Selesai menyalakan ponselnya, yang Sejeong lakukan bukan kembali ke kamar dan melanjutkan apa yang menjadi niatnya sebelumnya. Kini perempuan itu justru duduk di kursi kerjanya dan tengah serius di depan layar komputernya.
Sejeong yang mulanya penasaran atas foto-foto bahagianya dengan Daniel itu pun akhirnya menemukan sesuatu yang sebelumnya tak pernah ia rasa. Ya, sebuah folder kenangannya dengan Daniel.
Namun membuka folder itu justru membuat Sejeong semakin kebingungan. Ia merasa tidak pernah mengalami hal-hal yang tersimpan dalam foto tersebut.
"Satu tahun yang lalu," gumam Sejeong melihat keterangan dalam slide foto terakhir dirinya dengan Daniel.
"Bahkan satu tahun yang lalu, kami sudah sedekat ini. Bagaimana aku bisa mengenalnya dan kemudian menikah?"
Sejeong menghela napasnya. Melihat bukti-bukti seperti ini saja sudah sedikit melunturkan tuduhan Sejeong bahwa lelaki itu penipu yang ingin mencuri semua hartanya.
Ah, bodoh. Lagipula apa yang bisa diambil dari Sejeong? Meski sudah melahirkan empat novel teenlit best seller, tapi kekayaan Sejeong belum cukup jika harus dibandingkan dengan perempuan sosialita yang mungkin lebih menggiurkan untuk dijadikan korban penipuan dan pencurian.
"Banyak sekali fotonya. Apa aku begitu meyukainya?" gumamnya kembali saat mendapati foto-foto Daniel yang tengah sendiri.
"Dia chef?" Beberapa foto menunjukkan laki-laki yang menurutnya asing itu tengah sibuk di belakang pantry dengan seragam putih dan apronnya.
"Tunggu. Kalau aku sudah menikah dengannya, keluarga dan teman-temanku pasti tahu."
Sejeong meraih ponselnya. Tangannya bergerak di atas layar tersebut mencari kontak sang ibu.
"Ah, masih jam 2 pagi."
Belum sempat ia menyentuh tanda hijau, Sejeong baru sadar bahwa ini bukan waktu yang tepat untuk menghubungi ibunya.
Sejeong pun kembali mengalihkan pandangannya pada layar komputer, mencari kemungkinan adanya folder asing yang lain.
Dan ia menemukannya. Folder bernama 'wedding' itu pun menjawab semua pertanyaannya.
Resepsi pernikahan yang cukup mewah itu ternyata dihadiri oleh orang-orang yang ia kenal. Dan ibu Sejeong tentunya ada di sisi Daniel dengan gaun yang cantik. Bahkan ada beberapa foto menunjukkan Sejeong tengah memeluk perempuan paruh baya yang tak ia kenal —yang menurut Sejeong mungkin ibunya Daniel, dan Daniel memeluk ibu Sejeong.
"Apa dia ibunya Daniel?"
Ah, sudah cukup. Sejeong langsung menutup semua folder asing itu di komputernya.
"Kenapa di sini posisinya seperti aku yang hilang ingatan?" Sejeong mengusap wajahnya, frustasi.
"Ah! Sebaiknya aku tidur."
.
Perlahan Sejeong membuka matanya. Rasanya, ia sudah cukup kenyang menghabiskan waktu tidurnya. Ia menghela napasnya. Kamarnya masih seperti semalam, kamar kecil yang sempit dan juga double bed yang menjadi tempat tidurnya.
Bahkan tubuhnya tiba-tiba meremang saat mengingat bagaimana dirinya bisa diam saja ketika semalam laki-laki asing itu berlutut dan mencium keningnya sebelum meninggalkan kamar Sejeong.
Sejeong pikir, dengan semalam ia tidur, kamarnya akan kembali menjadi kamar pribadinya seperti semula dan menyadarkan dirinya bahwa semua itu hanya halusinasi atau mimpinya saja.
Ia pun menyerah dan keluar dari kamar setelah sedikit meregangkan tubuhnya, berniat untuk mencuci muka dan sarapan.
