9. Makan Malam

18 3 3
                                    

"Lo inget nggak kalo gue pernah nembak lo? Gue serius,"
---

Pukul 8 malam.

Sakit kepala yang dirasakan Ara kali ini melebihi sakit kepala yang biasanya. Ia jatuh tersungkur di depan ruang tamu. Badannya meringkuk dengan kepalan tangannya yang mencengkram rambutnya. Entah apa sebabnya, yang pasti saat Ara bangun dari tidurnya ia langsung merasakan sakit yang luar biasa ini. Ia tak sanggup lagi meraih ponselnya yang tergeletak di atas sofa. Yang ia pikirkan adalah bagaimana cara menghentikan sakit di kepalanya. Ia berbaring di lantai apartemennya.

Gadis itu meringis ketika merasakan lagi sakit di kepalanya yang tak kunjung hilang. Malahan semakin menjadi-jadi. Ada apa ini?

Rekaman masa lalunya bertengger di otaknya dan tak kunjung hilang. Kilasan memori kebahagiaan yang dulu kembali mengingatkannya apa artinya memiliki sebuah keluarga.

"Arashel jangan lari-lari sayang, nanti jatuh!"

Gadis kecil yang diperingati oleh Mamanya tak kunjung berhenti berlari. Ia malah asyik kesana kemari dengan tawa bahagianya. Mamanya yang berada di ambang pintu hanya tersenyum melihat putri satu-satunya yang sedang berlarian di taman rumah. Setelahnya ia masuk ke dalam rumah ketika sudah memastikan putrinya baik-baik saja.

Tidak lama kemudian, sebuah mobil silver masuk ke pekarangan rumah yang cukup besar itu. Sang gadis yang mengetahui bahwa yang datang adalah Papanya segera berlari menuju mobil tersebut. Mobil berhenti tepat di hadapan gadis kecil itu. Matanya berbinar menatap kepulangan sang Papa.

Ketika pintu mobil dibuka, gadis itu langsung berhambur ke pelukan sang Papa dengan teriakan kecil.

"Papa!"

Papanya yang terkejut hanya bisa berdiam diri dipeluk putrinya. Setelah lama akhirnya pria itu menggendong putrinya untuk masuk ke dalam rumah.

Drrt.. drrt..

Getaran ponsel milik Ara yang tergeletak di atas meja membuyarkan bayang-bayang masa lalu yang terputar di otaknya. Sakit di kepalanya sedikit menghilang setelah ia berbaring sebentar. Ia bangkit untuk mengambil ponselnya. Setelah melihat ID caller, Ara langsung menggeser tombol hijau.

"Halo, Ra. Lo di rumah?"

"Ya."

"E buset, jutek amat neng. Abang jadi sedih,"

Ara memutar bolamatanya malas. Lagi-lagi kenapa Rangga selalu membuat dirinya kesal, tapi inikan yang ia rindukan? Inikan yang ia tunggu dari kemarin?

"Ra, siap-siap! Gue otewe rumah lo."

Mata Ara membulat. Mengapa Rangga suka mengajak dengan tiba-tiba?

"Mau kema-

Tut.

Sambungan diputus secara sepihak oleh Rangga. Ara bahkan belum menyelesaikan kata-katanya. Ia menggeram kesal, tapi tak urung dirinya pun bangkit untuk bersiap sesuai yang diperintah Rangga.

Tunggu!

Mengapa dia nurut?

***

Here I AmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang