10. Hari Pertama

19 3 0
                                    

Semenjak kejadian malam kemarin dimana dirinya makan malam bersama Rangga, ia jadi sedikit canggung ketika memikirkan bagaimana sikapnya bila nanti bertemu Rangga. Setelah mengantarkan dirinya semalam, laki-laki itu berjanji akan menjemputnya hari ini untuk pergi ke sekolah bersama.

Waktu untuk pergi ke sekolah masih 1 jam lagi. Gadis itu beranjak menuju dapur dan membuat sarapan dengan bahan seadanya. Namun niatnya yang ingin memasak makanan berat ia urungkan ketika melihat sebungkus roti tawar dan selai ada di kulkas. Ia meraih dan membawa ke meja di ruang depan. Setelah itu ia kembali ke dapur untuk memasak air.

FYI, Ara kalau pagi harus minum air hangat. Apapun itu. Entah susu, teh ataupun air putih biasa. Yang terpenting air hangat. Namun biasanya ia lebih memilih minun teh manis. Karena minum teh manis hangat selain menghangatkan tubuh, teh manis juga mengandung gula. Gula bermanfaat untuk menambah energi di dalam tubuh kita.

Sambil menunggu air matang, gadis itu memutuskan kembali ke kamarnya untuk memakai seragam. Di hadapan cermin, ia menatap pantulan dirinya. Rambut yang biasa ia gerai, kini ia ikat menjadi satu bagai buntut kuda.

Setelah merasa puas dengan tampilannya, ia tersenyum. Ia mengambil ponselnya dan memasukkan ke dalam ranselnya dan kembali ke dapur untuk membuat minum.

Ting Tong

Bel apartemen berbunyi membuat Ara yang sedang menikmati teh dan rotinya berjengkit kaget. Ia tahu siapa yang datang. Gadis itu beranjak membuka pintu apartemen dan benar! Rangga dengan wajah tampannya berdiri di sana dengan ransel yang bertengger di salahsatu pundaknya.

"Berangkat?" tanyanya sambil menaikkan sebelah alisnya.

"Sarapan dulu,"

Ara menarik pergelangan tangan laki-laki di hadapannya untuk duduk di sofa dimana ia memakan sarapannya.

"Gue buatin teh dulu."

Baru saja gadis itu ingin pergi ke dapur, Rangga sudah terlebih dahulu menarik Ara untuk duduk. "Nggak usah, gue udah minum di rumah." katanya.

Ara yang merasa tidak enak tetap memaksa ingin membuat teh hangat. Di sinilah mereka terlibat cek-cok. Ara yang tidak enakan dan Rangga yang keukeuh tidak mau.

"Ngga usah gue bilang."

"Lo minum dulu. Gue buatin,"

"Udah di rumah."

"Rangga!"

"Ganteng,"

"Rese sih, lo."

"Nggak mau, Ra."

"Seenggaknya lo minum dulu sebelum berangkat."

"Nggak usah, sayang."

Dalam hitungan detik Ara diam. Ia benar-benar speachless mendengar sebuah kata yang sangat tidak pernah ia dengar dari mulut laki-laki ini. Sebuah kata yang sudah lama sekali tidak gadis itu dapatkan dari orang-orang terdekatnya. Ara benar-benar diam dan menuruti Rangga untuk tidak membuatkan minum.

Rangga tersenyum lebar. "Nah, gini kan diem." ucapnya sambil menyenderkan tubuhnya di sofa. "Apa perlu gue panggil 'sayang' terus supaya lo nurut?" lanjutnya sambil menatap Ara yang masih memakan roti.

"Apasih alay."

Laki-laki itu tertawa sambil mengacak rambut perempuan di sampingnya. "Aku nggak mau sekolah,"

Ara menaikkan sebelah alisnya. Selain mendengar penuturan yang laki-laki itu ucapkan, Ara pun sedikit heran tiba-tiba Rangga merubah kata 'gue' menjadi 'aku'. Namun ia singkirkan keheranan itu dan lebih memilih bertanya.

Here I AmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang