Kembali

303 8 5
                                    

Hari yang cerah seakan-akan mengerti suasana hatiku. Bagaimana tidak? Akhir-akhir ini aku melalui banyak kerikil tajam dalam perjalanan rumah tangga, lalu tiba-tiba Mas Fajar mengajakku berlibur di kampung halaman. Bagai angin segar di teriknya matahari membuatku tersenyum tiada henti.

Aku tidak merasa bosan meski perjalanan panjang dan melelahkan. Kami bercerita tentang bagaimana pertama kali Mas Fajar ke rumahku. Berbekal alamat yang kuberikan melalui pesan singkat, dia nekat bertandang bersama mamanya meski berkali-kali kebingungan. Salut. Hanya beberapa kali bertemu dia mantap melamarku. Itulah sebab aku menerimanya. Keseriusan, tanggung jawab, kasih sayang, dan sabar. Mungkin cinta akan datang perlahan.

Seperti nasihat Ibu, perempuan hatinya mudah tersentuh oleh kasih sayang, maka cinta itu akan hadir seiring pembuktian dari sang pasangan. Aku merasakannya, Bu. Perkataan Ibu benar.

"Wa, inget enggak waktu kita nikah? Samsul terus-terusan muter lagu Meher Zain?"

"For the rest of my life?"

Dia mengangguk, lalu kami bernyanyi. Layaknya dua sejoli yang sedang kasmaran, kami menghabiskan waktu di perjalanan dengan penuh kemesraan. Hal yang tidak kami rasakan sebelum pernikahan, bahkan baru sekarang. Allah ... bolehkan aku takut kehilangan?
**

Raut bahagia dari Ibu dan Bapak menyambut kedatanganku dan Mas Fajar. Makanan kesukaan pun telah terhidang. Seolah tak sabar, kami makan sambil bercerita tentang banyak hal termasuk kehilangan yang kualami.

Beruntung Ibu tak menceramahiku seperti biasanya. Ibu hanya menasihatiku agar lebih hati-hati, sedangkan Bapak terus membesarkan hatiku. Insya Allah akan jadi tabungan akhirat, katanya.

“Makan yang banyak, Wa. Habis ini baru istirahat. A Fajar juga, ya.” Disodorkannya piring berisi ikan hasil memancing Bapak di kolam belakang rumah. Tak lupa sambal dan lalapan.

Usai makan, kubongkar tas berisi oleh-oleh berupa baju dan makanan.

“Bu, ini buat Samsul!” seruku yang seketika terdiam menyadari dari tadi tak melihat batang hidungnya, “oh, iya. Samsul mana, Bu?”
“Samsul ikut magang di tempat dia praktik dulu. Ya, hitung-hitung belajar. Mumpung masih ada waktu sebelum mulai kuliah.”

Aku mangut-mangut menanggapi cerita Ibu. Memang  ada baiknya dia belajar mandiri agar tidak sepertiku. Manja dan kurang pengalaman karena keburu ditarik ke pelaminan.

Pertemuan singkat dengan Mas Fajar di madrasah tak kusangka akan seserius ini. Saat itu Ibu ingin mengundurkan diri. Namun, pihak yayasan menginginkan ibu menyiapkan ganti dan akulah orangnya. Mengajar anak-anak membaca Al-Quran cukup menyenangkan. Sayang itu tidak lama, sala seorang donatur mengikatku dengan pernikahan dan membawaku pergi dari kampung halaman.

**

Aku terbangun merasakan hawa dingin menusuk kulit. Jam masih menunjukkan pukul 01.30 dini hari. Kubalikkan badan sambil merentangkan tangan dan menangkupkannya ke ... Mas Fajar. Tunggu. Dia tidak ada? Apa mungkin sedang salat, ya? Pantas selimutnya tersibak. Mungkin Mas Fajar lupa merapikan kembali.

Aku turun dari pembaringan. Lelaki yang kucari tengah berbincang di dapur sambil memegang ponsel di tangannya. Tak lama dia menutup percakapan dengan salam setelah dia menoleh padaku.

“Malam-malam, Mas,” sapaku sambil mengucek mata, “penting banget, ya?”

Aku duduk di kursi dekat meja makan, sementara dia duduk di kursi seberang.
Kubalikkan gelas yang tertangkup di hadapan dan mengisi air dari termos. Satu gelas untukku dan satu lagi untuk Mas Fajar. Lumayan untuk menghangatkan badan.

“Makasih, Wa.” Dia menatapku sambil, tapi seperti tidak fokus. Sebentar melihatku, lalu melihat gelas di tangannya, kemudian melihatku lagi.

“Ada apa, Mas?”

“Itu, barusan, Mama yang nelpon. Nanyain kabar kita.”

“Dini hari begini?” Entahlah. Rasanya ... janggal. Maksudku kenapa tidak tadi sore atau besok pagi. Ini sungguh tak biasanya.

“Iya. Kayaknya ada yang penting, cuma ... Mama enggak bilang.” Mas Fajar menyesap air yang mengepulkan asap tipis di tangannya. “Mama nyuruh aku pulang dulu.”

Seketika aku membuka mata lebar-lebar. Ada apa ini? Baru saja tadi siang aku sampai di sini, dan sudah harus kembali.

“Ada masalah apa?” Aku tak bisa lagi menahan penasaran dengan berbasa-basi.

“Emh ... entahlah, Wa. Mama belum bilang jelas. Hanya ada penting katanya.” Mas Fajar menggenggam tanganku. “Begini, Wa. Ibu pasti sedih kalau aku dan kamu kembali ke rumah kita pagi-pagi nanti, tapi Mama juga minta aku datang karena urusan penting. Begini saja, kamu di sini dulu, biar aku yang pulang. Hanya satu hari mungkin. Aku akan kembali ke sini. Gimana?”

“Gapapa, ya?” Sebenarnya aku tidak enak pada Mama kalau harus mengabaikannya. Apa lagi ini urusan penting.

“Gapapa, Wa. Mama pasti mengerti. Mama juga tau, ‘kan, ini keinginanmu sejak lama. Hampir setahun kita nggak ketemu Ibu, Bapak, sama Samsul. Kata Ibu, besok Samsul pulang.”

Benar juga. Kapan lagi aku berlama-lama di sini. Biarlah sesekali aku absen di keluarga Mama. Lagi pula aku tidak boleh terlalu capek, jika ingin segera hamil. Kebetulan bulan ini aku terlambat haid. Mama pun akan bahagia jika sekembalinya aku nanti membawa kabar gembira.

Aku mengangguk mengiyakan perkataan Mas Fajar. Dia balas tersenyum sambil mengusap kepalaku.

Kami kembali ke kamar untuk tidur. Beberapa saat terpejam, aku terbangun kembali. Jam tiga dini hari. Mas Fajar kulihat sedang memainkan ponselnya.

“Enggak tidur, Mas?” tanyaku sambil melingkarkan lengan di perutnya, “udah, jangan mikir macem-macem dulu. Sekarang istirahat. Nanti aku bantu siap-siap.”

“Aku berangkat habis subuh kayaknya, Wa?”

“Emh! Kenapa? Ada apa, sih, Mas?”

“Nanti Mas cerita kalo dah tau semuanya, ya. Kamu tidur aja, gapapa.”

**

Benar-benar setelah salat subuh. Mobil hitam Mas Fajar menjauh dari pekarangan rumah ibuku. Butir air mata tak bisa menutupi perasaanku yang berkecamuk. Mungkin aku khawatir, atau masih rindu, yang jelas berat rasanya melepas lelaki itu. Entahlah. Perasaan ini aneh.

“Sudah, jangan ditangisi. Tiap hari ketemu, kok. Ini Cuma pergi sehari, ‘kan?” Ibu mengusap punggungku. Aku hanya mengangguk.

Kuambil ponsel di saku dan mengirim pesan pada Samsul. Memintanya membelikan test pack tanpa sepengetahuan Mas Fajar. Jika dua garis merah kudapat, ini akan jadi kejutan.

Aku dan Ibu beranjak ke dapur. Kulihat tungku sudah menyala dan duduk sekitar satu meter di depannya. Ibu memasak, sementara aku termenung menatap api yang menjilat-jilat sekeliling, membakar apa yang ada di dekatnya. Hati ini masih terpaut pada Mas Fajar. Berat sekali rasanya berpisah, jika terbiasa bersama. Semoga Mas Fajar ada dalam lindungan Allah SWT.

**

Tiga hari berlalu, Mas Fajar tak juga memberi kabar padaku. Berulang kali kutelpon tapi tak diangkat, pesanku tak dibalas. Mama pun sama. Apa yang terjadi ya Allah?

Seperti daun berguguran satu persatu, harapanku kandas berjatuhan. Sudah kering dan menghitam harus rela jatuh pada kehampaan. Harapan tak berbalas kenyataan.

Bagaimana kabarnya? Rindukah dia padaku? Kasihan dia harus membuat teh sendiri di pagi hari. Kasihan dia harus menyediakan pakaiannya sendiri. Dia pasti kesepian tanpa omelanku yang katanya lucu.

Air mataku kembali membelai pipi. Apa aku harus menyusulnya? Namun, bagaimana dengan kandunganku yang baru enam minggu. Aku tak mau kehilangan lagi.

Kusetel pengaturan bunyi ponsel sekencang-kencangnya agar tiap pesan dan panggilan tak terlewatkan. Namun, nihil, hanya pesan dari grup yang tak terlalu penting. Begitu pun sekarang. Ponselku berbunyi menandakan satu pesan masuk.

Dengan malas kuambil ponsel di nakas. Tak mau terlalu bahagia karena aku tahu akan kecewa. Kulihat, satu pesan dari Zahira.

**

Jangan lupa vote dan komennya, ya, biar tambah semangat. Happy reading. 😘

Luka itu CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang