Thirty Nine

45.8K 3.1K 322
                                    

Setelah memberikan sampel untuk tes DNA, Rio memutuskan untuk langsung ke ruangannya karena jam kerjanya akan dimulai sepuluh menit lagi. Ia tahu jika tes DNA membutuhkan biaya yang tak sedikit dan waktu yang sedikit lama tapi ia yakin jika Alina adalah puterinya.

Ia sampai mengancam orang yang bekerja di laboratorium untuk tutup mulut agar tidak ada yang tahu. Ia takut jika hal ini akan menjadi bahan buah bibir di rumah sakit ini dan menimbulkan gosip yang tidak benar.

Baru saja ia bisa bernapas lega, malah sekarang orang yang selalu membuatnya bertambah sakit kepala masuk ke dalam ruangannya dengan senyuman manis yang begitu ia benci. Rio mengalihkan pandangannya tak ingin melihatnya.

"Hai" sapa Gina seraya duduk di kursi yang diperuntukkan untuk pasien. Gina yang tak mendapat respon dari Rio berusaha menarik perhatiannya dengan meletakkan tas bekal di atas meja.

"Aku bawain kamu bekal untuk makan siang ntar. Aku masak sendiri loh" jelas Gina dengan nada antusiasnya.

Rio mengarahkan pandangannya menatap Gina dengan tatapan datarnya. Ia melihat penampilan casual Gina dengan rambut yang tergerai indah. Gina merupakan salah satu model populer di Indonesia dan banyak lelaki yang menggilai kecantikannya kecuali dirinya.

"Kamu yakin itu masakanmu sendiri?" tanya Rio sedikit menyindir. Ia tahu jika Gina tidak bisa memasak, bahkan masuk ke dapur saja ia selalu menolak.

"Ah tidak, ini aku masak sendiri" elak Gina dengan nada meyakinkannya.

Rio menatap tas bekal itu lalu mengalihkan pandangannya ke arah Gina kembali, "Sekarang aku masih sibuk, kalau mau, nanti kita makan bersama di kantin" ajak Rio membuat Gina menatapnya dengan mata berbinar.

"Kamu mau makan siang denganku?" tanya Gina meyakinkan dan diangguki oleh Rio.

"Oke, tapi di restoran depan. Jangan di kantin!" pinta Gina dengan nada senangnya. Rio menganggukkan kepalanya menyanggupi permintaan Gina.

Gina beranjak dari duduknya lalu menghampiri Rio dengan melebarkan tangannya, siap akan memeluk Rio dan langsung Rio hindari membuat Gina mengerucutkan bibirnya kesal tapi setelah itu tersenyum kembali seraya menurunkan tangannya.

"Aku nanti ke sini lagi setelah pemotretan. Bye" pamit Gina seraya tersenyum manis dan hanya diangguki oleh Rio. Untung saja semua anak koas sedang keluar menjalankan tugas darinya kalau tidak, ia bisa malu setengah mati.

-------------------

Pagi ini, Vania mendatangi kantor Vino untuk memberitahukan jika dia sudah bisa berjalan walau masih harus pakai tongkat sebagai penyangga. Rumah sakit tempat ia terapi lumayan dekat dari kantor Vino, jadi, ia memutuskan setelah terapi datang ke sini sendirian.

Mama Vino dan Alina memilih bersantai dan menghabiskan waktu bersama di rumah. Walau tadi Mama Vino ingin mengantarkannya terapi, tapi ia menolak karena ingin pergi sendiri dan juga tak ingin merepotkan lagi.

Vania menatap gedung perkantoran di depannya dengan tatapan kagum. Jujur saja, ia baru kali ini mau datang ke sini. Vania memegang kruknya kuat lalu melangkahkan kakinya ke arah lobi kantor.

Setelah bertanya, ia langsung diarahkan ke arah ruangan Vino berada. Vania berdehem pelan sebelum ia mengetuk pintu pintu ruangan Vino.

Tok.....Tok......Tok

Vania mengernyitkan dahinya tak mendengar jawaban dari dalam. Ia mengetuk kembali tapi tetap saja tak ada jawaban.

"Ini bener kan?" gumam Vania mencoba mengingat arahan resepsionis tadi.

Ia mengedarkan pandangannya mencari orang yang bisa ia tanyai tapi tak ada orang sama sekali. Dengan terpaksa, ia membuka pintu ruangan secara perlahan untuk memastikan tapi yang ia temui hanyalah kekosongan. Tak ada Vino di ruangan ini.

OUR LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang