Forty Seven

42.1K 2.6K 114
                                    

Vino menatap tajam orang yang baru memasuki ruangannya di saat dia sedang berdiskusi dengan Arham. Walau seperti itu, ia mempersilahkannya duduk tapi dengan wajah datarnya.

"Untuk apa lo ke sini?" ketus Vino menatap Rio begitu juga dengan Arham.

"Kurang yang kemaren, hem?" tantang Arham.

"Gue ke sini mau minta izin mau ajak Vania" ucap Rio tak memikirkan perkataan Vino dan Arham.

"Gue kan udah bilang sama lo, jauhi Vania!" tekan Vino menatap tajam ke arah Rio.

Rio menghela napas dalam, "Gue cuma izin ngajak anak dan istri gue jalan, emang salah?" tantang Rio.

Arham tersenyum remeh mendengar perkataan orang yang duduk di sampingnya, "Gue nggak salah denger kan?" sindir Arham membuat Rio mengepalkan tangannya berusaha menahan amarahnya. Ia tahu jika ini takkan mudah.

"Yakin bener lo kalo Alina adalah anak lo" ketus Vino membuat Rio menatapnya tajam.

"Karena dia emang anak gue. Darah daging gue" tekan Rio tanpa ada rasa gentar.

Vino terkekeh pelan lalu menatap Rio remeh, "Terus kemana aja lo waktu Vania diusir orangtuanya? Di mana lo saat Vania cari lo? Di mana lo di saat Vania butuh? Dan di mana lo saat Vania hampir meregang nyawa? Hah! Di mana?!" bentak Vino mempertanyakan segalanya sampai ia menatap Rio dengan penuh amarah. Ia saja masih teringat bagaimana kesulitan hidup Vania tiga tahun terakhir.

Vino beranjak dari duduknya dan keluar dari ruangannya. Ia sudah tak bisa menahan amarahnya kembali untuk tidak membunuh orang yang ada di hadapannya.

Napas Rio tercekat mendengar perkataan Vino, "Merenggang nyawa?" ulang Rio menatap bingung ke arah Vino.

Arham terkekeh pelan menatap wajah bingung Rio, "Kalo lo emang yakin peduli sama Vania, nggak mungkin lo nggak tahu" sindir Arham.

"Di saat Vania hamil delapan bulan, seseorang yang menyebabkan hubungan lo sama Vania hancur datang ke rumah Vino di saat rumah hanya ada Vania. Dia membuat Vania terjatuh dari tangga dan itu yang membuat Alina terlahir prematur. Bukan itu saja, sebelum Vania jatuh, dia menembak Vania tepat di dada kirinya" jelas Arham mengingat segalanya seraya menundukkan wajahnya. Ia sebenarnya tidak berdaya mengingat hal ini kembali.

Rio menatap Arham tak percaya. Ia tak tahu jika Marco bisa senekat ini. Ia kira dengan mencoret nama Marco dari anak bimbingnya akan membuatnya sadar.

"Di saat gue dateng ke rumah sakit, dokter bilang kalau akan sulit nyelamatin Vania karena pelurunya begitu dekat dengan jantungnya. Rasanya semua orang sudah pasrah atas kehendak-Nya" jelas Arham sembari tetap menundukkan kepalanya.

"Di saat gue pasrah tentang keadaan Vania, gue lihat bayi yang begitu kecil yang ada di dalam inkubator. Ia begitu merah dengan kulit yang begitu tipis. Gue nggak tega ia tumbuh tanpa ibunya"

"Gue memberanikan diri menyutujui operasi itu walau konsekuensinya begitu besar. Bisa saja Vania tak selamat di meja operasi tapi gue harus lakuin itu demi Alina. Akhirnya Vania koma dan gue langsung bawa dia ke Singapura" lanjut Arham seraya memejamkan matanya.

Rio yang mendengarkannya hanya bisa menundukkan kepalanya bersalah. Ia tak tahu jika kehidupan Vania seperti itu dan juga Alina.

"Jadi gue mohon, jauhin Vania jika lo ingin menyakitinya lagi. Gue takkan biarin itu" tekan Arham seraya menyatukan kedua tangannya memohon.

Rio berjalan gontai ke arah mobilnya. Ia tak tahu harus bagaimana lagi. Ia bimbang atas apa yang akan ia lakukan.

"Jika nyawa yang diperlukan untuk melindungimu, aku siap, Van" gumam Rio seraya memejamkan matanya.

OUR LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang