Pancaran warna jingga menerobos melalui ventilasi dan jendela kamar. Matahari menempuh lintasannya untuk kembali ke peraduan. Hal yang sangat kusukai memandanginya berlama-lama, apalagi saat pendarnya berangsur kemerahan. Ada rasa hangat menyelimuti saat semburat itu menerpa tubuh ini. Hati pun seolah merasakan kehangatannya. Sekacau apa pun, aku pasti merasa lebih tenang saat memandang matahari senja. Sungguh indah ciptaan Allah.
Kulirik jam dinding yang menunjukkan pukul 17.25. Ada rasa gamang menghadapi gelap mengingat suamiku mungkin akan pulang telat. Segera kututup jendela dan menutupnya dengan gorden. Kemudian melangkah ke ruangan lainnya untuk melakukan hal sama. Namun, saat hendak menarik gorden ruang tamu, kulihat mobil Mas Fajar mulai memasuki pelataran.
Ada rasa senang karena suamiku tidak jadi lembur, itu artinya aku tidak akan kesepian lebih lama lagi. Akan tetapi, rasa malu terbersit saat lintasan kejadian tadi siang menghampiri ingatanku. Dalam hati sedikit menyesali, kenapa aku jadi seagresif itu? Maksudku, kami memang sudah menjalani hubungan layaknya suami istri sejak kami menikah dua tahun lalu. Namun, aku tidak pernah melakukan hal seperti itu lebih dulu dan yang kurasakan akhir-akhir ini sungguh berbeda.
Mas Fajar mengucap salam sambil membuka pintu. Setelah menjawab salam, kuraih tangan kanannya dan menciumnya penuh hormat. Tangan kirinya mengusap kepalaku dengan lembut.
“Syukurlah, Mas, enggak jadi lembur.” Tatapanku masih menunduk melihat jemari yang masih digenggamnya. Perlahan aku mendongak dan menemukan senyum lebar laki-laki berlesung pipi itu. “Mas ... a—aku, aku buatkan teh hangat dulu.”
Mas Fajar menarik tubuhku merapat padanya, kemudian sebuah kecupan tertahan di keningku untuk beberapa detik.
“Ya, sudah. Tolong buatkan, ya!” Tangan besarnya mengusap bahuku. Kuambil tasnya dan menyimpannya di kamar, kemudian ke dapur.
Kuhidangkan secangkir teh yang mengepulkan asap tipis di meja ruang tamu di hadapan Mas Fajar. Ia mulai mengangkat cangkir dan meminumnya sedikit. Semoga saja bisa membuat tubuh lelahnya sedikit rileks.
“Oh, iya, Mas, aku enggak masak. Maaf,” sesalku
“Kita, kan, memang belum belanja. Kita makan malam di luar saja nanti habis magrib sekalian belanja.” Tangannya kembali mengangkat cangkir dan meminum teh buatanku. “Hmm, bagaimana acara makan siangmu tadi?” tanyanya.
“Berkesan,” ketusku.
Mas Fajar berkerut kening. “Kesannya baik?”
“Tidak.” Mengingat hal itu kembali membuatku kehilangan semangat. Senyum yang sedari tadi tersungging pun mendadak sirna.
“Ya sudah, jangan diingat-ingat. Mas Mandi dulu, siap-siap mau ke masjid.”
“Huh! Dia memulai aksi menyebalkannya. Meninggalkanku saat butuh pelampiasan kekesalan,” rutukku.
***
Kami memilih tempat makan yang tidak terlalu jauh dari rumah agar saat azan isya kami sudah pulang. Kemudian pergi ke supermarket untuk berbelanja. Sebenarnya aku dan Mas Fajar biasa belanja ke pasar tradisional di hari libur. Berhubung hari libur kemarin ke rumah Mama, kami jadi tidak sempat ke pasar.
Beberapa jenis sayur memenuhi keranjang yang kini berpindah ke tangan Mas Fajar. Ia menyodorkan keranjang kosong di tangannya satu lagi untuk kuisi dengan kebutuhan rumah lainnya. Aku kembali menelusuri rak-rak tinggi, mengambil sabun cuci piring, detergen, pewangi pakaian, dan lain-lain.
Saat semua yang dibutuhkan sudah ada di keranjang, aku menoleh ke belakang untuk mengajak suamiku pulang. Namun, tidak kudapati lelaki berambut ikal yang biasanya setia di belakangku itu. Kususuri setiap lorong di antara rak-rak yang menjulang menelan tinggi badan manusia, mencari keberadaan Mas Fajar.
Lelaki jangkung itu berdiri memegang belanjaan. Saat ia melihat keberadaanku tangannya melambai isyarat agar aku mendekat. Akan tetapi, seolah ada batu besar menghantam dada ketika aku berjalan mendekat. Wanita berlipstik merah itu berdiri tepat di depan Mas Fajar, satu sudut bibirnya tertarik menyambut kehadiranku.
“Hai, Wa, ketemu lagi,” sapa wanita berkerudung krem yang dililit di lehernya itu.
“Iya, Mbak, kita lagi belanja.” Aku sedikit mengangkat belanjaan menunjukkan padanya.
“Fajar dari tadi cari kamu, tapi enggak ketemu. Ya, sudah, kita ngobrol sebentar sambil nunggu kamu selesai belanja,” terangnya.
Aku sedikit mengerutkan kening karena jarang sekali Mas Fajar meninggalkanku kalau seseorang tidak menahannya. Kulirik wajahnya sekilas, ekspresinya datar. Namun, dia seolah memahami ketidaksukaanku saat berada di dekat Zahira, kemudian berkata, “Hawa sudah selesai belanja. Kalau begitu, kita pamit dulu.”
“Eh, tunggu! Apa kalian tinggal di dekat sini?” tanya Zahira.
“Iya, kami tinggal tidak jauh dari sini. Maaf, kami buru-buru soalnya Mas Fajar ingin salat isya di masjid dekat rumah. Kami pulang dulu, ya,” pamitku sambil mengamit lengan kekar Mas Fajar menuju kasir. Tak lupa senyum kemenangan tersungging manis di bibir ini saat meninggalkan Zahira terpaku saat kami meninggalkannya.
Ada sedikit rasa lega bisa segera menghindar darinya. Ya, dia memang tidak terang-terangan meminta kembali lelaki yang kini menjadi suamiku. Namun, firasatku mengatakan kejadian tadi siang patut diwaspadai. Entahlah, kekuatanku seolah bertambah berkali-kali lipat untuk mempertahankan keutuhan rumah tangga. Aku tak akan segan untuk bertindak tegas jika sedikit saja wanita itu mengusik ketenteraman kami.
“Wa!”
“Iya!” jawabku setengah memekik, “ada apa, Mas? Bikin kaget aja.”
“Lagian dipanggil dari tadi enggak nyahut.” Pandangan Mas Fajar kembali konsentrasi ke medan tempuh. “ Mikirin apa, sih, Wa?” selidiknya.
“Eh, enggak. Oh, iya, Mas, tadi Zahira, kok, bisa kebetulan ketemu kita di sana,” tanyaku sambil memandangi wajah lelaki yang sedang mengemudi itu lekat.
“Oh, jadi, itu yang kamu pikirin,” tebaknya yang hanya aku jawab dengan anggukan beberapa kali.
“Zahira tinggal dekat sini juga, kebetulan dia lagi belanja. Katanya, biar lebih dekat ke tempat kerja.”
“Lebih dekat?” tanyaku, “ke tempat kerja?” Semakin lekat kupandangi wajah Mas Fajar, menanti jawaban sesegera mungkin.
“Iya, kan, dari sini Cuma lima belas menit ke kantor.”
“Maksud, Mas? Kalian satu kantor?” tanyaku penasaran.
“Ya, Iya, Wa. Zahira, kan, atasanku. Aku udah cerita, kan? Besok dia baru masuk kerja. Dia baru datang, jadi tadi masih cuti, makanya ngajak jalan kamu.”
“I—iya, tapi ... kukira dia akan kembali ke Jepang,” sahutku lesu.
“Wa?”
“Hmm.”
“Kamu jangan berpikir macam-macam.”
Tak terasa, kami sudah sampai di depan rumah bertepatan dengan azan isya dari masjid sebelah rumah. Dengan langkah gontai, aku masuk dan merebahkan diri di kasur. Lelah, bukan hanya raga, tapi juga pikiran. Apa mungkin aku berlebihan memikirkan Zahira? Entah mengapa sensitivitasku naik berkali-kali lipat sejak mengetahui dia mantan kekasih suamiku.
“Wa, aku berangkat dulu, ya.”
“Iya, Mas,”
Ah, aku sampai tidak menyadari sedari tadi Mas Fajar mempersiapkan sendiri pakaiannya. Ingin mempertahankan rumah tangga apanya? Hal sekecil ini saja aku lalai, tapi tubuhku benar-benar seperti tak bertenaga.
Kugelengkan kepala berusaha mengusir pikiran aneh yang melintas di kepala. Sudah waktunya salat magrib, memohon pertolongan kepada Sang Kuasa tentu harus kulakukan. Semoga Allah menguatkan ikatan pernikahan kami.
Kularungkan resah dan beban yang mengimpit dada di atas sajadah. Memohon ampunan atas segala khilaf dan salah. Meminta kekuatan atas segala ujian yang menimpa. Memasrahkan apa pun yang Allah kehendaki padaku.
Aku menyadari bahwa diri ini sungguh lemah. Jika bukan karena Allah, mungkin aku tak akan bertahan hidup dengan orang yang belum kucintai. Jika bukan karena Allah menegurku dengan berbagai ujian, tak mungkin kurasakan kenikmatan dalam rumah tangga seperti sekarang ini. Kecerobohan yang membuatku kehilangan sang jabang bayi menampar keras kesadaran diri ini. Betapa aku belum sepenuhnya berbakti pada suami, belum sepenuhnya bersyukur atas karunia begitu besar dari Sang Maha Pengasih. Suami baik hati, mertua penyayang, teman-teman yang selalu mengingatkanku pada kebaikan, sungguh ujian yang kuhadapi tidak ada apa-apanya dibanding kenikmatan yang Allah karuniakan.
Kuusap bulir-bulir bening dengan tangan berbalut mukena putih, tetesannya meninggalkan bekas basah di beberapa tempat. Kenikmatan mengadu pada Sang Pemilik Alam Semesta mengalirkan ketenangan ke seluruh sendi raga, merasuk sejuk ke dalam jiwa. Menghempas seluruh beban yang serasa mengimpit dada.
Kubuka pakaian khusus salat dan melipatnya beserta sejadah. Saat berdiri hendak menyimpannya ke rak, aku dikagetkan olah suara deheman seseorang di belakang. Mas Fajar duduk di atas karpet bersandar ke dinding musala, ia tertawa cekikikan melihat tubuhku sedikit terlonjak.
“Maaasss!” pekikku geram. Tangan refleks mengambil sepatu empuk khusus wudu, kupukul punggungnya berkali-kali melampiaskan kekesalan. “Mas! Hampir saja jantungku copot. Mas iseng banget, sih!” Mulut ini tak tahan untuk tak menggerutu.
“Iya, iya, maaf, Sayang,” ucapnya masih dengan sisa tawa menghiasi wajahnya. Mas Fajar mengulurkan tangan kanannya dan berkata, “Maaf, Sayang, sudah membuatmu kaget.”
Kutarik tangannya sedikit kasar dan mencium punggung tangan besarnya. “Jangan begitu lagi, Mas!” pintaku.
“Iya, Istri kecilku,” godanya sambil merangkul bahuku.
Cubitan kecil kuhadiahkan di perutnya sebagai balasan panggilan yang ia pakai untuk menggodaku. Ia sedikit memekik, tetapi aku yakin ia tidak akan sesakit itu dengan cubitan tidak seberapa. Hmm, lelaki kadang selebay Itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka itu Cinta
General FictionPerjalanan pernikahan seorang wanita berusia dua puluh tahun bersama suami yang terpaut usia sepuluh tahun darinya. Ia memahami bahwa pernikahan haruslah dilandasi dengan tujuan murni mengharap keredaan Allah. Namun, kenyataannya tak semudah apa yan...