Kuamati pantulan diri di cermin. Gamis krem dengan garis merah vertikal dan horizontal membentuk kotak-kotak menjadi pilihanku. Kerudung merah hati yang memayungi mahkotaku melambai saat tubuh ini bergerak. Bedak dan rona merah muda di bibir, hampir tak terlihat karena begitu tipis kusapukan.
Ya, begini sudah cukup karena selalu seperti inilah penampilanku. Bukan tak bisa berdandan, hanya saja, sederhana lebih terasa nyaman. Mas Fajar bilang bahwa dia suka penampilanku yang simpel.
Kukenakan tas selempang krem kecil berisi dompet dan ponsel, kemudian melangkah ke luar. Mobil yang sudah kupesani melalui aplikasi online telah terparkir di depan gerbang. Mobil pun berangkat sesaat setelah aku masuk dan memosisikan diri dengan nyaman.
Kuraih ponsel di dalam tas yang ada di pangkuan. Satu pesan dari Zahira memberitahukan bahwa ia sudah sampai di tempat yang kami sepakati. Satu pesan lagi dari suamiku menanyakan keberangkatan disertai doa agar aku selalu dalam lindungan Allah. Kubalas pesan dari Zahira dan Mas Fajar, sementara pesan-pesan di grup tak ada yang kugubris. Biar dibalas nanti saja saat aku bersantai.
Jantung ini berdetak sedikit lebih kencang dari biasanya. Entahlah, aku tak mengerti. Kenapa bertemu Zahira bisa membuatku gugup?
Ah, mungkin karena pesonanya yang memang menyita perhatian banyak orang. Seperti saat di rumah mama, semua mata selalu terfokus pada wanita bertubuh semampai itu. Pantas saja dulu Mas Fajar sempat mau melamarnya.
Kuhela napas dalam saat sesak tiba-tiba menyerang dada. Menjernihkan pikiran dengan melihat satu benda yang tergantung di sebelah kemudi.
“Neng, tempatnya yang di depan itu, Ya?” tanya Pak Sopir.
“Iya, Pak, betul,” sahutku.
Beberapa saat kemudian Pak Sopir memberhentikan mobilnya tepat di depan Cafe. Kusodorkan selembar uang pecahan lima puluh ribuan padanya, lalu turun.
“Neng, kembaliannya,” panggilnya saat kakiku baru sebelah menjejak bumi.
“Untuk Adik manis itu saja, Pak,” jawabku dengan pandangan tertuju pada benda yang sedari tadi menyita pandanganku. Tak lupa senyuman kusunggingkan, berharap sang sopir tidak tersinggung.
Bapak itu menoleh pada potret anak kecil berusia kira-kira tiga tahun, rambutnya keriting diikat kanan dan kiri. Posisinya yang tergantung membuat selembar foto itu berayun ke sana-sini dan sesekali Terbalik.
“Terima kasih, Neng.” Sopir paru baya tersebut mengangguk dan tersenyum sebelum aku benar-benar keluar dari mobilnya.
Kuayunkan langkah menuju bangunan dua lantai berdinding kaca hitam. Aroma kopi mencumbu penciuman sesaat setelah aku masuk ke dalam kafe. Ya, kafe ini terkenal dengan kopinya, aku dan teman-teman sering kali berkunjung ke sini. Kusapukan pandangan ke seluruh ruangan yang di dominasi warna hitam dan merah ini. Terlihat di sudut ruangan bersebelahan dengan dinding kaca, seorang wanita berkerudung biru muda melambai padaku.
Aku mendekat ke arah Zahira, kemudian duduk di kursi seberangnya. Kami terhalang oleh meja kayu berukuran sedang.
“Maaf kalau lama menunggu,” ucapku.
“Ah, tidak. Aku saja yang terlalu bersemangat. Mau pesan apa?” tanyanya seolah mengerti rasa dahagaku. Tangannya melambai pada seorang wanita berseragam hitam, kemudian memesan makanan yang sama dengan pesananku. Jus alpukat dan nasi goreng.
“Oh, iya. Kau dan Fajar apa kabar?” tanya wanita berlipstik merah merona tersebut.
“Alhamdulillah, kami dalam keadaan sehat.”
Entahlah, pikiran negatif begitu mudah menyerang kepalaku. Ada rasa tak rela juga saat ia mengucap nama suamiku. Namun, aku harus tetap bersikap baik, bukan? Ya, demi berlangsungnya acara makan siang bersama ‘teman’.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka itu Cinta
General FictionPerjalanan pernikahan seorang wanita berusia dua puluh tahun bersama suami yang terpaut usia sepuluh tahun darinya. Ia memahami bahwa pernikahan haruslah dilandasi dengan tujuan murni mengharap keredaan Allah. Namun, kenyataannya tak semudah apa yan...