Sebelum kami berempat pulang, teringat kisah Kak Yoga dan Kak Amel dari Bu Erna sebelum pulang. Dan semakin kami tahu kejadiannya.
"Beginilah, Nak. Ibu sebenarnya mau semua anak bisa bertanding. Bukan perwakilan-perwakilan. Izinkanlah mereka semua tes dan menampilkan kemampuannya. Lulus atau tidak, setidaknya mereka telah mencoba. Kalau perwakilan, inilah terbaik dari yang terbaik. Harus ada orang yang pegang kalian..." kata Bu Erna.
Sedikit mengulas kejadian, lebih tepatnya peristiwa Kak Yoga dan Kak Amel seleksi menuju seleksi Nasional sama seperti yang akan kami hadapi ini. Istilahnya bertarung antar sekolah di Kota. Untuk mencari sepasang yang terbaik dan lanjut ke provinsi untuk mencari yang paling terbaik dan dikirimlah ke Nasional.
Kak Amel dan Kak Yoga. Pengalaman mereka tidak bisa kuulas serinci apapun. Tapi, semoga cerita ini bisa membantuku, kami berempat, atau kalian.
Bu Erna sempat bercerita, juga cerita-cerita yang akhirnya terdengar.
Kata "Murni", tidak seperti kedengarannya disini. Bukan soal uang, tapi siapa orang yang paling penting. Tapi, sebelum orang penting itu diutamakan. Calon Paskibraka memang harus kuat mental fisik. Pecuma bukan ada orang penting tapi kalau capaska tidak memenuhi kriteria.
Kak Yoga dan Kak Amel, mengikuti satu persatu tes dengan baik, lulus dengan baik, tes wawancara pun begitu.
Tapi, takdir berkata lain, mereka tidak masuk Nasional. Entah apa penyebabnya mereka jatuh diseleksi apa. Kalau soal postur badan? Maaf saja mereka masih juara.
Lebih terdengar kak Amel saat itu, bolak-balik ruangan tes untuk menentukan siapa yang maju.
Tapi, keberuntungan sedang tidak berpihak di sekolah kami. Kak Amel pada akhirnya jatuh juga.Tapi, kesempatan bisa datang kapan saja. Dua atau tiga kali.
Ini soal dirimu, mau menerima kesempatan itu dengan semangat atau menolak seakan sudah tidak ada harapan.Dan hasilnya, Kak Amel sebagai purna paskibraka tingkat provinsi dan Kak Yoga sebagai purna paskibraka tingkat Kota.
Kami berempat terenyuh mendengar kisah ini, sebenarnya ada empat orang yang mengikut seleksi. Sama seperti kami. Hanya saja ku hanya tau mereka berdua.
Empat-empatnya lolos hingga seleksi terakhir mereka langsung jatuh semua. Karena hal itu, Bu Erna yang kulihat tegar. Diceritakan, beliau menangis.
Bagaimana tidak sakit hati?
Tapi, sudahlah. Hal ini sudah sangat membanggakan. Mereka tidak mengecewakan.
Dari cerita itu kami berempat sadar, ada seseorang dan sebuah yang harus kami banggakan dan kami harumkan namanya.
Bu Erna juga Sekolah kami tercinta.