11

1.7K 201 73
                                    

Wanita surai madu dengan potongan sebahu itu tidak kuasa lagi membendung air matanya.

Terisak depresi membekap mulut kala meratapi iris mati Min Yoongi yang terduduk lesu di kursi roda.

Iris dark coach yang selalu menjahilinya kini menghadap sinar bulan yang terbiaskan lewat kaca jendela.

Entah pikirannya berkelana kemana.

Duduk sendirian berteman sepi dalam ruang isolasi yang temaram.

Badan wanita dengan kaus pastel dan outer garis itu mengejang naik turun--bergemuruh di ambang pintu.

Semua lampu sengaja dimatikan. Antisipasi kalau-kalau Min kembali mengamuk, dan membantai apapun.

Tidak jelas apa penyebab lelaki ini menghajar pria malang tak punya penglihatan itu, Yoongi tidak menyahut sepatahpun.

Jawaban yang diterima pihak dokter hanya picingan mata seram diiring deru nafas memburu.

Pasien Min memang berniat untuk membunuh dirinya sendiri dengan cara yang cukup menyakitkan.

Sudah faham tidak punya kemampuan jantung yang baik, Yoongi justru membantah dan berteriak barbar sekonyong udel.

Jika raungan Yoongi tadi tidak gesit diredakan oleh suntik penenang, kemungkinan terburuk yakni keluarga Min di Seoul akan mendapat kiriman nisan yang memaktub nama putranya.

"Ma,-- kenapa papa dikunci di ruangan ini?" Naeun menarik-narik legging yang dipakai Jimin dengan sirat wajah bingung.

Secepatnya, Jimin mengusak kasar muka sembabnya. Menyeka tangis bodohnya, wanita itu berjongkok menyamai tinggi Naeun.

"Naeun-ah, habis mama belanjain makan di kantin, nanti mama antar pulang aja ya?"

"Shireo!" tolaknya mentah, "Papa disini membutuhkan aku, mana bisa aku tertidur nyenyak di rumah sementara papa berdarah dan kesakitan disini?" jerit Naeun lengkap derai air mata polos seorang anak kecil.

Ternyata, gadis 5 tahun ini tidak dapat ditipu lagi dengan trik murahan. Daya pikirnya telah berkembang.

Sesegukan dengan nafas tak tenang, Naeun menangis lirih.

Dibawanya kepala putri sulungnya itu dalam dekap sedihnya, Jimin meracau sesak."Sst..jangan berteriak Naeun-ah.. nanti papa bisa sakit lagi.." tutur Jimin lambat-lambat.

Lucunya dia pun tak bisa menjaga pamor sebagai ibu yang baik, karena benteng baja di hatinya goyah.

Jimin menangis.

.


.





.

Korban bonyok parah itu berjalan lunglai tidak ada tujuan. Ibarat kata menggiring kemana kaki melangkah pergi sampai titik lelah itu menghampiri.

Semakin jauh rasanya untuk mengenggam secarik kebahagiaan yang digariskan.

Mungkin ini karma yang setimpal atas perbuatan-perbuatannya di hari lalu.

Percayalah, Allah tidak akan memberikan suatu cobaan di luar batas kemampuan umat-Nya.


Terdengar seperti guyonan hangat, bukan?

Lelaki berbaju kotor separuh robek itu meraba-raba satu kursi besi yang berkarat dan basah sisa hujan semalam.

Mendaratkan pantat disitu, menghembus napas panjang. Bunyi bel bus yang melaju dari arah seberang kedengar mulai senyap. Hilir pemudik pun semakin sepi. Pekikan kenet angkutan umum termakan sinar malam.

U T O P I A | YOONTAETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang