Tiga bulan kulalui tanpa si calon buah hati, ada rasa rindu masa-masa dia bersarang di rahimku. Berbagai cara sudah kulakukan mulai dari pengobatan herbal dan program hamil sesuai tuntunan dokter. Beruntung Mas Fajar selalu bersabar dan tidak menuntut banyak. Baginya waktu tiga bulan itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan penantian panjang orang-orang di luar sana. Lagi pula aku sudah pernah hamil, itu menandakan aku benar-benar bisa punya anak.“Wa, sudah siap? Eh, kok, belum ganti baju juga,” tegur Mas Fajar.
“Eh, iya, Mas, maaf.”
Aku hampir lupa bersiap-siap. Beberapa hari lalu Mama meminta kami berkunjung, rindu katanya.
“Aku pilihkan, ya.”
Mas fajar mengambil gamis biru tua dengan motif bunga-bunga kecil merah muda dan kerudung lebar merah muda. Sebenarnya Mas Fajar tidak begitu paham dengan warna dan model pakaian wanita. Namun, pakaian ini dibelikan olehnya dalam hantaran pernikahan, tentunya atas rekomendasi Mama.
Kerudung lebar pilihan Mas Fajar menutup tubuh bagian atasku sampai sebatas paha. Jujur saja, sebelum menikah aku hanya memakai kerudung biasa yang menutupi kepala sampai sebatas dada saja. Akan tetapi, setelah menikah suamiku mengganti hampir seluruh pakaianku dengan model baju yang mirip dengan pakaian Mama. Aku tidak keberatan selagi yang dianjurkan Mas Fajar adalah kebaikan.
“Istriku cantik banget pakai baju ini. Nanti aku belikan lagi, ya.” Mas Fajar memerhatikan pantulan penampilanku di cermin sambil tersenyum. Tangannya memegang kedua pundakku. “Mas manasin dulu mesin mobil, ya,” lanjutnya sambil berlalu.
Kusapukan bedak tipis-tipis ke permukaan wajah, lip care yang hanya memberi warna samar merah muda turut melengkapi riasan wajahku. Kata Mas Fajar ini sudah cukup, aku tidak perlu berdandan habis-habisan karena dia lebih suka penampilan sederhana seperti ini.
“Sudah siap?” tanya Mas Fajar saat masuk kamar.
“Sudah, Mas,” jawabku, kemudian menyambar tas selempang hanya berisi beberapa barang penting. Karena tidak akan menginap aku tidak membawa banyak barang. Tas selempang kecil ini sudah cukup.
“Ayo, Mas!” ajakku sambil memegang sikunya. Namun, Mas Fajar bergeming sembari menatap lekat, membuatku salah tingkah. Melihat dari ujung kaki hingga kepalaku.
“A—ada apa, Mas?”
“Enggak. Hanya saja ... istri kecilku cantik sekali.”
“Maaas!” Aku protes dengan perkataannya sekaligus merasa malu.
Kami masuk ke dalam mobil, kemudian meluncur membelah jalanan. Setelah beberapa menit di dalam mobil, kami berhenti di sebuah pusat perbelanjaan yang menjual aneka makanan khas untuk di bawa sebagai oleh-oleh.
Kami membeli banyak makanan karena di rumah Mama sudah pasti akan banyak orang. Pertemuan bulanan keluarga yang menjadi momen untuk mengeratkan silaturahmi. Adik Mama pasti akan ada di sana lengkap dengan anak cucunya. Ya ... hanya Mama yang belum punya cucu mengingat tiga bulan lalu kami kehilangan calon bayi, membuat Mama harus lebih bersabar menantikannya.
***
Samar terdengar seseorang memanggil-manggil namaku. Setelah beberapa kali mengerjap, pandangan mulai bersih dan jelas. Ternyata aku sudah sampai di rumah Mama. Lumayan lama aku tertidur mengingat perjalanan hampir dua jam dan hanya beberapa saat aku terjaga setelah membeli oleh-oleh tadi.
Baru saja kami keluar dan melangkah, empat orang anak berlari menyerbuku dan Mas Fajar. Hasan dan Hisan adalah anak kembar berusia empat tahunan. Sementara dua lagi adalah Aini dan pandu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka itu Cinta
General FictionPerjalanan pernikahan seorang wanita berusia dua puluh tahun bersama suami yang terpaut usia sepuluh tahun darinya. Ia memahami bahwa pernikahan haruslah dilandasi dengan tujuan murni mengharap keredaan Allah. Namun, kenyataannya tak semudah apa yan...