Sejeong mendadak pening. Ia ingat sekali bahwa anak kucing yang dulu ia sayangi pun memiliki nama Jjang. Tapi ia sama sekali tidak ingat bagaimana kucing itu bisa berada di sana.
"Padahal, aku punya empat kucing di rumah Mama yang bisa kamu bawa kemari, tapi kamu maunya rawat kucing ini," lanjut Daniel.
"Kamu pelihara kucing?"
Daniel mengangguk. "Kucing-kucing di rumah juga dulunya kucing liar. Sebelum ada Jjang, kamu selalu ke rumah Mama cuma buat main sama mereka."
Jika tadi pagi Sejeong menganggap cerita Daniel tentang keduanya itu terdengar drama dan mengada-ada, tapi kali ini perempuan itu justru merasa tidak asing dengan cerita Daniel, meski sebenarnya ia cukup terkejut dengan cerita itu.
"Daniel, aku pulang dulu!"
Buru-buru Sejeong memindahkan anak kucing bernama Jjang itu dari pangkuannya, makanan yang ada di tangannya pun ia pindahkan dalam wadah.
"Aku antar." Daniel menggenggam pergelangan tangan Sejeong saat perempuan itu baru saja berdiri dari duduknya.
"Tidak perlu. Kamu pasti lagi sibuk."
Tanpa memedulikan Daniel yang akan khawatir padanya, Sejeong segera turun, berlari keluar restoran dan menghentikan taksi yang lewat.
Masih dengan gerak terburu-buru dan napas yang masih belum stabil, sesampainya di rumah, ia segera mengobrak-abrik salah satu lemari buku yang ada di belakang kursi kerjanya.
Sejeong ingat, di bawah lemari buku itu terdapat tumpukan buku diary yang selalu ia tulis setiap harinya tanpa terlewat. Sudah menjadi kebiasaannya sejak sekolah dasar, ia menuliskan semua yang ia rasakan setiap harinya. Maka tak heran, jika Sejeong dewasa sangat menyukai profesinya.
Sambil mencari tulisan-tulisan lamanya, pikiran Sejeong terus berkecamuk, mencari benang merah antara semua cerita Daniel, halusinasinya, dengan masa lalunya.
Setelah beberapa menit mencari, Sejeong menemukan sebuah tulisan tentang curahan hatinya di masa sekolah menengah pertama yang menurutnya cukup berkesinambungan dengan halusinasinya saat ini.
Sudah seminggu Jjang pergi, aku kangen.
Kamu kemana? Kamu pasti pulang lagi kan? Aku tidak ada teman sekarang
Hari ini aku masuk SMP, tapi aku takut. Aku sendirian, tidak ada teman. Coba kalau ada Jjang, pulang sekolah aku pasti senang, langsung main sama Jjang. Tapi sekarang, Jjang tidak ada, Ibu juga sedang bekerja, aku sendirian
Saat dewasa nanti, aku harus bekerja dan punya uang sendiri, supaya punya rumah sendiri, bisa rawat kucing sendiri
Atau kalau boleh, aku mau punya suami yang suka sama kucing, hehe...Sejeong menutup matanya seraya menghela napas beratnya setelah membaca selembar curahan hatinya semasa remaja. Keinginannya dulu yang sebatas hanya candaan, sekarang hadir bersama halusinasinya.
Apa dunia benar-benar sedang mempermainkannya? Ugh... untuk kesekian kalinya Sejeong memohon untuk menghentikan semua lelucon di hidupnya ini. Tolong.
AUTHOR
heavenable | 2019

KAMU SEDANG MEMBACA
AUTHOR ; ksj-kdn
أدب الهواةBagi seorang penulis, berhalusinasi itu hal yang biasa 'kan?