Namun, sebelum sampai di kamar mandi, Sejeong dikejutkan oleh laki-laki yang semalam mengatakan ingin membiarkannya sendiri itu tengah menata meja makan minimalis miliknya.
"Selamat pagi. Apa tidurmu nyenyak?"
Sejenak, Sejeong berhasil dibuat terpana oleh senyum laki-laki itu.
"Ah, maaf. Aku hanya tidak ingin melewatkan sarapanmu. Jadi aku, datang dan memasak sarapan untukmu."
Sejeong mematung. Apa masih pantas Sejeong menyebut Daniel sebagai penipu di saat laki-laki berbahu lebar itu terdengar tulus memberinya perhatian.
"Aku janji, setelah kita sarapan bersama, aku keluar lagi. Sepertinya waktu menyendirimu semalam tadi belum cukup."
Sejeong masih tak menjawab dan tak bergerak dari tempatnya.
"Ah, atau apa kau juga ingin sarapan sendiri? Aku bisa langsung pergi setelah ini."
"Tidak. Tidak perlu," jawab Sejeong sambil melangkahkan kakinya ke kamar mandi. "Tetaplah di sini."
.
Sarapan kali itu terasa canggung bagi keduanya, karena ini pertama kalinya bagi Sejeong, tetapi tidak bagi Daniel yang sekarang terlihat tidak nyaman dengan suasana yang tidak biasa.
"Seperti apa kita saat sarapan atau makan bersama?" Sejeong memberanikan diri untuk menghilangkan rasa canggungnya saat menyadari Daniel yang merasa tidak nyaman.
"Maaf, aku masih belum bisa mengingatnya," lanjut Sejeong yang langsung dibalas oleh rutukan dalam hatinya sendiri. Bodoh Kim Sejeong, kenapa jadi seperti membenarkan dirimu hilang ingatan?
Bisa Sejeong dengar helaan napas berat dari pria yang duduk di hadapannya.
"Lalu aku harus apa? Aku tidak bisa melihatmu seperti ini terus. Bahkan kamu melepas cincinmu."
Sejeong langsung melirik jarinya sendiri. Astaga, Sejeong lupa semalam dia sempat melepas cincin sebelum tidur.
"Maaf."
Tunggu. Kenapa Sejeong jadi merasa bersalah? Jika memang Sejeong masih merasa ini halusinasi, bukankah tidak ada salahnya jika ia tidak memakai cincin itu? Argh, sampai kapan Sejeong harus seperti ini?
"Aku tidak tahu apa yang sudah terjadi denganmu. Aku juga tidak yakin dengan solusi ini. Tapi, apa kamu mau konsultasi dengan psikolog?"
"Tidak," tolak Sejeong dengan tegas. Bukan apa-apa, Sejeong hanya tidak ingin mendengar bahwa dirinya memang hilang ingatan.
"Cukup kamu yang membantuku."
Daniel mengangkat kedua alisnya, meminta penjelasan lebih atas ucapan Sejeong.
"Aku mau kamu yang menceritakan semuanya. Tentang hubungan kita, dari pertama kita saling mengenal."
Setelah semalam Sejeong sempat merenung sebelum tidur, akhirnya Sejeong memutuskan untuk membuktikannya sendiri bahwa semua yang terjadi saat ini hanyalah halusinasi.
"Ku pikir konsultasi pada psikolog pun aku tetap akan membutuhkanmu. Jadi untuk apa menghabiskan uang untuk konsultasi? Psikolog itu tidak memberi jaminan obat untuk sembuh seperti dokter lainnya kan?"
Daniel tersenyum mendengar penjelasan Sejeong. "Itu artinya kamu mempercayaiku?"
"Tidak juga," jawab Sejeong yang kemudian kembali menghabiskan sarapannya.
"Baiklah. Seperti janjiku di hadapan pastur, aku akan selalu ada di sisimu, menjaga, dan merawatmu dalam kondisi apapun. Karena aku menyayangimu dengan tulus, Kang Sejeong."
AUTHOR
heavenable | 2019

KAMU SEDANG MEMBACA
AUTHOR ; ksj-kdn
Hayran KurguBagi seorang penulis, berhalusinasi itu hal yang biasa 'kan?