8. Mama?

27 3 3
                                    

"Mama. Dia yang telah melahirkanku ke dunia. Tanpanya, aku pun tidak ada."
---

Pikiran Ara tidak tenang. Menangkap pelajaran pun ia susah. Pusing. Satu kata yang menggambarkan kondisi otak Ara saat ini.

Kejadian kemarin di apartemennya masih melekat di otaknya. Ara menatap Rangga yang duduk di depannya. Bahkan semenjak kemarin, hubungannya dengan Rangga sedikit merenggang. Hubungan pertemanan lho, ya.

Setelah terlibat cek-cok sedikit dengan Aldi, Rangga saat itu langsung pulang dan tidak mempedulikan Ara hingga pagi ini. Bahkan yang biasanya mengirim pesan tidak terlalu penting kepada Ara sudah tidak laki-laki itu lakukan. Ara sendiri heran mengapa dengan laki-laki itu? Ia bahkan tidak membuat kesalahan kepada Rangga. Mungkin.

"Sstt!"

Panggilan dari Leva membuat Ara menoleh dan mendapati Leva yang sedang memperhatikannya.

"Lo ada apa sama Rangga?" tanyanya. Matanya sesekali melirik Rangga yang fokus memperhatikan guru di depan yang sedang menjelaskan. Ara menggeleng dan kembali menatap ke papan tulis.

Kring Kring Kring

Bel istirahat berbunyi membuat semua murid di kelas XI Bahasa ini heboh ingin keluar. Padahal guru di depan kelas pun belum menutup pelajaran. Alhasil, sang guru membentak sambil melempar spidol ke belakang kelas.

"Ibu belum menutup kelas!" ucap Bu Fera yang merupakan guru Matematika. Semua anak yang tadi berdiri dari bangkunya langsung kembali duduk.

"Kelas kalian ini. Kebiasaan sekali! Dari kelas sepuluh sampai sekarang. Bisa tidak kalau dihilangkan kebiasaan buruk ini?" Bu Fera bertanya dengan tangan mengusap perutnya yang mulai membuncit. Memang, saat ini guru cantik tersebut sedang mengandung di usia kehamilan yang terbilang masih muda. 4 bulan.

"Ibu sudah nasihatin kalian beberapa kali, tapi kalian tidak ada perubahan sama sekali." lanjutnya. "Mau Ibu hukum satu kelas biar nggak istirahat sekalian?!"

Anak-anak seketika berbisik satu sama lain. Tidak ada yang berani angkat suara membalas ucapan Bu Fera. Yaiyalah, Ibu hamil kan kalau dibalas nyinyir malah lebih parah ngamuknya.

"Ibu jangan marah-marah terus, nanti cepet tua lho." suara Rangga yang menceletuk membuat seisi kelas tertawa.

"Iya, Bu. Inget yang di perut," timpal Farhan sambil cengengesan.

"Kasian dedenya Bu, masa Ibu marah-marah terus."

"Awas dede bayinya brojol sekarang gara-gara Ibu marah mulu."

Dan berbagai ocehan lainnya yang terus-menerus disahuti sana-sini. Gara-gara Rangga yang memulai, semua anak laki-laki ikut nimbrung. Gara-gara Rangga pula semua anak laki-laki terkena imbasnya.

"Semua laki-laki saya jemur di lapangan sekarang! Sampai istirahat kedua!"

Setelah mengucapkan itu, akhirnya beliau pergi dari kelas sambil membawa tumpukan buku tebal yang berisi rumus-rumus matematika.

"Yeee... dasar bumil!" maki Farhan pelan. Takut-takut Bu Fera mendengarnya.

"Parah! Awas karma lo dapet istri nanti pas hamil ngidamnya aneh-aneh, mampus!" balas Ari tak kalah kencang.

Ramai sudah kelas XI Bahasa ini. Lagi dan lagi membuat Ara tidak suka. Ia memang tidak suka kegaduhan, yaa memang dari dulu dia seperti ini. Ah, ralat. Ia mulai tidak suka kegaduhan semenjak kejadian dimana dirinya berakhir sebatangkara seperti ini. Bahkan alasan Ibunya meninggalkannya pun ia tak tahu. Apalagi Ayahnya, entah dimana keberadaannya sekarang. Ara sempat mencari informasi, tapi hasilnya nihil. Satu buah informasi mengenai kedua orangtuanya pun ia tak tahu.

Here I AmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang