"Maaf, Alana. Saya enggak bermaksud lancang karena sudah mengajakmu untuk bertemu."Aidan menarik napasnya. Netra cokelat menatap Alana penuh harap. Alana hanya diam, berdiri dan menanti Aidan untuk melanjutkan kalimatnya sebelum ia menyanggah. Akan tetapi, detak jantung Alana seakan memompa cepat. Rasa aneh mulai timbul yang tidak bisa Alana jabarkan apa artinya. Di depan lelaki tinggi ini, Aidan tersenyum tipis, hal itu membuat Alana gelisah.
Senyuman Aidan berhasil membuat Alana terpukau. Dan telah berhasil juga menyematkan di dalam relung sanubari Alana. Entah apa maksudnya? Mungkinkah Alana memiliki perasaan yang khusus pada Aidan? Ataukah Alana hanya sebatas kagum saja pada paras tampan Aidan? Entahlah ... cuma Alana sendiri yang bisa rasakan itu.
Sudah beberapa bulan ini Alana dan Aidan menjadi partner kerja. Dan Beberapa bulan ini pula mereka menjadi dekat. Setiap hari bertemu, saling berdiskusi dalam hal-hal pekerjaan, menghadirkan rapat bersama bertemu klien-klien di luar kantor. Bahkan, saat jam istirahat pun mereka sering menghabiskan waktu bersama sekadar mengisi perut yang lapar di kafe terdekat.
"Enggak apa-apa, Aidan. Apa ada hal penting yang mau kamu sampaikan, sehingga kamu mengajak saya ke tempat ini?" Alana memangkas langkah. Membawa tubuhnya duduk di bangku panjang.
Suasana malam taman kota tampak ramai. Pengunjung muda-mudi banyak berdatangan. Kendaraan pun masih berlalu-lalang sehingga menjadi kadar keramaian kota Jakarta makin terasa. Aidan juga menarik langkah, duduk di bangku panjang bersebelahan di samping Alana. Sebentar mereka saling bergeming, membiarkan angin malam mengusik tubuh mereka yang hanya mengenakan pakaian tipis. Wajah mereka mengarah ke depan.
"Enggak ada hal penting, sih. Cuma ada hal yang ingin saya katakan. Tapi, saya harap kamu enggak marah." Desahan napas Aidan menggema halus. Lantas, bola mata kecokelatannya sejenak menoleh Alana. "Saya ...."
Alana memutar kepalanya ke samping. Netra mereka bertemu. "Apa Aidan? Ayo, katakan pada saya," ucap Alana sembari tersenyum manis.
"Saya ... saya menyukaimu. Tapi, saya menyukaimu lebih dari sekadar teman."
Dua bola mata Alana sontak membulat sempurna, kala ucapan Aidan terbilang sederhana. Namun bermakna, membuat Alana tak bisa berkata apa-apa lagi. Mulutnya secepat kilat terkunci rapat, tubuh semampainya pun tak dapat lagi bergerak. Alana seakan-akan terhipnotis oleh lelaki itu, terkungkung dalam kebingungan tiada tara. Apa yang harus Alana katakan setelah ini?
"Ma-maksudmu apa? Saya enggak mengerti."
"Iya, saya menyukaimu. Bahkan mencintaimu."
***
Di tempat lain, dan di malam hari yang sama. Rasya sibuk berkutat dengan laptopnya, duduk di ruang makan sendiri, sampai-sampai pemuda berparas tampan itu mengabaikan makanan yang disajikan oleh Bibi Lily sejak tadi. Wajah pucatnya terlihat, rasa kantuk pun menjelma, hal itu tidak membuat Rasya ingin bangkit dari duduk dan pindah ke kamarnya.
Berulangkali Bibi Lily mengingatkan untuk berhenti, sampai Pak Toni pun tetap saja Rasya enggan pergi dari ruang makan itu. Ia terlalu fokus di depan laptop, mengerjakan sesuatu yang harus secepat mungkin ia selesaikan. Rasya terbilang cukup keras kepala, apabila menyangkut soal pekerjaannya. Sebelas-dua belas, tidak jauh beda dengan Reza. Hanya saja Reza terlalu otoriter, angkuh, juga disiplin penuh terhadap apa pun yang dilakukannya.
"Mau Bibi bikinkan kopi, Tuan muda?" tanya Bibi Lily sopan. Menghampiri Rasya sehabis menyapu ruangan itu.
"Enggak usah," jawab Rasya. Namun matanya tetap fokus pada layar laptop. "Bibi tidur aja, udah malam."
"Tapi makanannya, Tuan makan, ya?"
"Iya, nanti saya makan."
Tidak berani bertanya lagi, Bibi Lily segera meninggalkan ruang makan. Membiarkan majikannya sendirian sibuk dengan pekerjaan yang Bibi Lily tidak tahu apa yang dikerjakan Rasya. Sebelum melanjutkan langkahnya, Bibi Lily sejenak memandangi Rasya. Mengamati setiap detail tubuh pemuda itu dari atas sampai bawah. Kata Mbok Onah, pembantu yang pernah bekerja di rumah keluarga Tama. Rasya sosok pemuda dingin, ketus, irit bicara, tapi setiap berbicara ... kalimat yang dicetuskan sangatlah pedas. Dan lagi, Rasya lebih suka menyendiri, tidak suka diusik oleh siapa pun.
Perkiraan Bibi Lily ternyata salah besar. Sudah satu bulan setengah wanita paruh baya itu bekerja. Baginya, Rasya anak yang baik, juga sopan. Walaupun jarang sekali banyak bicara dengannya, Bibi Lily dapat memahami itu. Yang pasti, jika mood Rasya dalam keadaan tidak baik, Bibi Lily memilih cepat menyingkir dari hadapan Rasya kalau tak ingin menjadi korban amukannya.
Bibi Lily tersenyum. Puas memandangi Rasya, lantas wanita paruh baya itu melanjutkan langkahnya lagi menuju kamar belakang.
Dering ponsel yang tergeletak di atas meja makan berbunyi, menyadarkan Rasya dan mengalihkan netranya dari laptop ke benda pipih itu. Decakan keras sontak keluar dari mulutnya, saat mengetahui nama tertera pada panggilan masuk untuknya. Rasa malas Rasya menyambar ponselnya, mendial tombol biru kemudian menempelkan pada telinganya.
"Apa?"
"Kamu belum tidur?"
"Belum, baru jam sepuluh." Rasya menjawab ketus.
"Memangnya kamu lagi ngapain?"
"Enggak ngapa-ngapain."
"Bibi Lily bilang, kamu sering sekali tidur sampe larut. Bahkan, kamu juga pergi sering sekali pulang malam-malam. Apa yang kamu lakukan?"
"Yang penting apa yang Rasya lakukan ini enggak aneh-aneh. Lagian itu bukan urusan Kakak."
"Oke, besok Kakak mau berangkat ke Semarang. Mungkin dua atau tiga minggu di sana, kamu jaga diri baik-baik, ya. Jaga kesehatan juga, dan jangan lupa makan dan minum obatnya yang teratur."
"Rasya bukan anak kecil lagi. Tanpa Kakak ingatin, Rasya bisa jaga diri sendiri!"
"Iya, tapi---"
Pip
Dengan hati kesal, Rasya memutuskan sambungan telepon. Diperlakukan bak anak kecil oleh sang kakak membikin pemuda itu dirundung amarah. Menciptakan kekesalan tiada batas akibat ucapan sang kakak begitu otoriter juga protektif padanya.
"Kalau perlu enggak usah balik lagi ke sini. Sampai mampus aja di sana! Gila, ya tuh orang! Udah beda rumah masih aja memperlakukan gue kayak anak kecil!" Rasya berseru dengan menggebu-gebu. Hatinya pun masih kesal.
Rasya menutup laptop. Makanan di atas meja sempat belum disentuhnya, dengan setengah hati ia makan. Sepiring nasi goreng ayam, juga ada pancake chocolate kesukaannya yang dibuat Bibi Lily khusus untuknya.
__________________________
04.05.20
KAMU SEDANG MEMBACA
Rasya Dan Alana 2
General FictionCover By @rishapphire ( risha ) Sebelum membaca squel ini. Ada baiknya baca dulu Rasya dan Alana satu, Ya .... "Cinta nggak butuh banyak syarat. Tapi cinta butuh kesetiaan dan kejujuran." ~ Alana. "Kalau gue mati, apa lo akan melupakan kenangan kita...