Sepertinya Tuhan belum--atau mungkin tidak membiarkan Arthur mengistirahatkan pikiran ataupun tubuhnya walau sebentar saja.
Buktinya, belum sempat Raja bersurai pirang itu menemukan jawaban atas pertanyaannya soal kesatria-nya kemarin malam, kabar gagal panen di Camelot--atau mungkin Britania--terdengar sampai ke telinganya dan kabar bahwa sekelompok pemberontak sudah mulai menunjukkan batang hidungnya di perbatasan menyambut pagi harinya dengan sangat indah.
"Gagal panen dan para pemberontak. Sepertinya pemerintahanmu di Camelot tidak berjalan terlalu mulus ya? "
Suara si penyihir bunga menyambut Arthur kala sang Raja keluar dari kamarnya.
"Merlin..."
Merlin menyandarkan punggungnya ditembok tepat di sebelah pintu kamar Arthur. Tangannya terlipat didepan dada dengan tongkat yang ia pegang dengan sebelah tangannya dan tak lupa dengan senyuman yang tidak pernah lelah ia tunjukkan pada siapapun.
"Seperti yang dilaporkan Sir Percival, pemberontak sudah mulai menunjukkan diri mereka di perbatasan--"
"--mereka juga mencuri hasil panen dan merusak ladang warga perbatasan." Merlin menjelaskan sembari mengekor Arthur dengan langkah tergesa-gesa menuju lapangan tempat kesatria-nya tengah bersiap.
"Jadi intinya penyebab kedua masalah ini adalah satu hal yang sama?"
"Tepat sekali."
Tidak ada jawaban dari Arthur. Sang Raja perlahan memakai helm yang sedari tadi ia bawa tanpa sedikitpun melirik Merlin. Helm bertanduk itu menunjukkan kilauan keperakan yang sama dengan baju zirahnya kala terkena sinar matahari pagi.
"Apakah engkau yakin akan menang? Raja Arthur?" tanya Merlin.
Langkah Arthur terhenti. Dari celah helmnya, ia menatap Merlin dengan sorot mata seolah tak percaya.
Seharusnya masing-masing dari mereka tahu bahwa pertanyaan itu merupakan pertanyaan yang bodoh bahkan sudah jelas jawabannya.
Tiba-tiba salah satu tangan Merlin terangkat tepat didepan wajahnya. "Tidak, sepertinya pertanyaan itu tidak perlu--"
Memijat keningnya, Merlin kembali berkata. "--belakangan ini entah mengapa aku mudah sekali paranoid." sang penyihir tertawa renyah.
Meski tak terlihat oleh sang penyihir, pandangan kedua manik sewarna batu emerald itu perlahan melembut.
"Tidak ada yang perlu di khawatirkan, Merlin. Aku pernah mengalahkan makhluk yang sempat menjadi mimpi buruk Britania. Dibandingkan itu, lawanku kali ini tidak seberapa."
"--Aku akan kembali. Pasti."
Satu sudut bibir Merlin terangkat. Ia mendengus pelan lalu mengacak-ngacak rambut putihnya.
"Hah, bodohnya aku. Tentu saja seorang Raja Arthur yang mengalahkan Vortigern tidak akan kalah oleh sekelompok pemberontak rendahan."
Merlin berdeham kemudian membungkukkan badannya didepan Arthur, memberi hormat sebelum Sang Raja berbalik badan meninggalkannya sendirian di lorong istana.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Void of Avalon || Arthur Pendragon
Fiksi Penggemar❝Biarkan aku menceritakan padamu kisah seorang raja.❞ ••• Padahal, semuanya berawal hanya dari pertemuan sederhana antara dua orang anak kecil. Tidak ada yang menyangka bahwa hal itu akan mempengaruhi sebuah kisah yang sudah diramalkan dahulu kala...