Menerima

547 13 0
                                    

Aroma makanan mencumbu penciuman, menerbitkan air liur, membuatku beberapa kali menelan ludah. Mas Fajar pulang dengan membawa banyak makanan. Lelaki yang sangat menyayangiku itu benar-benar ingin menghibur istrinya. Makanan kesukaanku--makanan berbumbu kacang--sudah pasti ada di  meja, ada sate, pecel, juga batagor. Martabak, makanan kesukaan Mama juga ada. Belum lagi beberapa jenis buah-buahkan segar terlihat begitu menggiurkan.

"Wah, banyak sekali, Mas! Wangi. Aku jadi lapar." Kutarik napas dalam-dalam menghirup aroma masakan.

Mas Fajar tersenyum manis, "kalau begitu, ayo dimakan," ajaknya.

"Martabaknya enak. Kamu tahu saja makanan kesukaan Mama," puji Mama setelah mencicipi sepotong makanan kesukaannya itu.

"Fajar tahu makanan kesukaan Mama dan Hawa, tapi apa ada yang tahu makanan kesukaan Fajar?" Mas Fajar menahan senyum.

Pertanyaannya sontak membuat aku dan Mama diam seribu bahasa. Aku menyadari betapa minim perhatianku pada lelaki yang selalu memperlakukanku dengan sangat baik. Jarang sekali aku memerhatikan apa yang ia suka, padahal waktu dua tahun ini sebenarnya cukup untuk saling memahami. Selama ini hanya Mas Fajar yang memahamiku, mengayomi sifat manjaku, memaklumi sifat kekanakanku.

"Ma, Wa, kenapa diam?" Mas Fajar tertawa. "Aku bercanda, kok, aku suka makanan apa saja, hampir tidak ada makanan yang tidak kusukai," terangnya membuat aku dan Mama tertawa canggung. Namun, sejurus kemudian kami bertiga terdiam. Entahlah, mungkin mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.

Aku menunduk kembali menikmati makanan, begitu pun Mama dan Mas Fajar. Mama memilih sate menjadi lauk makannya dan Mas Fajar, tidak biasanya ia makan dari wadah yang berbeda denganku. Suasana jadi tidak seramai sebelumnya, canggung membuat udara jadi terasa panas. Hanya denting sendok dan garpu yang beradu dengan piring menjadi satu-satunya suara di ruangan ini.

Selesai makan, seperti biasa Mas Fajar akan membantuku mencuci peralatan makan yang kotor. Kami berdiri bersebelahan, aku menggosok perabotan dengan sabun sementara ia membersihkan dengan air. Selama itu kami hanya saling diam. Biasanya Mas Fajar akan menggodaku saat-saat begini.

Apa mungkin Mas Fajar marah padaku?

"Wa, kenapa melamun, Sayang?" tanyanya saat kami selesai mencuci piring.

Kutatap wajahnya mencari tanda-tanda kemarahan. Tidak ada. Suamiku masih tersenyum manis. Jahat sekali selama ini kuabaikan dia. Padahal sedikit saja perhatiannya berkurang seperti ini, hatiku mulai tak karuan.

Aku memeluk pinggangnya membenamkan wajah di dada bidangnya. Sejenak Mas Fajar bergeming. Mungkin ia heran, karena tidak biasanya aku memeluknya seperti ini. Kurasakan tangannya mulai mengusap-usap kepalaku, rengkuhan hangat darinya memberi rasa tenang karena itu berarti ia tidak marah padaku.

"Mas, maafkan aku, ya. Aku belum menjadi istri yang baik untuk kamu, Mas." Aku mengangkat kepala untuk melihatnya. Kuulurkan tangan menyusuri setiap inci wajah itu, sedikit berbulu di bagian dagu. Wajahnya kian mendekat, semakin dekat. Terakhir yang kulihat adalah mata bulat itu tertutup, kemudian menghilanglah jarak antara kami.

Bunyi sesuatu beradu membuatku refleks membuka mata dan menghentikan kegiatan kami, kemudian menoleh ke sumber suara, begitu pun Mas Fajar. Di sana, di dekat pintu Mama terlihat mengusap kepala lalu bergegas meninggalkan dapur. Sepertinya Mama melihat yang kami lakukan barusan. Aku hanya bisa menunduk dengan wajah terasa menghangat.

Mas Fajar kulihat mengacak rambutnya sendiri. "Wa," panggilnya sambil tertawa garing.

"A-aku ... aku mau ke ... ke kamar. Iya, ke kamar."
Kenapa jadi begini? Kenapa aku gugup? Dadaku, kenapa berdebar lebih cepat dari biasanya?

Luka itu CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang