Setelah salat Subuh berjamaah, seperti biasa Mas Fajar akan membantu pekerjaan rumah. Menyapu halaman dan menyiram bunga diiringi lantunan muratal nan syahdu dari speaker Alquran. Lain hal denganku yang bertugas di dapur menyiapkan hidangan untuk sarapan.
Aku melangkah ke arah depan menuju teras. Kulihat Mas Fajar sedang memegang selang yang menyemburkan air. Diarahkannya selang itu ke satu-persatu bunga di pot. Sapuan angin dingin serta semprotan air menambah hawa sejuk di pagi hari.
“Mas,” panggilku sambil menepuk punggungnya.
Lelaki jangkung berambut ikal itu menoleh dengan seulas senyum yang menampakkan lesung pipinya. Ia memutar keran air yang tersambung dengan selang. Kemudian merangkul bahuku.
“Aku, sudah selesai, Wa,” sahutnya sambil mengangguk. Kemudian menggiringku masuk menuju meja makan.
Kami duduk berdampingan kemudian makan bersama dalam satu wadah. Minum pun dari gelas yang sama. Ya, sejak awal menikah kami selalu seperti ini. Namun, kali ini aku mulai merasa semua yang Mas Fajar lakukan begitu manis. Beberapa kali aku tersenyum dan salah tingkah saat Ia memuji masakanku. Ke mana wajah datar dan mata sinisku? Entahlah, apa aku mulai mencintai lelaki yang menikahiku dua tahun lalu itu? Semoga saja benar.
Mas Fajar berhenti menyuapkan makanan ke mulut. Kepalanya terangkat dan akhirnya pandangan kami beradu. Ingin kulempar pandangan ke arah lain, tapi seolah ada temali tak terlihat mengikat pandangan kami. Beberapa detik kemudian mata bulat lelaki itu menyipit diiringi seringai.
“Jangan melihatku seperti itu, Sayang. Nanti aku enggak bisa tenang kerjanya,” godanya.
“Ke-kenapa begitu?” tanyaku sambil mengerjap beberapa kali. Kemudian mengalihkan pandangan darinya. Aduh! Kenapa aku terbata-bata? Pipiku pun mulai terasa hangat, pasti sudah memerah seperti tomat matang.
“Nanti Kamu kangen sama aku. Terus WA, deh, minta aku pulang cepat.” Mata Mas Fajar kian menyipit disertai gelak tawa melihat responsku memajukan bibir.
“Kata siapa begitu?” ketusku.
“Ya, sudah kalau begitu. Ayo, makan lagi. Jangan lihat mas terus, ya, nanti keselek!” sindir Mas Fajar dengan sisa tawa masih menghiasi perkataannya. Kemudian kembali menunduk menikmati makanan dari piring kami.
Selesai makan, kurapikan semua perabot kotor ke tempat cuci piring. Akan tetapi, piring kotor beraroma sedap yang tadi begitu mencumbu penciuman kini baunya seakan mengaduk-aduk isi perut. Semua makanan yang memenuhi lambung mendesak naik ke kerongkongan. Kutahan sekuat tenaga agar olahan makanan tersebut tidak tumpah di sembarang tempat. Aku setengah berlari menuju kamar mandi, kemudian menuruti hasrat yang berasal dari pusat perut. Bukan sekedar isinya, tapi tenaga pun seolah ikut terkuras habis.
Kusandarkan tubuh ke dinding, napas tersengal-sengal, mata pun berair. Tidak lama kemudian raga yang serasa tak bertulang ini merosot hingga terduduk di lantai. Rutinitas baru semenjak buah hati bersarang di rahimku. Kuusap perut bagian bawah tempat titipan-Nya bersemayam sementara. Senyumku mengembang menyadari beberapa bulan lagi ia akan menghiasi hari-hari indahku.
Pintu kamar mandi terbuka, kemudian Mas Fajar masuk dengan handuk tersampir di bahu. Alis tebalnya hampir bertaut melihat keadaanku.
“Masih?” tanya Mas Fajar yang hanya aku jawab dengan anggukan.
Mataku mengikuti gerak tubuhnya hingga terduduk di samping. Entah dorongan dari mana, tangan ini merangkul pinggang Mas Fajar. Ada rasa nyaman saat berada dalam dekapan lelaki jangkung ini. Tak lagi kutepis tangan besar itu saat mengusap lembut punggungku, memberi resapan hangat di sana. Sejenak aku terpejam menikmati semua perhatian yang Mas Fajar berikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka itu Cinta
Ficción GeneralPerjalanan pernikahan seorang wanita berusia dua puluh tahun bersama suami yang terpaut usia sepuluh tahun darinya. Ia memahami bahwa pernikahan haruslah dilandasi dengan tujuan murni mengharap keredaan Allah. Namun, kenyataannya tak semudah apa yan...