6

251 33 35
                                    


Sua menatap malas pada seseorang yang ada di depannya. Dia hanya diam dan mendengarkan orang di depannya yang sedang bercerita. Jika bukan karena orang tua nya mungkin Sua lebih memilih untuk pergi dari tempat ini.

"Sua-ssi kau mendengarkanku?" Orang yang ada di depannya ini bertanya.

"Oh, ne. Aku mendengarkanmu." Sua sedikit kaget mengetahui bahwa pria di depannya ini tahu jika dirinya mulai bosan.

"Kukira kau mulai bosan dengan obrolanku." Pria di depannya itu tersenyum namun Sua hanya menanggapi biasa. Tidak seperti para gadis yang mungkin akan terpikat dengan senyum manisnya.

"Hmm ya, aku bosan." Sua dengan cuek meminum jusnya.

"Aku berpikir mungkin saat ini kau tidak tertarik padaku Sua-ssi. Apa kau sudah mempunyai orang yang kau sukai?"

Sua terdiam membuat pria di depannya ini mengangguk paham. Pria itu kembali tersenyum.

"Pria itu beruntung bisa memiliki hatimu Sua-ssi."

"Dia bukan pria. Kukatakan saja bahwa aku tidak tertarik pada seorang pria." Sua melipat tangan di depan dadanya.

Pria itu cukup terkejut mendengar pengakuan jujur Sua. Yah hal semacam ini tentu saja hal yang tabu. Pria itu terbatuk entah untuk menghilangkan rasa terkejutnya atau bagaimana sementara Sua masih menatapnya datar.

"Oh wow kau begitu keren Sua-ssi. Baru kali ini aku menemukan gadis yang menarik seperti mu." Pria itu kembali tersenyum.

"Khamsahamnida. Kuanggap itu sebuah pujian. Jadi dari sini kau tahu kan bahwa aku tidak tertarik denganmu." Sua tersenyum namun bukan senyum manis. Senyum penuh ancaman yang sanggup membuat pria itu menelan ludahnya.

"Ah ne. Aku memahami apa maksudmu."

Sua tersenyum puas. Lagi-lagi dia menolak pria yang dijodohkan dengannya. Entah sudah keberapa kali orang tuanya bersikukuh menjodohkan Sua dengan putra koleganya. Namun Sua selalu menolak karena perasaannya hanya terkunci untuk Jiu.

Sua selalu mempunyai keberanian penuh untuk mengatakan bahwa dia tidak tertarik dengan pria. Tentu saja banyak tanggapan yang diterimanya. Tapi Sua tak peduli. Jika itu bisa membuat Jiu kembali padanya, ratusan pria akan dia tolak mentah-mentah.

*****

Setelah sekian lama mengurung diri di kamar, Siyeon memutuskan untuk keluar. Dia berharap tidak akan bertemu dengan appanya. Dia sedang dalam mood tidak baik untuk ribut saat ini.

"Siyeon ahgassi, kau mau ke mana?" tanya seorang ahjumma yang langsung menyambutnya ketika Siyeon menuruni tangga.

"Aku akan keluar sebentar. Sepertinya otakku kacau." Siyeon menjawab sambil menggunakan jaket tebalnya.

"Tuan Lee sudah pergi tadi. Jangan pulang terlalu malam ahgassi." Ahjumma itu tampak memahami keadaan Siyeon. Siyeon mengangguk.

"Aku hanya ke warnet sebelah ahjumma. Kupastikan aku tidak pulang larut." Siyeon bergegas pergi meninggalkan ahjumma yang sudah merawatnya bertahun-tahun.

"Hati-hati ahgassi."

Siyeon membuka pintu gerbangnya. Angin malam berhembus cukup kencang. Siyeon bersyukur kali ini dia membawa jaketnya. Perlahan dia melangkah menapaki jalanan yang cukup sepi.

Sebetulnya dia bingung harus ke mana. Biasanya di saat moodnya kacau seperti ini, dia akan mengajak Sua. Gadis itu tahu banyak tempat menarik karena sering berkencan dengan Jiu. Siyeon juga cukup terkejut ketika mengetahui bahwa ternyata Jiu adalah tipe yang romantis.

Orang yang paling menyayangkan putusnya hubungan Sua dan Jiu adalah dirinya tanpa Sua tahu. Siyeon masih ingat betapa bahagia sepupunya ketika mereka masih bersama. Senyum lebar tak pernah lepas dari wajah kecilnya. Meskipun Siyeon selalu mengatakan Sua harus melupakan Jiu, tapi dia tahu itu adalah hal tersulit untuk Sua.

Jiu adalah dunia Sua. Sejak mereka berpacaran, Sua sangat jarang bersedih karena keluarganya. Siyeon sudah banyak mendengar curhatan sepupunya di mana dia selalu diperlakukan berbeda dengan oppanya dan selalu dituntut untuk sempurna. Jiu selalu hadir dan menghibur Sua ketika sedih. Namun di saat bersamaan, Sua juga tidak melupakan dirinya.

Sebuah kafe menarik perhatian Siyeon. Tanpa ragu gadis itu memasuki kafe yang pertama dia jumpai.

Mungkin kafe baru, pikir Siyeon.

Siyeon baru saja duduk ketika ekor matanya melihat sosok yang dia kenal. Dia sendirian. Siyeon memutuskan untuk pindah dan bergabung dengan orang itu.

"Annyeong puppy." Siyeon menyapa kemudian duduk di depan orang itu.

Orang itu tentu saja terkejut namun Siyeon hanya melihat kebingungan gadis itu tanpa berkomentar apapun.

"Kau mengikutiku?" tanya orang itu, Yoohyeon dengan nada tak percaya.

"Untuk apa? Rumahku tidak jauh dari sini. Aku sedang dalam mood tidak baik dan aku melihat ada kafe ini dan mencoba masuk."

Yoohyeon menatap tak percaya. Dia ke kafe ini untuk mencari inspirasi untuk puisinya. Beberapa hari ini Yoohyeon memang kesulitan menulis puisi entah karena apa. Dan sekarang ...

"Apa kau ke kafe ini untuk menenangkan diri?"

"Eh?"

Siyeon menunjuk kertas dan laptop yang ada di depan Yoohyeon saat ini "Atau bisa kubilang kau sedang mengerjakan tugas?"

"Aku hanya mengerjakan hobiku."

"Oh hobi? Baiklah, aku tidak berniat mengganggumu. Lakukan saja sesukamu."

Yoohyeon terkejut ketika gadis itu memang benar-benar tidak mengganggunya. Siyeon sibuk memilih daftar menu, memanggil waiter dan kemudian sibuk dengan ponselnya. Entah kenapa Yoohyeon merasa ada yang salah dengan Siyeon saat ini.

"Oh ya, besok kau harus menemaniku di kantin. Kau masih ingat bukan?"

"Aku berhak menolak di sini. Aku tidak ingin melakukannya!" Yoohyeon langsung menyesal saat itu juga karena mengkhawatirkan Siyeon. Gadis itu tetap seperti biasanya.

"Jika kau menurut, kau tidak akan ada dalam masalah puppy." Siyeon menjawab dengan santai.

"Kenapa kau selalu memanggilku puppy? Kita bahkan tidak saling mengenal dan kau seenaknya memanggilku puppy?"

"Apa kau tidak sadar? Ekspresi mu itu mengingatkanku pada puppy entah ketika kau marah kesal dan mungkin juga yang lain. Anggap saja itu hadiah dariku."

"Hadiah? Astaga!"

Siyeon diam-diam tersenyum tanpa disadari oleh Yoohyeon karena gadis itu sedang mengomel. Sedetik kemudian dia tersadar dan memasang wajah datarnya.

"Kenapa kau selalu menggangguku? Aku merasa tidak pernah mempunyai salah denganmu, sunbaenim."

Siyeon sedikit terkejut ketika gadis tinggi itu memanggilnya sunbaenim. Walaupun dirinya mengakui bahwa dia adalah sunbae Yoohyeon, namun dia terbiasa dipanggil Siyeon meski di awal dia merasa jengkel karena Yoohyeon tidak memanggilnya sunbae.

"Oh wow, kau bahkan memanggilku sunbae setelah sekian lama kau selalu memanggilku Siyeon atau nama lengkapku." Siyeon berkomentar.

Yoohyeon terdiam sejenak dan tak lama kemudian Yoohyeon berkata dengan nada lirih.

"Aku minta maaf sunbaenim."

"Baiklah, aku tidak ingin ribut sekarang. Aku ingin menenangkan otakku." Siyeon meminum latte mintnya. Di saat seperti ini mint selalu membuat mood Siyeon membaik.

Yoohyeon memilih mengalah. Lagipula sedari tadi Yoohyeon juga menyadari bahwa Siyeon sedikit berbeda malam ini. Walaupun Siyeon berusaha untuk terlihat tidak ada apa-apa, namun gadis itu tetap terlihat sedang ada masalah di mata Yoohyeon.

Yah seandainya kau bisa lebih baik padaku, mungkin aku tidak keberatan untuk berteman denganmu, batin Yoohyeon dalam hati.

to be continue ...








Maafkan lama ga update
Authornya lagi mager mode on tingkat parah ini 🙃🙃

AttentionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang