5

243 36 3
                                    




Hari ini di luar panas sekali, pulang sekolah aku lapar tapi di rumah tidak ada makanan, ibu masih belum pulang. Aku jadi ingin punya ayah seperti teman-teman yang lain. Ayahnya bekerja dan ibunya menunggu di rumah sambil memasak makan siang. Tapi aku tidak punya ayah, ibu jadi harus bekerja keras.

Sejeong menghela napasnya setelah kembali membaca lembaran yang lain dari catatan hariannya. Ia kembali mengenang bagaimana masa kecilnya, masa remajanya tanpa sang ayah sampai dia sudah seperti ini. Perempuan itu bahkan tidak pernah tahu bagaimana rasanya mendapat kasih sayang dari seorang ayah.

Terlanjur menyenangkan, Sejeong meneruskan membaca buku diary-nya. Sesekali tersenyum dan terkekeh atas kenangan lucunya semasa SMA.

Siapa bilang kalau laki-laki tidak bisa memasak? Di depan sekolah ada truk penjual makanan, penjualnya laki-laki. Dia terlihat keren saat memasak. Aku suka melihatnya. Mau tidak mau aku harus membeli makanannya. Ah, aku jadi ingin punya pacar atau suami yang jago masak, hehee

Kedua kalinya Sejeong menemukan suatu kebetulan, keinginannya di masa lalu yang sebatas candaan kini jelas ada di hadapannya. Laki-laki penyuka kucing yang hebat dalam memasak, sudah menjadi tipe yang tepat untuk Sejeong. Jadi, bukankah seharusnya sekarang ia bahagia Daniel menjadi suaminya?

Perempuan itu mengadah seraya memajamkan matanya. Benar, seharusnya Sejeong bahagia saat ini, bukan justru mencari tahu tentang semua keanehannya. Sejeong harusnya menikmatinya.

Namun di sisi lain, Sejeong cukup khawatir. Dia takut jika saat ia menikmati semua kebahagiaannya itu justru semuanya lenyap begitu saja, ilusi semata.

Ia kemudian beranjak dari tempat duduknya, mendudukkan tubuhnya di kursi kerjanya seperti biasa. Mengingat dulu ia menuliskan apapun yang terjadi setiap harinya, Sejeong pun memutuskan untuk menuliskan semuanya di komputer kerjanya.


.



Terhitung sudah hampir dua jam Sejeong duduk di depan komputer, menyelesaikan tulisannya. Menulis caratan harian lebih tepatnya.

Ponselnya berdering tepat saat ia meregangkan tangannya ke atas. Keningnya mengernyit menatap layar ponselnya. "Niel?"

Asing baginya, ia merasa tidak pernah menyimpan kontak dengan nama itu.

"Ah, apa ini nomor Daniel?" gumamnya sebelum ia menggeser tanda hijau di layar ponselnya.

"Halo,"

"Lagi di mana?"

"Di rumah. Kenapa?"

"Oh, aku pikir kamu lagi di luar. Tadinya mau dijemput."

"Pekerjaanmu sudah selesai."

"Sudah. Mau titip sesuatu."

Sejeong menggeleng. "Tidak ada. Pulanglah cepat, aku lapar."

Bisa Sejeong dengar di seberang sana Daniel tengah terkekeh. "Baiklah, aku pulang sekarang."

"Hati-hati. Jangan terburu-buru."

"Tapi tunggu, mau makan apa? Aku belanja dulu."

"Tidak perlu, masak apa saja yang ada di rumah. Apapun akan aku makan, asal kamu yang masak."

Lagi-lagi Daniel terkekeh. "Ya sudah, aku tutup ya, ini sudah di mobil."

"Hm, hati-hati...."

Sejeong menelungkupkan wajahnya di meja setelah panggilannya tertutup. Rasa-rasanya dia malu dengan apa yang baru saja ia ucapkan pada Daniel. Seolah-olah Sejeong ingin cepat Daniel pulang, ingin cepat bertemu Daniel. Merindukannya? Ugh, itu menggelikan bagi Sejeong.



AUTHOR ; ksj-kdnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang